30 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Identitas tak Sekadar Selembar Kertas

Ramadhan Batubara

Konon, untuk mengurus akte kelahiran, KTP, pasport, dan sebagainya tak segampang bicara; keluar dari mulut tanpa harus dipikir panjang. Ya, dia (surat-surat tadi) kadang menjadi momok. Ada sungkan yang muncul ketika ada kewajiban untuk mengurus hal itu. Sayangnya, begitu hebatkah peran kertas identitas tadi hingga mengurusnya saja sampai jungkir balik tak berbentuk?

Jawabnya, tentu sangat penting! Buktinya, jika saja Ruyati tidak memiliki kertas identitas, mungkinkah Indonesia berang ketika dia dipancung di luar sana? Bisa bayangkan bagaimana usaha Ruyati untuk mendapatkan kertas identitas tadi sebelum berangkat ke luar negeri? Apakah ia mendapatkan surat-surat itu dengan gampang, segampang kepalanya yang dipaksa lepas oleh algojo. Ah, saya yakin tidak.

Sayangnya, saya berpikir, kenapa usaha keras Ruyati agar diakui sebagai warga negara Indonesia oleh Arab Saudi sana tidak sebanding dengan kasusnya yang terkesan terbiarkan. Nah, ini dia yang saya maksud dengan identitas tak sekadar selembar kertas. Dengan kata lain, saya berharap, pemerintah menyadari kalau setiap warga negaranya (di mana pun berada) adalah sesuatu yang penting.

Ayolah, tidak usah berbicara soal setanah air, saudara sebangsa, atau segala kata indah yang membuat kita harus sadar sebagai sebuah kesatuan; cukup sadari kalau usaha seorang warga negara untuk sah menjadi warga negara Indonesia itu tidak gampang! Nah, ketika menyadari hal itu, maka pemerintah idealnya melakukan timbal balik yang wajar. Semacam kita belanja di sebuah warung, ada uang maka kita dilayani. Atau ketika kita menginap di hotel, wow, bukankah kita raja di sana. Jadi, pemerintah kan sudah menerima uang rakyatnya — tidak usah berpikir soal pajak atau pungutan-pungutan lainnya — cukup berpikir soal uang buat pasport, KTP, dan akte kelahiran saja. Lalu, apa yang telah diberikan pemerintah pada rakyatnya yang sedang rawan di negeri sana?

Fiuh, bicara soal Ruyati dan puluhan pahlawan devisa lainnya yang terancam hukuman mati, seakan tiada cukup. Saya ingin kembali ke Medan. Tentu, ini terkait soal ulang tahun ke-421 Medan yang jatuh pada 1 Juli nanti. Lebih mengerucut pada ajang ‘Jaka dan Dara’. Terlepas agenda itu terkait atau tidak dengan HUT Medan, penamaan ‘Jaka dan Dara’ mengusik pikiran saya.

Jujur, saya bertanya, siapakah yang memberikan penamaan itu? Apakah dia tidak memikirkan nama lain yang lebih Medan atau karena nama itu sudah sangat Medan? Apakah penamaan tersebut sudah didiskusikan secara mendalam? Baiklah, mari kita lihat, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia cetakan ketiga 1990, ‘Jaka’ berarti anak lelaki yang telah dewasa (tetapi belum berumah tangga); perjaka; bujang; lajang. Sementara ‘Dara’ berarti anak perempuan yang belum kawin; gadis; perawan. Selain itu, ‘Dara’ juga diartikan sebagai ternak betina yang berumur lebih dari satu tahun dan belum pernah beranak walaupun sudah bunting. Tidak itu saja, ada lagi artinya yakni burung merpati (Columba domestica).

