Cerpen Budi Afandi
Andaikata bukan Amak Sujut yang berulah, hari itu pasti terjadi perang besar antar kampung seperti belasan tahun silam. Jika saja warga tidak segera mengetahui kejadian di surau adalah ulah Amak Sujut, bisa jadi warga akan mempersalahkan kampung tetangga, tindakan yang pasti menyulut perang.
agaimana tidak? Warga terkejut dan marah saat melihat lantai surau dipenuhi jejak kaki manusia, jejak hitam kekuningan yang membuat seluruh surau dipenuhi bau kotoran manusia. Untungnya warga langsung bisa memastikan Amak Sujut lah si pembuat onar, terlihat jelas dari kerak hitam kekuningan yang memenuhi kedua telapak kaki Amak Sujut, kotoran manusia yang mengering. Tapi tentu Amak Sujut tidak mungkin dipersalahkan, sebab ia orang gila, maka jadilah marbot surau yang kena damprat habis-habisan karena dianggap lalai.
Jika kuingat-ingat, tidak sekali itu Amak Sujut membuat geger penduduk kampung. Pernah pada satu tengah malam, Amak Sujut memukul kentungan sambil berteriak keliling kampung. Membuat warga berhamburan membawa pedang, tombak, busur dan anak panah, karena menduga ada maling yang menyatroni rumah warga. Dan begitu mengetahui Amak Sujut yang berulah warga malah saling menertawakan.
Ada lagi cerita ketika pada satu dini hari, Amak Sujut tiba-tiba memukul bedug di surau seraya mengumandangkan takbir, padahal lebaran masih teramat jauh. Dan dia menari sambil bernyanyi ketika warga berusaha menangkapnya. Kejadian yang pada akhirnya membuat Kepala Kampung mendamprat marbot surau yang berkali-kali minta diganti.
Kegilaan Amak Sujut memang tidak ada duanya, mungkin kegilaannya itu sudah mencapai batas paling tinggi dari yang mungkin ada. Siapa lagi selain Amak Sujut yang berani berlarian di antara warga yang tengah khusuk menjalankan sembahyang berjamaah di surau. Berlari sambil mencubiti satu per satu warga yang sembahyang, sambil mencibiri dan mengejek mereka.
Apa yang dilakukan Amak Sujut memang sudah tidak bisa lagi dilihat dalam batasan kesopanan. Hanya saja aku sempat merasa aneh melihat perlakuan warga yang selalu sabar menghadapinya. Sangat berbeda dengan nasib beberapa orang gila yang pernah kutemui di kampung tetangga, orang gila yang dipasung seperti binatang liar. Sementara Amak Sujut, jangankan dipasung, warga malahan rutin meletakkan makanan di bawah pohon beringin yang telah jadi rumahnya di samping surau. Tidak hanya itu tindakan warga yang menunjukkan betapa mereka menghargai Amak Sujut. Tak jarang warga rela bersusah payah menjaganya sampai larut malam, jika Amak Sujut sudah kedapatan hendak menggantung diri di pohon beringin.
Tindakan Amak Sujut yang satu itu tidak kalah menghebohkannya dari semua tindakan gila lainnya. Dan memang hanya Amak Sujut yang cukup gila, mencoba bunuh diri dengan cara yang sama di tempat yang sama pula. Sampai akhirnya warga hapal hari dan tanggal saat dia akan melakukan gantung diri, yakni sehari sebelum bulan purnama.
Tapi aku pernah merasa aneh, apa perlunya menyelamatkan orang gila yang ingin mati? “Biarkan saja, toh kerjanya hanya membuat onar dan meresahkan warga,” begitu ucapku saat berbincang pada satu malam bersama Kepala Kampung dan beberapa warga.
“Amak Sujut itu bukan orang sembarangan,” kata Kepala Kampung menanggapi kalimatku. Malam itu, di pelataran surau aku mulai mengerti mengapa warga begitu memaklumi semua tindakan Amak Sujut, dan aku juga jadi malu jika ingat apa yang dulu sering kulakukan semasa kacil.
Kepala Kampung menuturkan, belasan tahun silam Amak Sujut adalah tokoh paling berpengaruh di kampung kami. Dia dikenal dengan sebagai orang yang bijak dan paling menentukan dalam tiap pengambilan keputusan di kampung. Hingga datang perang kampung yang menyebabkan tewasnya Aji Takzim, anak satu-satunya dari mendiang istrinya.
“Kala itu perang tidak bisa dihindari, kampung tetangga mengaku tanah pekuburan yang kita pakai sebagai hak mereka. Hal yang membuat semua warga kita merasa kepalanya diinjak-injak, dan terjadilah perang selama lebih dari sepekan.”
“Pada masa itu Amak Sujut masih waras, dia dan anaknya selalu menjadi pimpinan warga kita jika sudah berhadap-hadapan dengan warga kampung tetangga. Dia dan Aji Takzim memang sakti, tidak mempan berbagai jenis senjata tajam. Saya melihat sendiri bagaimana sabetan pedang, tajamnya anak panah juga tusukan tombak hanya menjadi seperti gigitan semut bagi keduanya.”
“Hingga tiba masa ketika korban di kedua pihak sudah semakin banyak dan warga kedua kampung bersepakat mengakhiri perang dengan sebuah pertarungan tunggal.”
“Maka sehari sebelum bulan mencapai purnama, dengan bangga Aji Takzim maju sebagai wakil kita. Namun tak dinyana perisai raganya tembus juga oleh tombak pusaka Kepala Kampung tetangga, dan sejak itulah Amak Sujut berubah jadi gila.”
