25 C
Medan
Saturday, September 28, 2024

Atas Nama Sekolah, Dana Bukan Masalah

Ramadhan Batubara

Kini, apa yang dilakukan Raden Mas Soewardi Soerjaningrat pada 3 Juli tahun 1922 (resminya) adalah sesuatu yang aneh. Bagaimana tidak, bangsawan Jawa yang kemudian dikenal sebagai Ki Hadjar Dewantara itu berani mendirikan Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda.

Saya awali lantun ini dengan kalimat di atas bukan tanpa sebab. Bermula dari kabar meningkatkannya biaya pendidikan di negeri ini tentunya. Ayolah, ketika biaya pendidikan begitu tinggi, apakah mungkin negeri ini bisa bangkit untuk menjadi bangsa yang pintar?

Perhatikanlah zaman terkini, di zaman yang katanya sudah merdeka ini, pendidikan menjadi sesuatu yang mahal. Setiap tahun ada saja kutipan tak jelas, baik atas nama pakaian olahraga, topi, dasi dan sebagainya. Lalu, nyaris setiap tahun buku pelajaran berganti; tidak bisa dipakai untuk tahun ajaran berikutnya. Belum lagi soal setoran atau uang pelicin yang kabarnya tak ada namun tetap saja terasa.

Menariknya, ketika berbincang dengan pengamat ekonomi sekaligus Dekan Fakultas Ekonomi USU, Jhon Tafbu Ritonga, saya malah diterangkan kalau soal uang tersebut belum seberapa. Jhon mengatakan kenaikan satu persen saja dari biaya pendidikan pada setiap tahunnya akan mempengaruhi daya beli warga Indonesia.  Dan, yang membuat saya terhenyak, jumlah itu bisa triliunan rupiah.

Penjelasannya begini, anggaplah pendapatan warga Indonesia selama setahun adalah 600 triliun rupiah. Ups, jangan terperangah dulu, anggap itu hanya jumlah dari tiga juta rupiah (pendapatan setiap warga selama setahun; terlalu kecil gak ya?) dikali 200 juta warga Indonesia. Nah, jika saja kenaikan biaya pendidikan di Indonesia per tahunnya mencapai satu persen, bukankah daya beli warga bisa berkurang hingga enam triliun! Fiuh.

“Jadi soal pungutan liar atau biaya lain-lain itu masih kecil,” kata Jhon pula sambil tertawa. Saya tertawa, tapi kecewa karena tidak berlogika semacam itu. Ha ha ha.

Tapi sudahlah, mungkin itu hitung-hitungan si Jhon saja, tapi yang menyangkut dalam otak saya adalah kenapa pendidikan harus mahal? Saya mencoba membayangkan, seperti apa pikiran Ki Hajar Dewantara di masanya. Bayangkan saja, di saat itu, di zaman kolonial, mereka yang berhak mengenyam pendidikan hanyalah kalangan tertentu; pastinya mereka yang dekat dengan pemerintahan kolonial. Maka, pendidikan adalah sesuatu yang mewah. Nah, di saat itu muncul Ki Hajar Dewantara dengan National Onderwijs Institut Taman Siswa-nya.
Memang terpikir juga oleh saya apa yang dilakukan Ki Hajar adalah sesuatu yang wajar.

Ya, bukankah dia berasal dari kaum bangsawan yang tentunya tidak berpikir lagi soal perut? Nah, apa yang dibuat olehnya bukan sesuatu yang istimewa bukan? Sayangnya, pikiran itu langsung saya jawab sendiri. Dia tetap hebat, karena di saat itu pemerintah kolonial sengaja atau alpa terhadap perkembangan warga jajahannya secara umum. Ki Hajar hadir dengan sekolah jelatanya itu; belajar di bawah pohon, tanpa seragam, dan segala tetek bengek sekolah pada umumnya. Intinya, transfer ilmu tetap ia lakukan demi kemajuan.

