Cerpen Teguh Affandi
Apakah dirimu mengerti, Putik. Sehelai daun yang gugur dan menyentuh punggung tanganmu yang mulus itu, kini masih kusimpan. Kusimpan rapi. Masih seperti pertama bergesekan dengan bulu-bulu halusmu. Masih hijau kekuningan selaksa mentari pagi yang menyembul di rerimbunan taman. Kamu tahu di mana aku simpan daun itu, di telapak tanganku. Kugenggam agar tidak jatuh. Di telapak tangan yang kau bilang aroma lumpur, aroma apak garam, amis ikan dan aroma kemelaratan.
S uara itu diterpa angin, terpantul-pantul di antara kabel-kabel listrik, tiang pancar telepon, cerobong hitam berasap, deru knalpot kendaraan yang penuh timbal. Mengembara sejak subuh pecah sampai rembulan rekah. Lalu kembali ke belahan jariku yang sempit.
Adakah engkau mengerti, Putik?!
***
“Dari mana asal daun ini, Dahan?”
Matamu besar-bulat dengan bulu mata menengadah ke awang-awang, berbinar-binar. Aku tahu itulah tatapanmu paling syahdu. Saat melihat sesuatu yang sangat menarik hatimu. Daun itu begitu segar-menghijau di lentik jari-jarimu. Mataku memandang ke pokok mangga yang tersandari tubuhmu.
Kepalaku menggeleng. Daun itu tidak sama dengan daun mangga. Tulang daunnya memang serupa urat randu. Telapak tangan kumekarkan. Jari-jari lentikmu mendekat, tetapi tiba-tiba terangkat, melentik, dan terbanglah daun itu ke angkasa. Putik, kamu tertawa kecil tersendat-sendat. Begitu gembira. Mataku nanar melihat daun itu terbang. Jantungku berdegup kencang. Nafsu memburu menjalang. Aku kejar.
Ribuan mil kuberlari mengejar daun itu, Putik. Angin berhenti bertiup tepat di gapura desa, dan kutangkap. Hap! Sebuah desa yang berbeda. Tak ada kandang ternak di belakang atau di samping rumah. Tak ada nyanyian jangkrik bila malam menjelang. Sepi dari gurauan anak-anak yang berlari, bermain petak-umpet di pekarangan.
“Tangkap orang itu!” suara belasan orang mendekat. Tangannya membawa parang mengilat. Tubuhku roboh seperti bertemu hantu, digoyang lindu. Ketika mataku mulai terbuka, terasa semua tubuhku ngilu. Aku merasakan ada yang menetes dari lubang hidungku. Mataku menatap tanah yang basah dengan cairan merah.
Telingaku menangkap langkah orang mendekat, pikiranku menggambar dua orang. Yang satu tambun besar dan yang satunya kekar. Langkahnya tegap, berdentam-dentam di tanah.
“Apakah benar dia yang meledakkan buntalan di tempat ibadah?”
Suara itu tidak asing, berat penuh wibawa. Pikiranku hanya bisa menggambar: sosok berkumis, tubuh wangi parfum merek terkenal, berambut cekak disisir piyak pinggir, dan tidak kurang dari 170 cm.
“Benar, Pak! Saya saksinya!”
“Jadi, orang ini!” Langkahnya mengelilingi tubuhku. Tangannya memegang dan mengangkat kerahku.
“Hei, bicara kamu!” bentaknya keras disertai hentakan pukulan pada perutku.
“Ayo, bicara!”
Pikiranku telah menyusun cerita yang kualami. Namun entah mengapa yang tergambar kemudian hanya satu. Dirimu dan selembar daun. Putik, inilah yang berulang-ulang keluar dari mulutku tanpa ragu meski dengan nada kesakitan.
“Daun, daun itu, Pak! Daun itu terbang!”
Dua hari tanganku mereka ikat pada kursi. Tanpa diberi makan-minum, tubuhku tetap dapat kukuh tidak semaput.
“Kita lepas saja orang ini!”
“Dilepas bagaimana?”
“Ya, dilepas! Menurutku, orang ini gila, tidak layak dituntut! Omongannya selalu daun-daun. Kalau begini terus, untuk apa kita capai-capai menanyainya?!’
“Kalau begitu dibunuh saja!”
“Ya, dibunuh saja!” beberapa suara terlontar.
“Tidak! Saya tidak setuju, itu cara binatang, hukum rimba, namanya!”
“Dibunuh!”
“Setuju!”
“Tidak!”
“Ya, tidak setuju!”
Mereka saling gontok-gontokan mempertahankan pendapat masing-masing. Bahkan ada yang sudah mencabut goloknya, siap diayun sewaktu-waktu.
“Cukup!” sesosok wanita meluncur dari langit berleret-leret kuning. Selendang pada pinggangnya yang ramping berkibar perlahan. Rambutnya panjang tergerai lepas. Berdesir-desir bak ombak Parangtritis. Begitu kakinya menginjak tanah, senyumnya mengembang antara pesona antara kesadisan.
“Apa yang diucapkannya, yang selama ini membuat kalian tidak mengerti, sesungguhnya adalah tentangku!”
Mulut mereka membisu seperti tubuh mereka yang tak gerak. Hanya mata yang hidup, lurus, menatap ke wanita itu.
“Ya, kalian tidak usah bingung! Daun itu, itulah Aku!”
Tiba-tiba tawanya membahana. Bohlam lampu meledak. Kabel listrik memercikkan bunga api. Terdengar pohon beringin ratusan tahun terbelah. Jatuh berdebum ke tanah. Langit yang begitu biru-ungu dengan bintang bergetar seperti gemeretak.
***
Ingatkah engkau, Putik? Daun itu seperti mula, saat bibirku mendekat ke bibirmu. Saat tanganku menyentuh tanganmu, wajahmu, tubuhmu, pelan, tanpa ramai suara. Dan engkau mendesahkan puisi.
“Kapankah semua ini akan berakhir?”
Rupanya engkau lupa, Putik. Akhir dari puisi adalah sunyi. Seperti awal, seperti penciptaan.
“Tetapi Dahan?” Engkau mendorong tubuhku perlahan.
“Bukankah aku datang dari surga?” Wajahmu memancar, putih kebeningan.
“Dirimu akan sehijau kemarau.”
Lalu engkau mendekat dan mendekapku erat. Seperti aku, Putik. Aku yang kini terbaring, menunggu. Dan seperti akan selalu menunggu jatuhnya daun dari surga dan menyentuh kembali punggung tanganmu. (*)
Yogyakarta, 2013
TEGUH AFFANDI, Lahir di Blora, 26 Juli 1990. Cerpennya beberapa terbit di Suara Merdeka, Republika, Tabloid Nova, Tabloid Cempaka, Inilah Koran, Majalah Ummi, Majalah Sabili, Radar Surabaya, Radar Mojokerto, Harian Joglosemar, Sumut Post, Banjarmasin Post, Padang Ekspres, Haluan Padang, Annida Online dan AcehCorner. Antologi bersama “Hadiah Kecil Untuk Orang Tua”(Penerbit Arias, 2011) “Bisik Rindu dari Celah Gingko” (Unsoed,2012), “Sarkofagus” (Belistra 2012) dan “Banten Suatu Ketika” (BMC, 2012). Pernah menjadi juara 1 dan harapan 1 lomba cerpen FLP Bekasi, juara 2 lomba cerpen islami UGM dan Lomba Cerpen Tangga Pustaka. Dapat dihubungi di 085725935663, No.rekening: Bank Muammalat Cabang Masjid Kampus UGM a.n Teguh Afandi 922 4195530.