30 C
Medan
Monday, June 24, 2024

Miesop Kampung dan Selera yang Tidak Tersalur

Ke Medan belum lengkap kalau belum makan durian. Belum lengkap juga kalau pulangnya tidak bawa bika Ambon dan bolu gulung. Apalagi jika ada yang berkeras untuk sekalian bawa manisan buah sebagai buah tangan, maka lengkaplah kunjungan Anda.

Ya, ini soal Kota Medan yang kata orang sebagai kota kuliner. Di kota yang kata orang juga sebagai kota yang keras ini memang berjejer aneka makanan yang menggoda hasrat. Tidak hanya soal buah tangan, makanan yang bisa disantap langsung pun bertebaran bak jamur di musim penghujan. Nyaris di setiap ruas jalan atau kawasan di Medan ada makanan andalan. Tidak percaya? Silakan Anda berkeliling Kota Medan.

Maka, mari kita sebut satu per satu makanan yang begitu memanjakan lidah. Sebut saja soto, adakah yang mengimbangi soto di Jalan Sei Deli simpang Jalan Gatot Subroto, Jalan Katamso, Jalan Surabaya, dan sebagainya? Kerang rebus? Makanan ini tidak hanya tersedia dengan nikmat di wilayah Medan bagian utara, singgahlah di kawasan Simpang Limun. Untuk bakso, ada warung legendaris yang sering didatangi artis di pinggir Sungai Deli, tepatnya di Jalan Juanda bukan? Martabak mesir maupun martabak Aceh serta martabak manis jangan ditanya lagi, dia nyaris ada di setiap kawasan di Medan. Lalu bagaimana dengan rujak? Untuk jenis makanan ini tentunya Taman Sri Deli sudah mewakili. Bagi yang tidak memiliki pantangan dalam makan, Babi Panggang Karo atau yang lebih dikenal dengan BPK bisa membuat lidah tak berhenti bergoyang. Silakan datangi kawasan Padang Bulan, warung BPK berbaris di sana.

Tentunya masih banyak jenis makanan lain yang telah mencuri perhatian, misalnya aneka sate; mulai sate Padang hingga Madura. Belum lagi nasi goreng dan makanan ‘modern’ lainnya seperti burger yang telah dimodifikasi dengan apik di Medan.
Itu masih soal jenis makanan. Bicara komunitas pecinta makanan maka di Medan ada beberapa wilayah yang sengaja atau tidak sengaja telah terset sebagai kawasan kuliner. Pagaruyung, Dr Mansur, Halat/HM Jhoni, Merdeka Walk, danRingroad adalah beberapa dari kawasan yang namanya telah mengemuka sebagai wilayah kuliner dan tidak pernah sepi penikmat. Di kawasan yang saya sebut tadi, Anda tinggal pilih mau makanan apa. Rasa makanannya dijamin sesuai dengan lidah Medan yang kata orang lebih lihai memilih makanan.

Namun, sebagai orang yang kini tinggal di Medan, saya ingin melantunkan tentang sebuah makanan yang cukup menarik. Orang Medan menyebutnya miesop kampung. Makanan ini mirip bakso. Bedanya, dia tidak memakai pentolan bakso tapi ayam goreng yang disuir atau dipotong kecil-kecil. Kekhasan makanan ini terletak pada kuahnya; kaldu ayam begitu terasa. Lalu, kerupuk merah yang diremuk atau dipecahkan dengan digenggam oleh tangan hingga menjadi potongan kecil. Saat dihidangkan, kerupuk merah itu bisa memenuhi mangkuk miesop tadi. Sebuah makanan yang menggiurkan saat dicampur dengan cabai rawit yang digiling. Panas dan pedas.

Untuk meredakan pedas dan panas, biasanya penjual akan menyediakan air minuman berupa sirup berwarna hijau. Belakangan, miesop sudah ditemani dengan es campur dan es teler.
Jujur, saya adalah penikmat miesop. Sebenarnya saat kecil, makanan ini adalah kegemaran saya. Namun, saya menikmatinya bukan di Medan, melainkan di Langsa NAD; tempat tinggal saya. Di Langsa namanya bukan misop tapi mieso. Tapi sudahlah, kali ini saya bicara soal miesop Medan.

Soal miesop ini saya tak tahu kenapa di Medan bisa disebut sebagai miesop kampung. Seorang kawan menjelaskan pada saya, diberi nama miesop kampung karena tempat jualan makanan itu biasanya di kampung-kampung, di gang-gang kecil, pasar tradisional, dan tidak pernah di sisi jalan protokol atau di mal dan plaza. Dengan kata lain, misop identik dengan kampung maka disebutlah dia sebagai miesop kampung. Soal kekampungan miesop sejatinya bisa diperdebatkan. Setidaknya, belakangan ini makanan itu telah dilirik pengusaha hingga membangun dua gerai makanan itu di dua kawasan kuliner Medan; ringroad dan dr Mansyur. Kasarnya, dengan bangunan serta pelayanan yang diberikan, miesop tak lagi kampungan.

