Ramadhan Batubara
Beberapa lantun yang lalu, saya sering berbicara soal angka, tepatnya pada dunia matematika. Ya, saya sering menuliskan soal 2 tambah 2 sama dengan empat; saya tuliskan ini untuk menggambarkan sesuatu sesuatu yang pasti. Nah, kini saya terpikir lagi soal itu.
Sejatinya ini tentang sebuah suara yang angin bawa, dia masuk ke dalam kuping saya, hingga membuat pusing. Suara angin itu berbunyi, “Membungkam aksara dengan angka.” Karena pusing, saya pun coba menerjemahkan itu. Lalu, muncullah pemikiran, kenapa harus dipermasalahkan, bukankah aksara dan angka itu saling berkaitan. Misalnya, pada kuitansi. Ya, di kertas kecil yang sangat itu, tertulis angka dan aksara untuk maksud yang sama bukan? Dengan kata lain, angka untuk menerangkan maksud dari aksara begitu juga sebaliknya. Poinnya, kedua hal itu saling membantu untuk menjadikan sesuatu menjadi nyata.
Tapi, saya malah terpikir pikiran lain. Begini, jika bukan di kuitansi atau kertas transaksi lainnya, bisakah angka mewakili aksara? Kasarnya, bisakah angka mewakili kata ‘malam’? Sementara, angka 99, pun bisa diwakili aksara dengan ‘sembilan puluh sembilan’. Bah! Repot juga begini, berarti posisi aksara ternyata jauh lebih hebat. Lihat saja di uang, meskipun sudah ada angka ‘5000’, tetap saja di kertas itu juga tertulis ‘Lima Ribu Rupiah’.
Jika memang seperti itu, tampaknya lucu juga. Pasalnya, angka memiliki kekuatan yang maha dahsyat di dunia ini. Ya, gara-gara terciptanya angka, maka orang berebut untuk menguasainya. Singkatnya, ketika seseorang memiliki angka yang banyak, maka dia akan lebih berkuasa; jangan salah tangkap, ini tentunya soal kekayaan yang tentunya berhubungan dengan angka.
Kenyataan ini memunculkan sebuah pertanyaan, seperti apa sejarah angka itu sebenarnya? Nah, merunut ke sejarah, dalam berbagai literatur yang ada, tak disebutkan siapa orang yang pertama kali menemukan angka-angka atau bilangan tersebut. Yang pasti, menurut Abah Salma Alif Sampayya, dalam bukunya ‘Keseimbangan Matematika dalam Alquran’ catatan angka pertama kali ditemukan pada selembar tanah liat yang dibuat Suku Sumeria yang tinggal di daerah Mesopotamia sekitar tahun 3.000 SM. Bangsa Mesir kuno menulis angka pada daun lontar dengan tulisan hieroglif, yang kemudian dikembangkan menjadi sistem hieratik. Sedangkan Bangsa Roma menggunakan tujuh tanda untuk mewakili angka, yaitu I, V, X, L, C, D, dan M, yang dikenal dengan angka Romawi. Angka ini digunakan di seluruh Eropa hingga abad pertengahan. Nah, angka modern saat ini, berasal dari simbol yang digunakan oleh para ahli matematika Hindu India sekitar tahun 200 SM, yang kemudian dikembangkan oleh orang Arab.
Begitulah sedikit sejarahnya. Secara pribadi, sebagai anak ketujuh, saya sangat menyukai angka tujuh. Bagi Anda, angka berapa yang paling disukai? Saya jamin, tidak banyak yang akan menjawab 0. Baiklah, bagi yang tidak suka 0 akan saya ceritakan sedikit soal angka ini. Ceritanya begini, dibandingkan seluruh angka yang ada (1-9), angka 0 merupakan angka yang paling terakhir kemunculannya. Bahkan, angka nol pernah ditolak keberadaannya oleh kalangan gereja. Orang yang paling berjasa memperkenalkan angka nol di dunia ini adalah al-Khawarizmi, seorang ilmuwan Muslim terkenal. Dia memperkenalkan angka nol melalui karyanya yang monumental Al-Jabr wa al-Muqbala atau yang lebih dikenal dengan nama Aljabar. Angka nol ini kemudian dibawa ke Eropa oleh Leonardo Fibonacci dalam karyanya Liber Abaci, dan semakin dikenal luas pada zaman Renaissance dengan tokoh-tokohnya, antara lain, Leonardo da Vinci (1452-1519) dan Rene Descartes (1596-1650).
Pada mulanya, angka nol digambarkan sebagai ruang kosong tanpa bentuk yang di India disebut dengan sunya (kosong, hampa). Hingga kini, angka nol memiliki makna yang sangat khas dan memudahkan seseorang dalam berhitung; puluh, ratus, juta, miliar, triliun, dll. Sudahlah, bicara soal 0, tak akan habis-habisnya. Saat ini kita sedang berbicara soal angka secara keseluruhan. Pasalnya, ada suara angin yang mengatakan ‘Membungkam aksara dengan angka’. Ya, setahu saya, aksara lebih lengkap dibanding angka. Seperti di atas tadi, angka tak bisa mewakili aksara, namun aksara mampu mewakili angka hingga ke bilangan terkecil pun.
Sejatinya, Di masa lampau aksara diwujudkan atau digambarkan dengan cara digores atau dipahat pada berbagai bahan (media) keras seperti batu, logam (emas, perunggu, tembaga), kayu, juga bahan-bahan lunak seperti daun tal (ron-tal), atau nipah. Bahan-bahan keras seperti batu atau jenis logam tertentu (emas, tembaga, perunggu) dipakai semata karena bahan tersebut dianggap lebih tahan lama.
Segala hal itu tak lain untuk menunjukkan kalau aksara merupakan salah satu sarana yang mengantar cakrawala pengetahuan sejarah suatu bangsa. Pasalnya, ada anggapan ketika suatu bangsa mengenal aksara maka itu menandakan bangsa itu memasuki masa sejarah atau yang lebih populer disebut masa klasik. Aksara adalah istilah bahasa Sansekerta, akshara, untuk menyebut imperishable letter, words syllable, document, dan sebagainya. Istilah lain untuk menyebut aksara adalah huruf atau abjad (bahasa Arab) yang dimengerti sebagai lambang bunyi (fonem).
Dengan sejarah semacam itu, mungkinkah angka bisa membungkam aksara? Ini dia sulitnya, bukan untuk membandingkan siapa lebih hebat, aksara atau angka (bukankah di atas tadi sudah saya tuliskan kalau keduanya saling berkaitan?), tapi pada kenyataannya suara angin itu bisa saja benar; tentunya ini berbanding terbalik dengan angka yang sejatinya tak bisa mewakili aksara secara keseluruhan. Dalam kenyataan, bukan rahasia jika ada yang bagus beraksara ternyata takluk dengan orang yang berangka. Ya, ketika aksara sedemikian kuat, tapi ketika berhubungan dengan angka dia harus kalah.
Seperti ‘sekadar kata’ yang harus melawan ‘rupiah’ yang tentunya penuh dengan angka. Fiuh. Belum lagi kalau kita bicara soal dominasi angka dalam dunia peruntungan semacam togel dan sejenisnya. Aksara seakan benar-benar kehilangan makna bukan? Tapi begitulah, seperti kata Iwan Fals, “ketika kata tak lagi bermakna, lebih baik diam saja.” Angka itu sulit dilawan kawan! (*)
15 april 2011