Cerpen: Ahmad Ijazi H
Kupandangi bola mata istriku. Kulihat sebuah bayangan mengambang di sana. Meski hanya samar-samar, aku dapat memastikan, laki-laki yang tengah bersemayam di bola matanya itu adalah aku. Aku yakin sekali.
Tapi, kuperhatikan lagi. Lebih dekat lagi. Aku ingin memastikan, apakah laki-laki di bola mata istriku itu benar-benar aku?
Tapi… hei, sepertinya laki-laki itu bukan aku! Ah, tidak! Bagaimana mungkin bukan aku?
Kuperhatikan lebih lekat. Lagi. Sekali lagi. Kali ini aku benar-benar sesak nafas. Laki-laki di bola mata istriku itu benar-benar bukan aku! Hah, siapa laki-laki itu? Bagaimana mungkin bukan aku? Bukankah aku yang sedang berhadapan dengan istriku saat ini? Harusnya bayangan di bola matanya itu adalah bayanganku.
“Kau kenapa, Roy? Kenapa wajahmu pucat begitu?” tegur istriku mengejutkanku.
“Apa aku sedang bermimpi?”
“Bermimpi?” Istriku menautkan alisnya.
“Eee… di mana kita?” aku mendadak linglung.
Istriku memandangku aneh. Lalu dicubitnya lenganku. Auw, sakit! Aku meringis.
Istriku tertawa memerlihatkan barisan giginya yang putih dan rapih. “Kau ini aneh. Sudah jelas-jelas ini rumah kita.”
“Rumah kita?”
“Iya.”
“Sungguh?”
“Iya!” Istriku menarik pipiku gemas. Mungkin agak jengkel karena mengira aku mempermainkannya.
Kuperhatikan sekeliling. Aku benar-benar merasa aneh. Hampir di setiap dinding rumah ini terpajang lukisan. Ada lukisan bebatuan, hamparan pasir, tanah retak, gurun… Milik siapa itu? Aku tak pernah membelinya, apalagi memajangnya. Aku lebih suka dinding yang polos.
“Siapa yang memajang lukisan-lukisan ini?” Mataku tak berkedip memerhatikan lukisan-lukisan itu dari dekat.
“Bukannya kau yang memajang lukisan-lukisan itu seminggu yang lalu?”
“Aku?”
“Lukisan-lukisan itu hadiah dari Johan, kan?”
“Johan? Siapa dia?”
“Kau ini kenapa, sih?
Aku terdiam. Lama. Kuperhatikan bola mata istriku. Tajam.
Istriku mengernyitkan alis. “Kenapa kau menatapku begitu?”
Ya Tuhan… laki-laki di bola matanya itu benar-benar bukan aku!
“Matamu… sungguh indah!” aku tergeragap.
Kulihat lagi matanya. Lagi. Kali ini laki-laki itu melempar senyum kepadaku. Bah, apa maksudnya begitu? Geram sekali aku. Ingin rasanya menonjok wajahnya hingga bonyok. Dia pasti sedang mengejekku.
Istriku mengamati wajahku. Lama. “Roy… kau sakit?
“Ehh…”
“Wajahmu pucat sekali!” Istriku menjulurkan tangannya mengelus keningku yang hangat berkeringat.
“Aku baik-baik saja!”
“Tapi…”
Aku memandang matanya. Lagi. Dan senyum laki-laki itu benar-benar membuat aku terbakar cemburu!
***
Semalaman aku tak bisa tidur memikirkan bayangan laki-laki yang bersemayam di bola mata istriku. Siapa dia? Dan lagi… lukisan-lukisan itu? Aku tak pernah menyukainya. Tapi kata istriku, aku sendiri yang ingin memajangnya seminggu yang lalu. Kapan itu? Aku berusaha keras mengingat-ngingat, tapi tak pernah bisa.
Segera aku beranjak keluar kamar mencari istriku. Aku ingin melihat matanya. Aku ingin memastikan, apakah bayangan laki-laki itu masih bersemayam di bola matanya?
“Tania… Tania…!” aku memanggil-manggil istriku. “Kau di mana?”
Tak ada sahutan. Ah, ke mana dia? Aku mulai khawatir. Jangan-jangan terjadi sesuatu dengannya. Kulangkahkan kaki lebar-lebar menuju ruang belakang. Dan… kulihat dia sedang duduk menghadap meja makan dengan dua buah piring berisi roti tawar dan selai kacang.
“Sudah satu jam aku menunggumu,” istriku cemberut.
“Menungguku?”Istriku menatapku dengan padangan aneh.”Kau ini kenapa, sih?”
“Eee…”
“Bukannya setiap hari aku begini? Kau kan yang mau?”
“Aku?”
Istriku membanting pisau selai yang digenggamnya. Lalu berlari meninggalkan meja makan dengan sesengukkan.
“Tania…” aku mengejarnya. Kusambar lengannya. Dia meronta pasrah dengan tangis yang tertahan. Kudekap tubuhnya erat.