Bedanya dengan bakso, si miesop tampaknya tak bisa lepas dari kata ‘kampung’ tadi. Buktinya, pengusaha yang membangun gerai mewah itu malah memberikan nama warungnya dengan kata miesop kampung. Mungkin, dia ingin merebut pasar atau menggali kepenasaran warga yang memang sangat kenal dengan kata miesop kampung tadi; sekampung apakah rasa miesop di gerai mewah itu? Ya, kenapa dia tidak menyebut diri dengan miesop nikmat atau miesop modern atau miesop lezat dan sebagainya.

Tapi sudahlah, soal miesop kampung, warungnya bertebaran di Medan, Anda tinggal memilih mau di kawasan mana. Saya biasanya makan di sebuah warung yang ada di Jalan Selamat. Warungnya kecil, hanya terdiri dari tiga meja untuk pembeli. Menu yang biasanya saya pilih adalah miesop dengan mie putih, kulit ayam goreng (dagingnya terlalu banyak, saya tak mampu menghabiskan), dan tentunya tulang-tulang ayam. Minumnya? Maaf saya tidak suka sirup, maka teh hangat adalah pasangan miesop yang saya anggap pas.

Dan, Kamis lalu saya bersama rekan kantor menuju ke sana. Saat itu hari belum malam, masih sekira pukul lima petang. Sial. Miesopnya sudah kandas. Begitulah, warung sekecil itu memang memiliki banyak pelanggan. Beberapa kali saya makan di sana, saya sering kesulitan makan karena duduk berhimpitan dengan pembeli yang lain. Pelanggan warung itu pun orang berkelas. Jalanan depan warung itu penuh dengan mobil.

Dengan kata lain, meski kecil, warung itu ternyata tidak kalah dengan warung yang ada di dua kawasan kuliner di Medan. Hebatnya lagi, warung itu pun tak harus menulis besar-besar: miesop kampung! Ya, keberadaannya di jalan kecil dan kondisi warung yang sederhana memang sudah identik dengan kampung bukan? Begitupun dengan tampilan di steling, penuh dengan mie (putih dan kuning) serta tumpukan ayam goreng, sudah menunjukkan dia menjual miesop bukan? Selain itu, menurut penelusuran saya di beberapa warung miesop kampung, setiap warung memiliki pelanggannya sendiri. Hebat bukan? Ya, saking hebatnya, kemarin petang saya kalang kabut mencari miesop kampung karena hari sedang hujan. Sungguh nikmat menikmati makanan yang panas dan pedas. Sial, beberapa warung yang saya datangi, sang miesop sudah kandas. Sudahlah…. (*)

Ke Medan belum lengkap kalau belum makan durian. Belum lengkap juga kalau pulangnya tidak bawa bika Ambon dan bolu gulung. Apalagi jika ada yang berkeras untuk sekalian bawa manisan buah sebagai buah tangan, maka lengkaplah kunjungan Anda.

Ya, ini soal Kota Medan yang kata orang sebagai kota kuliner. Di kota yang kata orang juga sebagai kota yang keras ini memang berjejer aneka makanan yang menggoda hasrat. Tidak hanya soal buah tangan, makanan yang bisa disantap langsung pun bertebaran bak jamur di musim penghujan. Nyaris di setiap ruas jalan atau kawasan di Medan ada makanan andalan. Tidak percaya? Silakan Anda berkeliling Kota Medan.

Maka, mari kita sebut satu per satu makanan yang begitu memanjakan lidah. Sebut saja soto, adakah yang mengimbangi soto di Jalan Sei Deli simpang Jalan Gatot Subroto, Jalan Katamso, Jalan Surabaya, dan sebagainya? Kerang rebus? Makanan ini tidak hanya tersedia dengan nikmat di wilayah Medan bagian utara, singgahlah di kawasan Simpang Limun. Untuk bakso, ada warung legendaris yang sering didatangi artis di pinggir Sungai Deli, tepatnya di Jalan Juanda bukan? Martabak mesir maupun martabak Aceh serta martabak manis jangan ditanya lagi, dia nyaris ada di setiap kawasan di Medan. Lalu bagaimana dengan rujak? Untuk jenis makanan ini tentunya Taman Sri Deli sudah mewakili. Bagi yang tidak memiliki pantangan dalam makan, Babi Panggang Karo atau yang lebih dikenal dengan BPK bisa membuat lidah tak berhenti bergoyang. Silakan datangi kawasan Padang Bulan, warung BPK berbaris di sana.

Tentunya masih banyak jenis makanan lain yang telah mencuri perhatian, misalnya aneka sate; mulai sate Padang hingga Madura. Belum lagi nasi goreng dan makanan ‘modern’ lainnya seperti burger yang telah dimodifikasi dengan apik di Medan.
Itu masih soal jenis makanan. Bicara komunitas pecinta makanan maka di Medan ada beberapa wilayah yang sengaja atau tidak sengaja telah terset sebagai kawasan kuliner. Pagaruyung, Dr Mansur, Halat/HM Jhoni, Merdeka Walk, danRingroad adalah beberapa dari kawasan yang namanya telah mengemuka sebagai wilayah kuliner dan tidak pernah sepi penikmat. Di kawasan yang saya sebut tadi, Anda tinggal pilih mau makanan apa. Rasa makanannya dijamin sesuai dengan lidah Medan yang kata orang lebih lihai memilih makanan.