Nah, jika dihubungkan dengan sekarang, ketika pemerintah telah membangun begitu banyak sekolah, apa yang menyebabkan pendidikan jadi mahal? Bukankah semuanya ditentukan oleh negara? Ya, soal harga pendidikan kan juga wilayah pemerintah, kenapa terkesan tidak berkuasa hingga menggelontorkan beraneka program semacam BOS dan sebagainya.

Program semacam itu kan seakan membuat kelas kepada warganya, seperti Belanda yang hanya memberikan pendidikan bagi priyayi dan maupun orang-orang mereka saja. Ya, murid kaya dan murid subsidi tentunya bermental beda. Bukankah begitu?

Tapi tunggu dulu, saya teringat si Jhon Tafbu lagi, dia katakan jika manajemen negara bagus, maka soal pendidikan itu bukan masalah. Maksudnya begini, seandainya pemerintah serius memenej pendidikan dalam artian segala hal yang terkait, biaya pendidikan bisa ditekan. Selama ini yang terjadi adalah manajemen yang tidak tepat. Misalnya, ketika diberi beasiswa pada murid pintar, eh yang dapat malah murid dari keluarga kaya. Kenapa bisa terjadi? Jawabnya, karena murid pintar biasanya berasal dari keluarga yang kaya yang mampu memberikan fasilitas les, buku, dan sebagainya.

Lalu, ketika bangun sekolah gratis, apakah akan efektif? Yang ada hanya penumpukan murid di sekolah tersebut yang ujung-ujungnya bisa menimbulkan kecurangan lain. Bagaimana tidak, ada kecemburuan yang terjadi. Sekolah gratis baru efektif jika dilakukan secara serentak di setiap daerah. Nah, ujung-ujungnya, ke pemerintah lagi kan, siap tidak pemerintah memberikan itu?
Sudahlah, bicara biaya pendidikan memang sulit, terlalu banyak yang harus dikupas. Apalagi ketika budaya orang kita yang bangga menyekolahkan anak hingga ladang dan sawah rela dijual. Jadi, masalah biaya bukanlah masalah, bukankah begitu? (*)

Juli 2011

Ramadhan Batubara

Kini, apa yang dilakukan Raden Mas Soewardi Soerjaningrat pada 3 Juli tahun 1922 (resminya) adalah sesuatu yang aneh. Bagaimana tidak, bangsawan Jawa yang kemudian dikenal sebagai Ki Hadjar Dewantara itu berani mendirikan Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda.

Saya awali lantun ini dengan kalimat di atas bukan tanpa sebab. Bermula dari kabar meningkatkannya biaya pendidikan di negeri ini tentunya. Ayolah, ketika biaya pendidikan begitu tinggi, apakah mungkin negeri ini bisa bangkit untuk menjadi bangsa yang pintar?

Perhatikanlah zaman terkini, di zaman yang katanya sudah merdeka ini, pendidikan menjadi sesuatu yang mahal. Setiap tahun ada saja kutipan tak jelas, baik atas nama pakaian olahraga, topi, dasi dan sebagainya. Lalu, nyaris setiap tahun buku pelajaran berganti; tidak bisa dipakai untuk tahun ajaran berikutnya. Belum lagi soal setoran atau uang pelicin yang kabarnya tak ada namun tetap saja terasa.

Menariknya, ketika berbincang dengan pengamat ekonomi sekaligus Dekan Fakultas Ekonomi USU, Jhon Tafbu Ritonga, saya malah diterangkan kalau soal uang tersebut belum seberapa. Jhon mengatakan kenaikan satu persen saja dari biaya pendidikan pada setiap tahunnya akan mempengaruhi daya beli warga Indonesia.  Dan, yang membuat saya terhenyak, jumlah itu bisa triliunan rupiah.

Penjelasannya begini, anggaplah pendapatan warga Indonesia selama setahun adalah 600 triliun rupiah. Ups, jangan terperangah dulu, anggap itu hanya jumlah dari tiga juta rupiah (pendapatan setiap warga selama setahun; terlalu kecil gak ya?) dikali 200 juta warga Indonesia. Nah, jika saja kenaikan biaya pendidikan di Indonesia per tahunnya mencapai satu persen, bukankah daya beli warga bisa berkurang hingga enam triliun! Fiuh.

