25 C
Medan
Saturday, September 28, 2024

Halte Terpanjang Sedunia Itu di Sini

Siang di pusat Kota Medan seperti terpangang. Sabtu kemarin, jarum jam sudah menunjukkan pukul dua lewat lima belas. Sama sekali belum ada tanda akan hujan, padahal BMKG memprediksi hujan deras hingga Mei mendatang. Payah.

Saya berlindung di sebuah ruang tunggu di parkiran kantor media yang berada di kawasan Kesawan. Ruang yang hanya berdinding satu sisi itu tak juga menolong. Angin hanya sekadar lewat, tidak mendinginkan. Sudahlah, nikmati saja.

Ya, seperti kata orang bijak: ketika siksa terus dialami dia akan berubah menjadi biasa. Jadi, saya coba biasakan saja kondisi ini; menikmati panas tanpa mengeluh.

Saya pun mengalihkan pandangan ke jalan di depan sana. Sebuah jalan yang katanya penuh sejarah. Jalan ini menuju Lapangan Merdeka: tempat yang juga sangat bersejarah bagi Kota Medan.
Tiba-tiba saya terkejut. Di jalan itu ada angkot berwarna hijau dengan nomor 70 berhenti mendadak. Posisi angkot itu sebelumnya di tengah jalan, mendadak supirnya banting stir ke kiri; ke tepi jalan, di depan geduang tua kosong dan disewakan; di samping sebuah minimarket waralaba.

Tak pelak, tingkah pola anglot itu menuai makian. Ribut sesaat. Bunyi klakson dan makian pengendara lain mengemuka, menambah panas suasana. Sang angkot tak peduli. Dia tak membalas makian. Supirnya malah asyik mengelap wajah dengan handuk kumalnya. Sementara, penumpang yang baru dia turunkan sibuk mencari uang dari dalam saku celana. Cukup lama proses itu. Cukup lama pula suara klakson dari mobil mewah yang terjebak di belakang angkot.

Parahnya, setelah kejadian angkot hijau bernomor 70 itu, angkot lain yang berwarna biru dengan garis kuning di bagian badanya dan bernomor 12 juga mendadak berhenti. Dia tidak menurunkan penumpang, tapi mengangkut penumpang yang berdiri di depan sebuah toko musik di dekat bank yang logonya bertuliskan warna hijau. Fiuh.

Terus terang dua kasus itu mengingatkan saya dengan beberapa makian yang telah saya lontarkan pada supir angkot di kota ini. Makian itu saya lontarkan bukan karena marah, tapi lebih mengarah pada terkejut. Ayolah, di kota ini masih adakah pengendara yang tak memaki?

Lantun kali ini bukan untuk mendiskreditkan supir angkot atau apapun itu, namun lebih kepada keindahan Kota Medan. Ya, sebuah ciri khas. Ya, sebuah karakter kuat. Mungkin karena itulah, beberapa hari lalu ketika bertemu dengan Bakti Alamsyah, dia mengatakan Medan adalah kota terhebat di dunia. Katanya, bayangkan saja, halte di Medan adalah halte terpanjang di dunia.
Mendengar kalimat sang pengamat tata ruang itu, saya langsung terbahak. Ya, lansung teringat dengan masa sebelum memiliki kendaraan. Sudako atau angkot adalah pilihan utama bagi saya. Cukup indah memang, saya bisa naik di mana saja, bahkan saya sering turun di lampu merah. Jadi, tidak harus untuk menunggu angkutan umum di sebuah halte; berebut tempat duduk agar menunggu menjadi nyaman. Hehehe.
Kelebihan Medan lagi (ini lebih mengarah ke Indonesia secara umum), pengguna angkutan benar-benar dimanjakan. Kata si Alamsyah tadi sambil mengutip kalimat profesornya (saya lupa nama profesor yang dimaksud Alamsyah), transportasi di tempat kita adalah yang terbaik di dunia. Kok bisa? Itu dia, profesor itu mengatakan (tentunya dengan mulut Alamsyah), di Indonesia begitu keluar gang atau rumah, seorang warga sudah ditunggu becak. Lalu, si becak mengantarkan ke jalan besar. Di jalan besar sudah ada angkutan umum atau taksi. Dari situ bisa langsung ke terminal, stasiun, pelabuhan, bahkan bandara. Bukankah itu luar biasa! Tidak ada negara lain yang bisa membuat warganya begitu termanjakan. Fiuh.

Ya,saya sepakat. Di negara lain transportasi umum cenderung terbatas, tidak seperti Indonesia; kalau boleh diantar sampai kamar mandi, pasti ada penyedia jasa yang mau hehehehe.
Tapi sudahlah, Medan sebagai pemilik halte terpanjang sedunia memang hebat. Selain memanjakan penumpang, halte itu juga menghemat pengeluaran pemerintah. Ya, kan tak perlu membuat bangunanya. Tohan bangunan halte yang ada selama ini ja kurang maksimal.

Masalahnya kenapa siang ini begitu panas? Bagaimana mereka yang menunggu angkot di mulut gang, tak ada atap di sana. Ah…, beruntung saya di sini, di ruang tunggu parkiran perkantoran media ternama yang ternyata mirip halte. Heheheheh.(*)

Siang di pusat Kota Medan seperti terpangang. Sabtu kemarin, jarum jam sudah menunjukkan pukul dua lewat lima belas. Sama sekali belum ada tanda akan hujan, padahal BMKG memprediksi hujan deras hingga Mei mendatang. Payah.