Mendengar penuturan Kepala Kampung aku langsung bergidik membayangkan sosok Amak Sujut di masa lalu. Aku semakin bergidik jika teringat apa yang dulu suka kulakukan bersama kanak-kanak kampung. Aku dan kanak-kanak lain yang suka mengusili Amak Sujut, melemparinya dengan batu kumbung, menyembunyikan benda-benda yang dia kumpulkan dari berbagai tempat, hingga menyembunyikan dan mencuri makanannya.
Sekarang, ketika melihat Amak Sujut berulah aku tidak terlalu ambil pusing dan memilih tertawa bersama warga lainnya. Termasuk ketika semua warga dikerahkan membersihkan lantai surau yang penuh kotoran manusia, kami tertawa membayangkan Amak Sujut menari di surau saat semua warga lelap. Hanya si marbot yang terus merengut sambil memelas meminta diganti.
Hari itu kami meninggalkan surau setelah yakin tidak ada satu butir kotoran pun yang tersisa. Warga meninggalkan surau setelah sempat menoleh dan menggeleng ke arah beringin, melihat sejenak Amak Sujut yang terbaring bersama kotorannya.
Malam harinya aku lelap lebih cepat setelah lelah menahan tawa membayangkan semua kegilaan Amak Sujut. Tapi lelapku terusik ketika sebuah teriakan nyaring menghantam telinga, teriakan yang membuatku sekelebat membayangkan Amak Sujut berlari membawa kentungan, bayangan yang hilang begitu pintu depan rumah digedor.
Malam itu menegangkan, tidak ada warga yang berani lelap. Di masing-masing rumah ditugaskan satu orang lelaki berjaga, di gerbang kampung sekitar sepuluh lelaki bersenjata lengkap sudah berjaga. Sementara Kepala Kampung dan puluhan lelaki termasuk aku berumpul di dalam surau, memersiapkan langkah menghadapi perang kampung yang bisa datang kapan saja.
Kali ini bukan tanah pekuburan masalahnya, malah masalahnya lebih kecil dari itu. Berawal saat beberapa pemuda kampung kami melintas di kampung tetangga dan terjadilah saling ejek. Perkataan yang berbuntut perkelahian dan luka-luka beberapa pemuda. Namun kemarahan telah membuat kenangan akan perang kampung dahulu diungkit kembali, menjadi penyebab baru yang lebih membakar semangat warga untuk berperang.
Semua warga meninggalkan surau dengan ketegangan yang sama, kecuali mungkin marbot yang ditinggalkan dengan ketegangan membayangkan dirinya belum juga akan diganti. Malam itu aku sempat melihat Kepala Kampung dan marbot melangkah menuju beringin, saat kami semua menuju rumah masing-masing. Entah apa yang mereka lakukan pada Amak Sujut? Tidak sempat kupikirkan kemungkinannya, karena kemungkinan terjadinya perang lebih menguasai pikiranku.
Paginya semua warga bergerak menuju lapangan yang memisahkan kampung kami dan kampung tetangga. Rupanya warga kampung tetangga sudah bersiap di sisi lain lapangan, lengkap dengan persenjataan seperti dalam peperangan yang kerap kudengar.
Suara saling ejek, saling sumpahi mulai terdengar ketika jarak dua rombongan sudah dalam bidikan anak panah. Dan ketika hari meninggi, tidak lagi hanya perkataan yang melayang, tapi juga batu-batuan. Suara semakin hiruk, ejekan, sumpah serapah semakin tidak jelas bentuknya, hingga tiba-tiba sebuah anak panah melesat menuju rombongan kami. Jantungku berdetak kencang tak beraturan, entah mengapa bayangan Amak Sujut tiba-tiba berkelebat di benakku? Sementara dua rombongan warga terus saling mendekat.
Dan tiba-tiba bayangan Amak Sujut dalam otakku tidak lagi menjadi bayangan, sosok Amak Sujut terlihat melesat ke tengah lapangan, tepat di antara dua rombongan warga. Dan sekejap kemudian, sebuah teriakan keras dari tengah lapangan menelan semua teriakan lain. Teriakan yang langsung membuat seluruh warga menutup telinga, berlutut menahan sakit, sakit yang juga terasa menusuk jantung. Tidak sempat aku berpikir, tidak sempat aku menelaah teriakan itu, aku kesakitan dan jatuh pingsan.
Saat membuka mata, aku melihat ibu dan beberapa warga masih pingsan di sampingku di dalam surau. Ibu tersenyum saat aku mencoba duduk. Darinya aku mengetahui perang berakhir setelah Amak Sujut datang dan mengeluarkan surak siu. Tidak ada satu pun korban tewas di kedua pihak dan dua kampung menarik warga masing-masing dengan suka rela.
Apa yang diceritakan ibu terdengar seperti dongeng yang biasa dituturkannya semasa aku kecil dulu. Aku tidak segera percaya dan sangat ingin mendapat kepastian, meski yang pasti perang sudah selesai. Segera kutinggalkan surau mencari warga lainnya. “Amak Sujut, surak isu? Amak Sujut, surak siu?” terus mengiang di benakku.
Dan baru saja aku melangkah keluar dari gerbang surau, kulihat segerombolan warga, termasuk Kepala Kampung juga marbot tengah berlarian tak tentu arah di jalanan kampung. Kepala Kampung tampak aneh karena hanya mengenakan celana pendek, hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Mereka semua berlari mengejar Amak Sujut yang berlari melompat-lompat, menghindari sergapan seperti kanak-kanak tengah bermain kejar-kejaran.
“Dasar gila,” ucapku sambil berlari hendak membantu warga merebut sarung Kepala Kampung dari tangan Amak Sujut. (*)
Mataram, 2011
Keterangan;
Amak : bapak atau kerap juga digunakan memanggil orang yang sudah tua (bahasa Sasak di Pulau Lombok); batu kumbung : batu apung; surak siu : seribu teriakan