30 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Tak Ingin Bangga dengan Dosa-dosa

Ramadhan Batubara

Saya pernah mengatakan kalau ketakutan terbesar dalam hidup saya ketika mengendarai kendaraan adalah bertemu polisi lalu lintas. Kini tidak lagi, saya telah memiliki Surat Izin Mengemudi dan kelengkapan lainnya. Sayangnya, setelah masalah polisi lalu lintas selesai, saya malah menyadari sebuah ketakutan yang lain. Saya takut menyanyi.

Tolong, jangan anggap menyanyi yang saya maksud adalah seperti yang dilakukan Nazaruddin. Ini soal nyanyi yang sebenarnya, seperti Krisdayanti yang fasih memegang microphone di Pendopo Rumah Dinas Walikota Medan beberapa malam lalu. Ya, ini tentang melantunkan nada dan lirik.

Ketakutan saya ini semakin menjadi karena beberapa hari ke belakang ada kecenderungan baru di kalangan kantor. Ya, apalagi kalau bukan soal menyanyi. Tapi sekali lagi, ini bukan nyanyian dalam tanda kutip –seperti pembusukan karakter pimpinan atau lainnya—ini hanya soal nada dan lirik. Tujuannya adalah pesta pernikahan dan karoke, heheheheh.

Hingga, karena terus didesak oleh keinginan untuk menyanyi, saya pun sibuk menyetel mp3 di komputer. Dan yang saya dapati hanyalah lagu Ebiet G Ade. Fiuh, hanya satu lagu pula! Lagu ini berjudul Berita Kepada Kawan. Sebagian liriknya seperti ini:

Barangkali di sana ada jawabnya//mengapa di tanahku terjadi bencana//Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita//yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa//atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita//Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang
Entahlah, kenapa folder musik di komputer saya bisa hancur. Bayangkan saja, sebelumnya folder itu penuh dengan lagu Indonesia lawas hingga era 1990-an (maklumlah, saya hanya bisa menikmati musik Indonesia di era itu) dan musik barat (terutama genre musik rock era 70-an dan 80-an, blues, jazz, dan reagge).
Kenyataan ini sepertinya ada yang merekayasa. Hm, siapa lagi terdakwanya selain istri bukan? Ya, sudahlah. Saya tidak mau mengkonfirmasi hal ini pada istri, ya, takut terjadi perang dingin. Yang saya tahu, dia memang tidak begitu suka ketika saya sudah mendengarkan musik. Pasalnya, ketika kegemaran mendengar musik saya lakukan, durasinya bisa mencapai lima jam. Ujung-ujungnya saya tidak tidur. Sewotlah dia. Hm, meski begitu, rasanya tak mungkin dia menghapus koleksi lagu saya.

Tapi, siapa yang menghapus? Lalu, kenapa lagu Ebiet tadi saja yang dia tinggali? Adakah ini semacam pesan? Ya, bukankah lirik lagu itu seakan mengambarkan Indonesia kini?

Tak mau pusing memikirkan hal itu, saya dengari juga satu-satunya lagu yang tersisa. Hasilnya, makin lama lagu itu terus berulang, ada kalimat yang nyangkut di kepala saya; ya, yang baitnya saya kutip tadi. Saya terenyuh dengan kalimat yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa. Saya merasa tertusuk. Lirik itu seakan membawa saya ke ucapan-ucapan yang telah saya keluarkan.

Adalah sangat sering saya menceritakan dosa-dosa saya agar lawan bicara terus mendengar cerita yang saya tawarkan. Ukh, di warung kopi, di kantin kantor, mereka tertawa mendengar dosa yang sempat saya buat di masa lalu. Saya bangga. Saya jadi pusat perhatian. Pun, kawan-kawan seakan tak mau kalah, mereka bernyanyi tentang diri mereka sendiri; pernah bercinta dengan si A. Lalu bersama si B pernah ‘main’. Fiuh, langit kantin dan warung kota tebal oleh dosa-dosa kami.

