Cerpen: Anggrek Lestari Asy-Syifa
[1] Angin membisikkan selarik cinta pada deru ombak yang memecah di tepi pantai. Jejak-jejak kaki yang kutinggalkan di pasir putih perlahan-lahan dicumbui air yang berdesir. Pemandangan lautan menjadi rekaman mataku setiap hari—setiap aku pulang dari kampus aku selalu pergi ke laut untuk merekam pemandangan lautan—untuk menjadi bahan tulisanku, atau lebih tepatnya surat untuk ibu.
Setelah aku merasa cukup mendapat rekaman pemandangan, aku pulang ke rumah yang tak jauh dari laut. Lantas aku akan mengubah rekaman itu menjadi goresan-goresan manis yang terukir pada kertas. Rindu-rindu yang tersulam di hatiku selalu kusampaikan pada ibu melalui surat. Aku suka menulis surat untuk ibu. Lama-kelamaan menulis surat juga menjadi hobiku.
“Hei Agam, ayo kita pergi ke laut. Hari akan senja,” bapak mengajakku. “Surat untuk ibumu sudah kau selesaikan?”
“Sudah Pak.”
Aku sudah tak sabar untuk mengirimkan sepucuk surat yang baru saja aku tulis ini ke laut. Aku ingin cepat-cepat suratku disampaikan ke ibu.
“Ya sudah, jangan lupa kau bawa.” Begitulah kata-kata bapak sebelum kami pergi ke laut untuk mencari ikan. Bapak sudah hafal dengan kebiasaanku, menulis surat untuk ibu. Surat itu kemudian akan kumasukkan dalam botol dan kulemparkan ke tengah-tengah laut. Ya, itulah kebiasaanku. Kebiasaan yang kulakukan setelah ibu pergi direnggut oleh dahsyatnya gelombang tsunami 24 Desember 2006 silam. Kebiasaan aneh yang telah kulakukan selama lebih kurang empat tahun. Mungkin orang-orang menganggapku gila. Bahkan bapak juga menganggapku sama, saat aku melakukannya kali yang pertama waktu itu.
“Kau gila ya? Nulis surat terus di lempar ke laut. Kau bilang supaya laut menyampaikan surat itu pada ibu. Apa kau kira laut itu tukang pos? Kelakuanmu tak masuk akal Gam,” bapak marah-marah saat itu.
“Bapak nggak ngerti apa yang aku rasakan. Aku sangat kehilangan ibu. Jadi untuk mengobati rasa kehilangan itu, aku menulis surat itu, dan mengirimnya ke ibu lewat laut. Laut memang aku anggap sebagai tukang pos yang menghubungkan antara aku dengan ibu. Ibu kan pergi dibawa oleh gelombang laut. Aku yakin, pasti laut selalu menyampaikan surat itu pada ibu,” jawabku.
“Kau benar-benar sudah gila!” seru bapak sambil pergi meninggalkanku dengan kelakuan anehku itu.
Namun semakin waktu berbicara, Kebiasaan anehku tak sia-sia. Bakat menulisku setiap hari semakin terasah karenanya. Alhasil, tulisanku seperti puisi dan cerpen menghiasi surat kabar. Tulisanku juga disukai teman-teman kampusku. Sejak diterbitkannya karyaku di surat kabar, bapak tak pernah berkata aku orang gila lagi. Sebaliknya, bapak selalu memotivasiku untuk melakukan kebiasaan aneh itu.
“Anggap saja kebiasaan anehmu itu untuk latihan menulis,” ucap bapak singkat.
[2]
Hari sudah hampir senja. Aku dan bapak mulai membawa perahu sederhana yang kami miliki ini ke tengah laut, mengarungi gelombang-gelombang yang tampak membentuk buih seketika.
“Agam, kenapa hari ini kau ikut ke laut? Seharusnya kau belajar saja di rumah. Tugas kuliah kau kan banyak.”
Aku menatap bapak. Aneh. Kenapa bapak berkata seperti itu? Biasanya dia senang sekali jika aku ikut melaut dengannya.
“Bapak, kenapa bicara seperti itu?” tanyaku sambil memegang erat botol yang sudah berisi surat untuk ibu.
“Bapak hanya tidak mau kau sakit. Karena sepertinya akan ada badai nak. Akh! Ya sudahlah, siapkan saja dirimu untuk menghadapi kedatangan sang badai.”
Aku bergidik. Merinding. Perasaanku tak enak. Kata-kata bapak aneh. Apa yang akan terjadi? Tiba-tiba saja aku merasa takut melihat gelombang-gelombang air laut itu. Akh! Bodoh! Untuk apa takut, toh kemarin-kemarin aku tak pernah takut.
Tak butuh waktu lama untuk kami sampai ke tengah laut. Mungkin karena angin saat ini kencang sekali. Belum pernah aku merasakan angin sekencang ini sejak aku melaut bersama bapak. Apa akan ada badai seperti yang telah dikatakan bapak tadi?
Aku mencoba untuk menepis perasaan takutku dengan memulai kebiasan anehku. Aku memberikan senyuman pada laut, lalu melemparkan botol yang berisi surat. “Hei laut, kumohon cepatlah kirimkan surat itu pada ibu,” teriakku. “Ibu… kau adalah ibu yang terbaik di dunia,” teriakku lagi. Aku merasa puas telah berhasil mengirimkan surat itu.
Langit semakin mendung. Angin semakin kencang sehingga membuat gelombang air laut meninggi. Aku ketakutan. Kudekati bapak, “Bapak, apa yang akan terjadi?” tanyaku lirih.
“Badai akan datang nak.”