Menilik soal arti itu, tentunya bukan masalah. Pasalnya ‘Jaka’ adalah lelaki dan ‘Dara’ adalah perempuan. Nah, kontes ‘Jaka dan Dara’ kan memang memilih lelaki dan perempuan pilihan yang bisa mewakili Medan. Tapi, cukupkah arti itu saja. Saya berpikir, kontes semacam itu idealnya diberi penamaan yang benar-benar khas. Jaka bagi saya tidak begitu khas Medan atau Sumut, dia lebih men’Jawa’. Contohnya, Jaka Tarub dan Jaka Tingkir. Sedangkan ‘Dara’ cenderung Melayu, namun dia kurang Medan terasa.

Begini coba perhatikan penamaan kontes semacam ‘Jaka dan Dara’ di daerah lain. Di Jakarta disebut ‘Abang dan None’, di Yogya ‘Dimas dan Diajeng’, di Jawa Timur bernama ‘Raka dan Riki’ (padahal Surabaya memakai ‘Cak dan Ning’), sementara di Bali disebut ‘Teruna dan Teruni’. Bagaimana? Ada kekhasan yang muncul dari contoh tersebut? Baiklah, lihat lagi penamaan kontes semacam itu di wilayah Sumatera. Aceh memilih ‘Agam dan Inong’. ‘Uda dan Uni’ di Sumatra Barat. ‘Bujang dan Gadis’ di Bengkulu. Sedangkan di Lampung, ‘Muli dan Mekhanai’.

Sekali lagi, kenapa pilihan bisa jatuh pada kata ‘Jaka dan Dara’. Ya, kenapa tidak ‘Ucok dan Butet’ (kabarnya sudah dipakai untuk kontes sejenis di Balige), ‘Abang dan Kakak’, atau lainnya? Hm, untuk ‘Ucok dan Butet’, mungkin kesan suku tertentu sangat kental, sementara Medan terkenal plural. Lalu, kenapa tidak ‘Abang dan Kakak’? Bukankah penamaan ini lebih membumi. Tentu ada yang menjawab, kan sudah dipakai oleh Jakarta (Abang). Ayolah, apa salahnya, toh pembangunan di Medan cenderung menjiplak Jakarta kok. Tapi sudahlah, jika memang Medan ini plural, hingga tidak pas jika harus melebihkan dan mengurangkan suku tertentu, kenapa tidak berpegang pada suku yang dianggap sebagai penduduk asli kota. Ya, apalagi kalau rumpun Melayu, Deli. Maka ada penamaan yang pas. Yakni ‘Tuan dan Puan’. Ya, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘Tuan’ berarti orang tempat mengabdi.

Kemudian diartikan juga sebagai yang memberikan pekerjaan; majikan; kepala perusahaan dan sebagainya; pemilik toko dan sebagainya. Arti lainnya adalah sebutan untuk laki-laki yang patut dihormati. Sedangkan ‘Puan’ berarti empuan; perempuan. Juga diartikan sebagai nyonya (lawan dari tuan). Bagaimana? Menarik dan khas kan?
Sekali lagi ini soal identitas. Untuk hal ini, Sumatera Utara memang cenderung kesulitan. Misalnya saja nama kampus, biasanya nama Institut Agama Islam Negeri (IAIN) atau yang berubah bentuk menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) memakai nama ulama atau tokoh yang terkenal di wilayahnya.

Maka sebut saja Ar-Raniry (Banda Aceh), Imam Bonjol (Padang), Sulthan Syarif Qasim (Pekanbaru), Syarif Hidayatullah (Jakarta), Sunan Gunung Jati (Bandung), Sunan Kalijaga (Yogyakarta), Alauddin (Makassar), dan sebagainya. Sedangkan di Medan, namanya adalah UIN Sumatera Utara. Benarkah Sumatera Utara tidak punya ulama yang layak? Lalu, bagaimana dengan Hamzah al-Fansuri yang dari Barus itu dan lainnya?
Mungkin paparan di atas soal Jaka dan Dara serta nama IAIN atau UIN yang kurang ‘Medan’ menjadi sesuatu yang menyedihkan. Namun, sejatinya saya melihat sebuah kekhasan yang menarik untuk Medan.