Namun, sebagai orang yang kini tinggal di Medan, saya ingin melantunkan tentang sebuah makanan yang cukup menarik. Orang Medan menyebutnya miesop kampung. Makanan ini mirip bakso. Bedanya, dia tidak memakai pentolan bakso tapi ayam goreng yang disuir atau dipotong kecil-kecil. Kekhasan makanan ini terletak pada kuahnya; kaldu ayam begitu terasa. Lalu, kerupuk merah yang diremuk atau dipecahkan dengan digenggam oleh tangan hingga menjadi potongan kecil. Saat dihidangkan, kerupuk merah itu bisa memenuhi mangkuk miesop tadi. Sebuah makanan yang menggiurkan saat dicampur dengan cabai rawit yang digiling. Panas dan pedas.

Untuk meredakan pedas dan panas, biasanya penjual akan menyediakan air minuman berupa sirup berwarna hijau. Belakangan, miesop sudah ditemani dengan es campur dan es teler.
Jujur, saya adalah penikmat miesop. Sebenarnya saat kecil, makanan ini adalah kegemaran saya. Namun, saya menikmatinya bukan di Medan, melainkan di Langsa NAD; tempat tinggal saya. Di Langsa namanya bukan misop tapi mieso. Tapi sudahlah, kali ini saya bicara soal miesop Medan.

Soal miesop ini saya tak tahu kenapa di Medan bisa disebut sebagai miesop kampung. Seorang kawan menjelaskan pada saya, diberi nama miesop kampung karena tempat jualan makanan itu biasanya di kampung-kampung, di gang-gang kecil, pasar tradisional, dan tidak pernah di sisi jalan protokol atau di mal dan plaza. Dengan kata lain, misop identik dengan kampung maka disebutlah dia sebagai miesop kampung. Soal kekampungan miesop sejatinya bisa diperdebatkan. Setidaknya, belakangan ini makanan itu telah dilirik pengusaha hingga membangun dua gerai makanan itu di dua kawasan kuliner Medan; ringroad dan dr Mansyur. Kasarnya, dengan bangunan serta pelayanan yang diberikan, miesop tak lagi kampungan.

Bedanya dengan bakso, si miesop tampaknya tak bisa lepas dari kata ‘kampung’ tadi. Buktinya, pengusaha yang membangun gerai mewah itu malah memberikan nama warungnya dengan kata miesop kampung. Mungkin, dia ingin merebut pasar atau menggali kepenasaran warga yang memang sangat kenal dengan kata miesop kampung tadi; sekampung apakah rasa miesop di gerai mewah itu? Ya, kenapa dia tidak menyebut diri dengan miesop nikmat atau miesop modern atau miesop lezat dan sebagainya.

Tapi sudahlah, soal miesop kampung, warungnya bertebaran di Medan, Anda tinggal memilih mau di kawasan mana. Saya biasanya makan di sebuah warung yang ada di Jalan Selamat. Warungnya kecil, hanya terdiri dari tiga meja untuk pembeli. Menu yang biasanya saya pilih adalah miesop dengan mie putih, kulit ayam goreng (dagingnya terlalu banyak, saya tak mampu menghabiskan), dan tentunya tulang-tulang ayam. Minumnya? Maaf saya tidak suka sirup, maka teh hangat adalah pasangan miesop yang saya anggap pas.

Dan, Kamis lalu saya bersama rekan kantor menuju ke sana. Saat itu hari belum malam, masih sekira pukul lima petang. Sial. Miesopnya sudah kandas. Begitulah, warung sekecil itu memang memiliki banyak pelanggan. Beberapa kali saya makan di sana, saya sering kesulitan makan karena duduk berhimpitan dengan pembeli yang lain. Pelanggan warung itu pun orang berkelas. Jalanan depan warung itu penuh dengan mobil.

Dengan kata lain, meski kecil, warung itu ternyata tidak kalah dengan warung yang ada di dua kawasan kuliner di Medan. Hebatnya lagi, warung itu pun tak harus menulis besar-besar: miesop kampung! Ya, keberadaannya di jalan kecil dan kondisi warung yang sederhana memang sudah identik dengan kampung bukan? Begitupun dengan tampilan di steling, penuh dengan mie (putih dan kuning) serta tumpukan ayam goreng, sudah menunjukkan dia menjual miesop bukan? Selain itu, menurut penelusuran saya di beberapa warung miesop kampung, setiap warung memiliki pelanggannya sendiri. Hebat bukan? Ya, saking hebatnya, kemarin petang saya kalang kabut mencari miesop kampung karena hari sedang hujan. Sungguh nikmat menikmati makanan yang panas dan pedas. Sial, beberapa warung yang saya datangi, sang miesop sudah kandas. Sudahlah…. (*)

Artikel Terkait

Mahasiswi Dirampok Wanita Hamil

Jalan Pintas dari Kualanamu

Karya dan Kamar Mandi

Ya atau Tidak Sama Saja …

Terpopuler

Artikel Terbaru

/