“Jadi soal pungutan liar atau biaya lain-lain itu masih kecil,” kata Jhon pula sambil tertawa. Saya tertawa, tapi kecewa karena tidak berlogika semacam itu. Ha ha ha.

Tapi sudahlah, mungkin itu hitung-hitungan si Jhon saja, tapi yang menyangkut dalam otak saya adalah kenapa pendidikan harus mahal? Saya mencoba membayangkan, seperti apa pikiran Ki Hajar Dewantara di masanya. Bayangkan saja, di saat itu, di zaman kolonial, mereka yang berhak mengenyam pendidikan hanyalah kalangan tertentu; pastinya mereka yang dekat dengan pemerintahan kolonial. Maka, pendidikan adalah sesuatu yang mewah. Nah, di saat itu muncul Ki Hajar Dewantara dengan National Onderwijs Institut Taman Siswa-nya.
Memang terpikir juga oleh saya apa yang dilakukan Ki Hajar adalah sesuatu yang wajar.

Ya, bukankah dia berasal dari kaum bangsawan yang tentunya tidak berpikir lagi soal perut? Nah, apa yang dibuat olehnya bukan sesuatu yang istimewa bukan? Sayangnya, pikiran itu langsung saya jawab sendiri. Dia tetap hebat, karena di saat itu pemerintah kolonial sengaja atau alpa terhadap perkembangan warga jajahannya secara umum. Ki Hajar hadir dengan sekolah jelatanya itu; belajar di bawah pohon, tanpa seragam, dan segala tetek bengek sekolah pada umumnya. Intinya, transfer ilmu tetap ia lakukan demi kemajuan.

Nah, jika dihubungkan dengan sekarang, ketika pemerintah telah membangun begitu banyak sekolah, apa yang menyebabkan pendidikan jadi mahal? Bukankah semuanya ditentukan oleh negara? Ya, soal harga pendidikan kan juga wilayah pemerintah, kenapa terkesan tidak berkuasa hingga menggelontorkan beraneka program semacam BOS dan sebagainya.

Program semacam itu kan seakan membuat kelas kepada warganya, seperti Belanda yang hanya memberikan pendidikan bagi priyayi dan maupun orang-orang mereka saja. Ya, murid kaya dan murid subsidi tentunya bermental beda. Bukankah begitu?

Tapi tunggu dulu, saya teringat si Jhon Tafbu lagi, dia katakan jika manajemen negara bagus, maka soal pendidikan itu bukan masalah. Maksudnya begini, seandainya pemerintah serius memenej pendidikan dalam artian segala hal yang terkait, biaya pendidikan bisa ditekan. Selama ini yang terjadi adalah manajemen yang tidak tepat. Misalnya, ketika diberi beasiswa pada murid pintar, eh yang dapat malah murid dari keluarga kaya. Kenapa bisa terjadi? Jawabnya, karena murid pintar biasanya berasal dari keluarga yang kaya yang mampu memberikan fasilitas les, buku, dan sebagainya.

Lalu, ketika bangun sekolah gratis, apakah akan efektif? Yang ada hanya penumpukan murid di sekolah tersebut yang ujung-ujungnya bisa menimbulkan kecurangan lain. Bagaimana tidak, ada kecemburuan yang terjadi. Sekolah gratis baru efektif jika dilakukan secara serentak di setiap daerah. Nah, ujung-ujungnya, ke pemerintah lagi kan, siap tidak pemerintah memberikan itu?
Sudahlah, bicara biaya pendidikan memang sulit, terlalu banyak yang harus dikupas. Apalagi ketika budaya orang kita yang bangga menyekolahkan anak hingga ladang dan sawah rela dijual. Jadi, masalah biaya bukanlah masalah, bukankah begitu? (*)

Juli 2011

Previous article
Next article

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/