Tiba-tiba hujan turun dengan deras. Perahu kami terombang-ombing oleh gelombang seperti perahu mainan. Akh, kau payah langit. Kenapa kau menangis seperti aku yang ketakutan ini? Air mataku mulai bercucuran, berbaur dengan air hujan di wajahku.
“Agam…, awas!” bapak memelukku.
“A… bapak…!” Gelombang dasyat menghantam kami.
Akh…! Kurasakan tubuhku seperti tertimpa benda berat sekali. Remuk tubuhku terasa. Ngilu. Kepalaku pusing hingga pandanganku mulai gelap. Dimanakah bapak? Tadi bapak memelukku, tapi kenapa sekarang tak kurasakan lagi pelukannya itu? Samar-samar kulihat bapak sudah melayang-layang dibuat gelombang. Tak ada gerakan melawan gelombang dari tubuhnya. Aku berusaha sekuat tenaga untuk meraih tubuh bapak, tapi tak bisa. Tubuhku tak bisa digerakkan. Apakah ini yang dinamakan ‘datangnya kematian’?
Jika kematian memang menghampiriku, berarti surat hari ini adalah surat terakhir yang kutulis untuk ibu. Ya, surat terakhir. Aku tak perlu lagi menulis surat untuk ibu, karena aku akan bertemu dengan ibu.
[3]
Perlahan-lahan kubuka mata yang terasa sangat berat. Kurasakan belaian lembut air laut. Kulihat sekelilingku, “Di mana aku sekarang?”
Aku ingin menjerit minta tolong, tapi suaraku tercekat ditengorakan. Sakit sekali. Akh… hanya suara rintihan rasa sakit yang keluar dari mulutku.
Tiba-tiba aku teringat pada bapak. Di mana bapak? “Bapak… bapak…” jerit hatiku. “Sialan! Kenapa aku tak jadi bertemu dengan ibu? Dan mengapa bapak saja yang hanya bertemu dengan ibu? Kematian, kenapa kau tak mengantarku bertemu dengan ibuku?”
Kulihat ada beberapa orang yang tak kukenal berjalan ke arahku. Kucoba melambaikan tangan untuk meminta pertolangan. Alhamdulillah, tanganku bisa digerakkan walaupun sakit.
Sepertinya orang-orang itu mengerti isyarat yang kuberikan. Mereka berlari mendekati.
“Hei, lihat ada orang terdampar. Ayo kita tolong.”
“Iya, ayo cepat kita tolong.”
Mereka mengangkat tubuhku, “Hati-hati, kasihan anak ini.”
Terima kasih Ya Allah…, kau telah mengirimkan pertolongan untukku. Tapi dengan pertolongan-Mu ini, aku akan merana. Hidup sebatang kara, tanpa ibu dan bapak.
“Agam, Jangan menangis! Kau itu laki-laki tangguh. Buat apa kau mengeluarkan air kepedihan itu? Sudah terlalu banyak air di sini. Jangan biarkan air kepedihan itu membuatmu tenggelam,” hatiku memberontak.
Betul juga yang dikatakan hatiku. Aku laki-laki tangguh. Banyak hal yang kulakukan agar aku tak menangis. Ya, salah satunya dengan melakukan kebiasaan aneh itu. Aku takkan pernah jera pergi ke laut. Aku tak akan pernah takut, meski peristiwa pahit ini selalu menghantuiku. Meski aku harus sendirian untuk pergi ke laut.
Hufft! Berarti surat yang kemarin kutulis bukan surat yang terakhir untuk ibu. Esok masih ada surat lagi untuk ibu, dan ada surat yang pertama untuk bapak.
“Hei laut! Pekerjaanmu bertambah. Esok aku punya dua surat yang harus kau sampaikan!”
[4]
“Hei laut, apa kau tidak bosan menjadi tukang posku hingga saat ini?” tanyaku kepada laut di suatu sore ketika aku sudah sembuh dari tragedi badai malam itu.
“Aku bosan terus-terusan menulis surat. Sampai saat ini tak ada balasan untukku. Atau…, apakah selama ini kau tak pernah menyampaikan surat-surat itu?”
Aku menangis. Ya, menangisi kebiasaan anehku yang baru saja kusadari bahwa kebiasaan itu adalah hal yang gila, yang kulakukan untuk menutupi kesepian hatiku.
“Aku tahu selama ini aku telah gila. Mana mungkin lautan sepertimu bisa menyampaikan surat kepada ibu dan bapak yang sudah tiada?” aku lalu tertawa diiringi dengan tangisan.
Aku berjalan menuju laut, menghampiri ombak-ombak yang memecah di pantai. Kedua tanganku menggenggam botol yang berisi surat untuk ibu dan bapak.
“Kau tahu laut, sore ini aku akan mengakhiri kebiasaan aneh dan gilaku ini. Ini adalah surat terakhir yang aku tulis. Aku bosan dengan semua kegilaan ini!!!” aku mencampakkan kedua botol di genggamanku ke tengah laut. Kemudian, aku berjalan menuju tengah laut. “Aku ingin menjemput ibu dan bapak. Aku rindu ingin bertemu. Laut, tolong antarkan aku bertemu ibu dan bapak ya, aku mohon.”
Semakin jauh aku berjalan, kurasakan tubuhku telah didekap oleh air laut. Dingin sekali. Nafas yang kuhirup kini bercampur dengan air. Perih di hidung dan dadaku. Mataku tak dapat terbuka lagi karena air laut menusuk-nusuk mataku. Ternyata sungguh gelap.
Kini tubuhku terasa ringan, terombang-ambing oleh gelombang laut. “Hei laut, cepatlah kerjamu! Bawa aku bertemu ibu dan bapak.”
**