Begitu pun ketika melihat televisi, berita di koran, dan kabar di radio. Ah, saya sadari dosa adalah sesuatu yang laris manis. Maka, dosa pun dikemas sedemikian rupa menjadi sebuah sajian yang menarik, yang ditunggu, dan yang diharapkan. Kadar dosa pun semakin menurun, dia semakin biasa. Persis kata orang bijak, ketika sebuah kata makian terus diulang dari waktu ke waktu, maka maknanya akan berubah. Makian itu pun hilang arti.

Lalu, jika begitu banyak dosa-dosa yang bertebaran, bukankah dosa itu bisa berubah makna? Dia kan menjadi biasa dan yang melakukannya pun semakin tiada beban. Bah, kalau soal ini agak sulit menjawabnya, dia menjadi wilayah kepercayaan dan saya tak mau menyinggungnya.

Hm, kita kembali saja ke soal nyanyi tadi.

Nah, akhirnya, karena menemukan satu lagu saja, saya pun tak jadi menghafal lagu tersebut. Pasalnya, lagu itu terlalu ‘mendayu’ untuk dinyanyikan di pesta pernikahan ataupun di karoke bukan? Maka, tetap saja saya tidak bisa menyanyi dan ketakutan saya masih tetap.

Tapi sudahlah, setiap orang memang memiliki ketakutan tersendiri. Dan, ketakutan itu pasti berkembang. Saya pahami, ketakutan itu tumbuh seiring pertumbuhan kedewasaan manusia. Jadi, ketika hingga kini masih ada yang tidak takut pada apapun, misalnya soal korupsi, suap-menyuap, memeras, atau apalah, maka dia akan menemukan ketakutannya sendiri di kemudian hari. Di sanalah kedewasaannya diuji. Seperti saya saat ini, takut menyanyi. Dan, ketika sisi kedewasaan memilih untuk belajar menyanyi, saya benar-benar diuji dengan hilangnya koleksi musik tadi. Bukankah begitu? (*)

Ramadhan Batubara

Saya pernah mengatakan kalau ketakutan terbesar dalam hidup saya ketika mengendarai kendaraan adalah bertemu polisi lalu lintas. Kini tidak lagi, saya telah memiliki Surat Izin Mengemudi dan kelengkapan lainnya. Sayangnya, setelah masalah polisi lalu lintas selesai, saya malah menyadari sebuah ketakutan yang lain. Saya takut menyanyi.

Tolong, jangan anggap menyanyi yang saya maksud adalah seperti yang dilakukan Nazaruddin. Ini soal nyanyi yang sebenarnya, seperti Krisdayanti yang fasih memegang microphone di Pendopo Rumah Dinas Walikota Medan beberapa malam lalu. Ya, ini tentang melantunkan nada dan lirik.

Ketakutan saya ini semakin menjadi karena beberapa hari ke belakang ada kecenderungan baru di kalangan kantor. Ya, apalagi kalau bukan soal menyanyi. Tapi sekali lagi, ini bukan nyanyian dalam tanda kutip –seperti pembusukan karakter pimpinan atau lainnya—ini hanya soal nada dan lirik. Tujuannya adalah pesta pernikahan dan karoke, heheheheh.

Hingga, karena terus didesak oleh keinginan untuk menyanyi, saya pun sibuk menyetel mp3 di komputer. Dan yang saya dapati hanyalah lagu Ebiet G Ade. Fiuh, hanya satu lagu pula! Lagu ini berjudul Berita Kepada Kawan. Sebagian liriknya seperti ini:

Barangkali di sana ada jawabnya//mengapa di tanahku terjadi bencana//Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita//yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa//atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita//Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang
Entahlah, kenapa folder musik di komputer saya bisa hancur. Bayangkan saja, sebelumnya folder itu penuh dengan lagu Indonesia lawas hingga era 1990-an (maklumlah, saya hanya bisa menikmati musik Indonesia di era itu) dan musik barat (terutama genre musik rock era 70-an dan 80-an, blues, jazz, dan reagge).
Kenyataan ini sepertinya ada yang merekayasa. Hm, siapa lagi terdakwanya selain istri bukan? Ya, sudahlah. Saya tidak mau mengkonfirmasi hal ini pada istri, ya, takut terjadi perang dingin. Yang saya tahu, dia memang tidak begitu suka ketika saya sudah mendengarkan musik. Pasalnya, ketika kegemaran mendengar musik saya lakukan, durasinya bisa mencapai lima jam. Ujung-ujungnya saya tidak tidur. Sewotlah dia. Hm, meski begitu, rasanya tak mungkin dia menghapus koleksi lagu saya.

Tapi, siapa yang menghapus? Lalu, kenapa lagu Ebiet tadi saja yang dia tinggali? Adakah ini semacam pesan? Ya, bukankah lirik lagu itu seakan mengambarkan Indonesia kini?

Tak mau pusing memikirkan hal itu, saya dengari juga satu-satunya lagu yang tersisa. Hasilnya, makin lama lagu itu terus berulang, ada kalimat yang nyangkut di kepala saya; ya, yang baitnya saya kutip tadi. Saya terenyuh dengan kalimat yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa. Saya merasa tertusuk. Lirik itu seakan membawa saya ke ucapan-ucapan yang telah saya keluarkan.

Adalah sangat sering saya menceritakan dosa-dosa saya agar lawan bicara terus mendengar cerita yang saya tawarkan. Ukh, di warung kopi, di kantin kantor, mereka tertawa mendengar dosa yang sempat saya buat di masa lalu. Saya bangga. Saya jadi pusat perhatian. Pun, kawan-kawan seakan tak mau kalah, mereka bernyanyi tentang diri mereka sendiri; pernah bercinta dengan si A. Lalu bersama si B pernah ‘main’. Fiuh, langit kantin dan warung kota tebal oleh dosa-dosa kami.

Begitu pun ketika melihat televisi, berita di koran, dan kabar di radio. Ah, saya sadari dosa adalah sesuatu yang laris manis. Maka, dosa pun dikemas sedemikian rupa menjadi sebuah sajian yang menarik, yang ditunggu, dan yang diharapkan. Kadar dosa pun semakin menurun, dia semakin biasa. Persis kata orang bijak, ketika sebuah kata makian terus diulang dari waktu ke waktu, maka maknanya akan berubah. Makian itu pun hilang arti.

Lalu, jika begitu banyak dosa-dosa yang bertebaran, bukankah dosa itu bisa berubah makna? Dia kan menjadi biasa dan yang melakukannya pun semakin tiada beban. Bah, kalau soal ini agak sulit menjawabnya, dia menjadi wilayah kepercayaan dan saya tak mau menyinggungnya.

Hm, kita kembali saja ke soal nyanyi tadi.

Nah, akhirnya, karena menemukan satu lagu saja, saya pun tak jadi menghafal lagu tersebut. Pasalnya, lagu itu terlalu ‘mendayu’ untuk dinyanyikan di pesta pernikahan ataupun di karoke bukan? Maka, tetap saja saya tidak bisa menyanyi dan ketakutan saya masih tetap.

Tapi sudahlah, setiap orang memang memiliki ketakutan tersendiri. Dan, ketakutan itu pasti berkembang. Saya pahami, ketakutan itu tumbuh seiring pertumbuhan kedewasaan manusia. Jadi, ketika hingga kini masih ada yang tidak takut pada apapun, misalnya soal korupsi, suap-menyuap, memeras, atau apalah, maka dia akan menemukan ketakutannya sendiri di kemudian hari. Di sanalah kedewasaannya diuji. Seperti saya saat ini, takut menyanyi. Dan, ketika sisi kedewasaan memilih untuk belajar menyanyi, saya benar-benar diuji dengan hilangnya koleksi musik tadi. Bukankah begitu? (*)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/