“Maafkan aku telah membuatmu marah,” bisikku lembut.
“Selama ini kau tak pernah punya waktu untuk berbincang-bincang denganku kecuali saat sarapan pagi. Padahal aku ingin sekali kau ajak berlibur, atau setidaknya meluangkan waktu lebih banyak bersamaku…” tangis istriku pecah di pundakku.
Kuusap punggungnya lembut. Istriku kian sesengukkan.
Kulepas pelukanku. Kuusap air mata yang membasah di kedua matanya. “Kau jangan menangis lagi. Minggu depan aku usahakan ambil cuti kerja. Kita bisa berlibur sepuasnya.“
“Sungguh?” matanya tampak berbinar-binar.
Aku mengangguk melemparkan seulas senyum. Kulihat, mata istriku kian berbinar-binar. Seketika pula senyumku surut melihat bayangan laki-laki di bola matanya.
Dan bayangan laki-laki itu… bukan aku.
***
Ruangan kantor hari ini terasa amat dingin. Sangat berbeda dari hari-hari biasanya. Berkali-kali kuusap jemariku yang keram. Ah, aku benar-benar gelisah. Wajah istriku menari-nari dalam kepalaku. Sedang apa dia sekarang?
Kuambil handphone-ku. Kucari namanya. Kuhubungi. Tak aktif. Kucoba lagi. Berkali-laki. Tetap tak aktif. Aku semakin gelisah. Segera kutemui atasanku, meminta izin untuk pulang lebih awal.
Setiba di rumah, kudapati pintu terbuka. Dengan sedikit gemetar, aku melangkah masuk. Dari kejauhan, kulihat sebuah benda panjang tergeletak di lantai. Aku melangkah lebih dekat lagi. Ternyata benda panjang itu lukisan. Aku melangkah lebih dekat lagi. Kulihat sepasang kaki dengan sandal yang terlepas, menyembul dari balik lukisan. Aku melangkah lebih dekat lagi. Kulihat percikan darah. Aku melangkah lebih dekat lagi. Aku jongkok, membuka lukisan yang lumayan berat itu dengan tangan gemetar. Seketika, terlihat sesosok wanita dengan tubuh kaku dan wajah yang remuk.
“Tania?!”
***
Kepulan asap membumbung tinggi ke udara. Lidah api yang menjilat-jilat tampak rakus melahap lukisan-lukisan itu. Hatiku tercabik-cabik. Air mataku deras berguguran membasahi wajah istriku yang terbaring beku di pangkuanku.
***
Aku meraung-raung di pusara istriku. Elita menghampiriku. Mengusap pundakku lembut. “Roy, kau tak boleh begini…”
“Aku tahu. Apapun yang aku lakukan tak kan mungkin mengembalikan Tania lagi bukan?”
“Seandainya saja kau tidak membakar lukisan-lukisan itu…” Suara Elita terdengar lirih.
“Lukisan itu telah membunuh istriku!” darahku naik ke ubun-ubun.
“Lukisan itu tak pernah membunuh istrimu. Tuhanlah yang telah menakdirkan kematiannya.”
Aku menelan ludah.
“Seandainya kau tak membakar lukisan-lukisan itu… mungkin Tania masih hidup.”
Aku tertawa. “Kau sudah gila!”
“Terserah kau mau percaya atau tidak. Buktinya, aku masih hidup hingga saat ini juga karena lukisan.”
“Kau benar-benar sudah gila!”
Elita diam. Senyap. Lalu terdengar tangisnya yang menyayat. Mendengarnya, kepalaku pening bukan main. Kepalaku berdenyut-denyut. Sakit luarbiasa. Antara sadar dan tidak, kulihat sekelebat bayangan melangkah menghampiriku.
Laki-laki itu gemar melukis. Melukis bebatuan, hamparan pasir, tanah retak, gurun… Aku kerap menjadikannya selayak istriku, memeluk, mencium, bahkan menggumulinya. Suatu malam yang gerimis, kudengar tangisnya memekat usai mendengar pengakuanku yang akan menikah dengan Tania. Hingga esoknya… pemberitaan di televisi pun gempar menayangkan sesosok mayat yang tewas terjun dari lantai 5 pusat perbelanjaan…
“Roy… Roy…!” Seseorang menguncang-guncang tubuhku.
Aku membuka mataku. Seketika, kutemukan sepasang mata yang indah. Aku tersenyum, membalas senyum laki-laki yang bersemayam di bola matanya.***
Pekanbaru, Desember 2010
Ahmad Ijazi H adalah mahasiswa UIN Sultan Syarif Kasim Pekanbaru Riau. Pernah meraih beberapa penghargaan menulis diantaranya: Pemenang 1 lomba menulis puisi nasional HUT Majalah Story, Pemenang 2 LMCR nasional (Lip Ice-Selsun Golden Award) atas cerpennya yang berjudul “Patung Ibu” tahun 2009, dan pemenang 3 LMCR yang sama atas cerpennya yang berjudul “Biola Arjuna” pada tahun 2010.