Cerpen: Ilham Wahyudi
Scene 1
Usai langit memuntahkan seluruh kesedihannya. Ketika puting indera pencicipmu tiba-tiba saja merindukan semacam sesuatu yang pecah di lidah. Kamu pun kembali memberanikan diri mencarinya. Mengobrak-abrik lemari. Tentunya bukan lemari pakaian. Sebab baru dua hari yang lalu kamu dan perempuan itu memesan sebuah lemari pakaian di toko mebel langgananmu—dan sampai saat ini pesanan itu belum juga tiba.
Oya, seingatku, kamu juga pernah memesan tempat tidur, sofa, seperangkat meja makan, dan beberapa perabotan rumah tangga yang lain. Betul tidak? Jujur, sebenarnya aku sudah mulai tak sanggup lagi menyimpan kenangan itu lebih lama dalam otakku yang semakin hari kian sesak dipenuhi semua tentang muslihatmu.
Kini kamu berdiri tepat di hadapan lemari itu. Sepasang matamu yang gelisah menelusuri seluruh sudut lemari itu. Tanganmu juga tak kalah hebohnya meluluhlantahkan seluruh isi lemari, sehingga segala yang tersusun, berserakan di lantai bagai usus yang terburai. Kamu betul-betul seperti makhluk luar angkasa yang tersesat di bumi. Butuh pertolongan!
Sebetulnya aku ingin sekali menolongmu. Seperti yang selama ini sering aku lakukan—menyembunyikan seluruh rahasiamu dalam otakku yang tak seberapa besar ini. Tapi apalah daya tangan tak sampai. Ups, maksudku tangan tak punya. Mungkin aku bisa saja menjerit pada perempuan itu. Meminta dia membantumu menemukan apa yang sedang kamu cari. Namun, pahamkah dia akan jeritku?
Scene 2
Di ruang tamu, perempuan itu sedang asyik menonton televisi. Sayup-sayup kudengar suara televisi berubah-ubah. Sepertinya dia sedang mencari sesuatu di televisi. Ah, perempuan itu barangkali mungkin lupa! Kamukan sedang asyik mencari sesuatu di dapur. Mana mungkin kamu nyangkut di televisi? Dasar perempuan, aneh!
Tapi, sepanjang ingatanku, keanehan itulah yang selalu membuatmu sering tak pulang ke rumah. Walau kadang batinmu merasa terbelah.
Scene 3
Ternyata betul kata orang: kegigihan akan selalu menelurkan keberhasilan. Kamu akhirnya berhasil juga menemukan apa yang kamu cari—walau pun bukan di dalam lemari itu. Tapi bagaimana mungkin kamu tahu kopi itu tidak berada di dalam lemari, kalau belum kamu tuangkan seluruh isi lemari?
Tanpa pikir panjang lagi (sebab terlalu banyak yang memang harus kamu pikirkan) kamu tuangkan juga lebih dulu butir-butir kristal putih itu—aku tahu betul kamu selalu ingin ada rasa manis—ke dalam cangkir putih bertuliskan Papa (cangkir bertuliskan Mama sengaja kamu tinggalkan di rumah). Tampaknya keahlianmu menyeduh kopi masih sangat terjaga, sehingga kamu tidak keliru memasukkan yang mana lebih dulu ke dalam cangkir.
Dan akupun mencium bau kegelisahan menyeruak. Kamukah yang gelisah ataukah sesungguhnya isi cangkir bertuliskan Papa?
Scene 4
Perempuan itu sepertinya mulai bosan dengan sinetron. Dia memencet-mencet remote hitam itu. Ya, sinetron memang telah menjajah televisi. Seperti perempuan yang juga pelan-pelan mulai menjajah laki-laki dengan slogan “kesetaraan”.
Scene 5
Pelan-pelan tapi pasti saraf-saraf di telingamu meresapi suara aneh yang tiba-tiba merembes dari ujung dapur tanpa bercak noda. Aku melihatmu buru-buru mendekati muara suara itu. Lalu tiba-tiba saja sunyi!
Hati-hati sekali kamu menggendong makhluk bermoncong seperti belalai itu; perut buncitnya menyimpan maut. Tapi moncong makhluk itu terus saja mengeluarkan semacam asap. Aih, berkeringat kulihat isi dalam selapis kaca tipis itu. Mungkin bukan kopi itu saja yang berkeringat! Mungkin!
Kasar tanganmu memutar tutup selapis kaca tipis itu. Setangkai besi berkepala cekung sedikit lebar akhirnya pun menghujam lantai selapis kaca tipis itu. Tak banyak memang yang kamu keruk dari selapis kaca tipis itu—aku tahu betul kamu bukan sedang mencemaskan asam lambungmu. Tapi, terang kudengar nafasmu turun-naik. Dan yang gelisah, yang berkeringat, hanya bisa pasrah ketika kamu kawinkan mereka pada didih air. Sekelebat seluruh ruangan diselimuti aroma sugar browning.
Scene 6
Kulihat perempuan itu mendekatimu (sebelah tali kutangnya tidak terpasang dengan benar) menyodorkan hidungnya di bibir cangkir putih bertuliskan Papa.
“Maukah kau mengajariku cara menyeduhnya?” Kata perempuan itu setengah berbisik padamu. Samar kulihat sejumput kebahagiaan memuai di bibirmu. Tapi, mengapa aku merasa seperti ada sesuatu yang pecah dalam tubuhku ini. Oh, alamat apakah ini?
Dan, Tasya! Mengapa senyum lugu anak itu tiba-tiba saja memenuhi memoriku. Menusuk-menusuk jantungku. Menghukumku! Tidak, Tasya! Maafkan aku. Maafkan aku. Aku tak bisa berbuat apa-apa, sungguh!
Aku menyesal. Aku ingin menjerit!!
Scene 7
iba-tiba kurasakan tubuhku bergetar hebat. Tidak seperti biasanya. Mungkin sebongkah jerit sedang menunggu pecah di gendang telingaku, firasatku berbisik.
Anusku yang sejak tadi sore kamu tusukkan dengan seutas seperti tali terasa makin panas! Kudengar langkahmu kembali buru-buru. Sepertinya kamu hafal betul dengan suara dari rahangku.
Scene 8
Uhhg!!! Sigap tanganmu mencabut seutas seperti tali itu dari anusku.
Auwwwww…!!!
Seandainya saja kamu bisa mendengar aku juga bisa menjerit, mungkin kamu tidak akan sekasar itu mencabut seutas seperti tali itu setiap kali anusku terasa panas setelah sebelumnya kamu tancapkan seutas seperti tali itu.
Kini tubuhku terasa lebih bugar meski masih terus bergetar. Kulihat keraguan meluber dari wajahmu, ketika kamu membaca satu nama di dadaku. Kamu memang selalu begitu setiap kali sesuatu yang berhubungan dengan Tasya menghampirimu. Apalagi kalau kamu sedang dengan perempuan itu. Tapi, Tasya, apakah ia pernah tahu?
Akhirnya sebongkah jerit pun pecah di gendang telingaku. Dan tubuhku pun, berhenti bergetar.
“Pa…Papa! Mama terjatuh di kamar mandi! Kaki mama berdarah, Pa!” Suara Tasya yang mungil tanpa dosa itu menjerit-jerit melewati telingaku.
“Iya, sayang. Papa pulang sekarang. Tasya jangan nangis, ya!” Katamu lembut, melewati telingaku. Tapi kasar menekan tubuhku.
Scene 9
Dalam gelap; samar kudengar suara perempuan itu.
“Pergilah, biar kuhabiskan kopi itu!” Katanya pasrah padamu.
Medan , 2011