Ada tarik-menarik kepentingan yang tampaknya belum juga selesai dari dulu. Sebut saja sejak zaman Guru Patimpus, berkembangnya kampung menjadi semacam kota, masa kesultanan, kemunculan perkebunan, masa perjuangan kemerdekaan, hingga sekarang. Sepertinya Medan memang cenderung tercipta untuk menjadi sesuatu kota yang tidak bisa dimiliki oleh satu orang atau kaum tertentu. Begitu banyak kepentingan, begitu banyak orang pintar, dan begitu banyak ‘raja’. Maka, bukan sesuatu yang berlebihan jika seorang kawan terhenyak melihat gedung DPRDSU yang berornamen Batak sedangkan gedung lain bercorak Melayu. Fiuh.

Keadaan ini membuat saya berpikir, mungkinkah orang Medan beranggapan, apalah arti semua itu (maksudnya identitas kesukuan)? Mungkin, Bagi orang Medan, kesukuan adalah sesuatu yang mendarah daging, dia berada dalam tubuh, bukan untuk digemborkan untuk identitas kota. Ya, Medan adalah Medan. Suku adalah suku. Aku adalah aku. Ini Medan Bung! (*)
24 Juni 2011

Ramadhan Batubara

Konon, untuk mengurus akte kelahiran, KTP, pasport, dan sebagainya tak segampang bicara; keluar dari mulut tanpa harus dipikir panjang. Ya, dia (surat-surat tadi) kadang menjadi momok. Ada sungkan yang muncul ketika ada kewajiban untuk mengurus hal itu. Sayangnya, begitu hebatkah peran kertas identitas tadi hingga mengurusnya saja sampai jungkir balik tak berbentuk?

Jawabnya, tentu sangat penting! Buktinya, jika saja Ruyati tidak memiliki kertas identitas, mungkinkah Indonesia berang ketika dia dipancung di luar sana? Bisa bayangkan bagaimana usaha Ruyati untuk mendapatkan kertas identitas tadi sebelum berangkat ke luar negeri? Apakah ia mendapatkan surat-surat itu dengan gampang, segampang kepalanya yang dipaksa lepas oleh algojo. Ah, saya yakin tidak.

Sayangnya, saya berpikir, kenapa usaha keras Ruyati agar diakui sebagai warga negara Indonesia oleh Arab Saudi sana tidak sebanding dengan kasusnya yang terkesan terbiarkan. Nah, ini dia yang saya maksud dengan identitas tak sekadar selembar kertas. Dengan kata lain, saya berharap, pemerintah menyadari kalau setiap warga negaranya (di mana pun berada) adalah sesuatu yang penting.

Ayolah, tidak usah berbicara soal setanah air, saudara sebangsa, atau segala kata indah yang membuat kita harus sadar sebagai sebuah kesatuan; cukup sadari kalau usaha seorang warga negara untuk sah menjadi warga negara Indonesia itu tidak gampang! Nah, ketika menyadari hal itu, maka pemerintah idealnya melakukan timbal balik yang wajar. Semacam kita belanja di sebuah warung, ada uang maka kita dilayani. Atau ketika kita menginap di hotel, wow, bukankah kita raja di sana. Jadi, pemerintah kan sudah menerima uang rakyatnya — tidak usah berpikir soal pajak atau pungutan-pungutan lainnya — cukup berpikir soal uang buat pasport, KTP, dan akte kelahiran saja. Lalu, apa yang telah diberikan pemerintah pada rakyatnya yang sedang rawan di negeri sana?

Fiuh, bicara soal Ruyati dan puluhan pahlawan devisa lainnya yang terancam hukuman mati, seakan tiada cukup. Saya ingin kembali ke Medan. Tentu, ini terkait soal ulang tahun ke-421 Medan yang jatuh pada 1 Juli nanti. Lebih mengerucut pada ajang ‘Jaka dan Dara’. Terlepas agenda itu terkait atau tidak dengan HUT Medan, penamaan ‘Jaka dan Dara’ mengusik pikiran saya.