Saya berlindung di sebuah ruang tunggu di parkiran kantor media yang berada di kawasan Kesawan. Ruang yang hanya berdinding satu sisi itu tak juga menolong. Angin hanya sekadar lewat, tidak mendinginkan. Sudahlah, nikmati saja.

Ya, seperti kata orang bijak: ketika siksa terus dialami dia akan berubah menjadi biasa. Jadi, saya coba biasakan saja kondisi ini; menikmati panas tanpa mengeluh.

Saya pun mengalihkan pandangan ke jalan di depan sana. Sebuah jalan yang katanya penuh sejarah. Jalan ini menuju Lapangan Merdeka: tempat yang juga sangat bersejarah bagi Kota Medan.
Tiba-tiba saya terkejut. Di jalan itu ada angkot berwarna hijau dengan nomor 70 berhenti mendadak. Posisi angkot itu sebelumnya di tengah jalan, mendadak supirnya banting stir ke kiri; ke tepi jalan, di depan geduang tua kosong dan disewakan; di samping sebuah minimarket waralaba.

Tak pelak, tingkah pola anglot itu menuai makian. Ribut sesaat. Bunyi klakson dan makian pengendara lain mengemuka, menambah panas suasana. Sang angkot tak peduli. Dia tak membalas makian. Supirnya malah asyik mengelap wajah dengan handuk kumalnya. Sementara, penumpang yang baru dia turunkan sibuk mencari uang dari dalam saku celana. Cukup lama proses itu. Cukup lama pula suara klakson dari mobil mewah yang terjebak di belakang angkot.

Parahnya, setelah kejadian angkot hijau bernomor 70 itu, angkot lain yang berwarna biru dengan garis kuning di bagian badanya dan bernomor 12 juga mendadak berhenti. Dia tidak menurunkan penumpang, tapi mengangkut penumpang yang berdiri di depan sebuah toko musik di dekat bank yang logonya bertuliskan warna hijau. Fiuh.

Terus terang dua kasus itu mengingatkan saya dengan beberapa makian yang telah saya lontarkan pada supir angkot di kota ini. Makian itu saya lontarkan bukan karena marah, tapi lebih mengarah pada terkejut. Ayolah, di kota ini masih adakah pengendara yang tak memaki?

Lantun kali ini bukan untuk mendiskreditkan supir angkot atau apapun itu, namun lebih kepada keindahan Kota Medan. Ya, sebuah ciri khas. Ya, sebuah karakter kuat. Mungkin karena itulah, beberapa hari lalu ketika bertemu dengan Bakti Alamsyah, dia mengatakan Medan adalah kota terhebat di dunia. Katanya, bayangkan saja, halte di Medan adalah halte terpanjang di dunia.
Mendengar kalimat sang pengamat tata ruang itu, saya langsung terbahak. Ya, lansung teringat dengan masa sebelum memiliki kendaraan. Sudako atau angkot adalah pilihan utama bagi saya. Cukup indah memang, saya bisa naik di mana saja, bahkan saya sering turun di lampu merah. Jadi, tidak harus untuk menunggu angkutan umum di sebuah halte; berebut tempat duduk agar menunggu menjadi nyaman. Hehehe.
Kelebihan Medan lagi (ini lebih mengarah ke Indonesia secara umum), pengguna angkutan benar-benar dimanjakan. Kata si Alamsyah tadi sambil mengutip kalimat profesornya (saya lupa nama profesor yang dimaksud Alamsyah), transportasi di tempat kita adalah yang terbaik di dunia. Kok bisa? Itu dia, profesor itu mengatakan (tentunya dengan mulut Alamsyah), di Indonesia begitu keluar gang atau rumah, seorang warga sudah ditunggu becak. Lalu, si becak mengantarkan ke jalan besar. Di jalan besar sudah ada angkutan umum atau taksi. Dari situ bisa langsung ke terminal, stasiun, pelabuhan, bahkan bandara. Bukankah itu luar biasa! Tidak ada negara lain yang bisa membuat warganya begitu termanjakan. Fiuh.

Ya,saya sepakat. Di negara lain transportasi umum cenderung terbatas, tidak seperti Indonesia; kalau boleh diantar sampai kamar mandi, pasti ada penyedia jasa yang mau hehehehe.
Tapi sudahlah, Medan sebagai pemilik halte terpanjang sedunia memang hebat. Selain memanjakan penumpang, halte itu juga menghemat pengeluaran pemerintah. Ya, kan tak perlu membuat bangunanya. Tohan bangunan halte yang ada selama ini ja kurang maksimal.

Masalahnya kenapa siang ini begitu panas? Bagaimana mereka yang menunggu angkot di mulut gang, tak ada atap di sana. Ah…, beruntung saya di sini, di ruang tunggu parkiran perkantoran media ternama yang ternyata mirip halte. Heheheheh.(*)

Artikel Terkait

Mahasiswi Dirampok Wanita Hamil

Jalan Pintas dari Kualanamu

Karya dan Kamar Mandi

Ya atau Tidak Sama Saja …

Terpopuler

Artikel Terbaru

/