Jujur, saya bertanya, siapakah yang memberikan penamaan itu? Apakah dia tidak memikirkan nama lain yang lebih Medan atau karena nama itu sudah sangat Medan? Apakah penamaan tersebut sudah didiskusikan secara mendalam? Baiklah, mari kita lihat, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia cetakan ketiga 1990, ‘Jaka’ berarti anak lelaki yang telah dewasa (tetapi belum berumah tangga); perjaka; bujang; lajang. Sementara ‘Dara’ berarti anak perempuan yang belum kawin; gadis; perawan. Selain itu, ‘Dara’ juga diartikan sebagai ternak betina yang berumur lebih dari satu tahun dan belum pernah beranak walaupun sudah bunting. Tidak itu saja, ada lagi artinya yakni burung merpati (Columba domestica).

Menilik soal arti itu, tentunya bukan masalah. Pasalnya ‘Jaka’ adalah lelaki dan ‘Dara’ adalah perempuan. Nah, kontes ‘Jaka dan Dara’ kan memang memilih lelaki dan perempuan pilihan yang bisa mewakili Medan. Tapi, cukupkah arti itu saja. Saya berpikir, kontes semacam itu idealnya diberi penamaan yang benar-benar khas. Jaka bagi saya tidak begitu khas Medan atau Sumut, dia lebih men’Jawa’. Contohnya, Jaka Tarub dan Jaka Tingkir. Sedangkan ‘Dara’ cenderung Melayu, namun dia kurang Medan terasa.

Begini coba perhatikan penamaan kontes semacam ‘Jaka dan Dara’ di daerah lain. Di Jakarta disebut ‘Abang dan None’, di Yogya ‘Dimas dan Diajeng’, di Jawa Timur bernama ‘Raka dan Riki’ (padahal Surabaya memakai ‘Cak dan Ning’), sementara di Bali disebut ‘Teruna dan Teruni’. Bagaimana? Ada kekhasan yang muncul dari contoh tersebut? Baiklah, lihat lagi penamaan kontes semacam itu di wilayah Sumatera. Aceh memilih ‘Agam dan Inong’. ‘Uda dan Uni’ di Sumatra Barat. ‘Bujang dan Gadis’ di Bengkulu. Sedangkan di Lampung, ‘Muli dan Mekhanai’.

Sekali lagi, kenapa pilihan bisa jatuh pada kata ‘Jaka dan Dara’. Ya, kenapa tidak ‘Ucok dan Butet’ (kabarnya sudah dipakai untuk kontes sejenis di Balige), ‘Abang dan Kakak’, atau lainnya? Hm, untuk ‘Ucok dan Butet’, mungkin kesan suku tertentu sangat kental, sementara Medan terkenal plural. Lalu, kenapa tidak ‘Abang dan Kakak’? Bukankah penamaan ini lebih membumi. Tentu ada yang menjawab, kan sudah dipakai oleh Jakarta (Abang). Ayolah, apa salahnya, toh pembangunan di Medan cenderung menjiplak Jakarta kok. Tapi sudahlah, jika memang Medan ini plural, hingga tidak pas jika harus melebihkan dan mengurangkan suku tertentu, kenapa tidak berpegang pada suku yang dianggap sebagai penduduk asli kota. Ya, apalagi kalau rumpun Melayu, Deli. Maka ada penamaan yang pas. Yakni ‘Tuan dan Puan’. Ya, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘Tuan’ berarti orang tempat mengabdi.

Kemudian diartikan juga sebagai yang memberikan pekerjaan; majikan; kepala perusahaan dan sebagainya; pemilik toko dan sebagainya. Arti lainnya adalah sebutan untuk laki-laki yang patut dihormati. Sedangkan ‘Puan’ berarti empuan; perempuan. Juga diartikan sebagai nyonya (lawan dari tuan). Bagaimana? Menarik dan khas kan?
Sekali lagi ini soal identitas. Untuk hal ini, Sumatera Utara memang cenderung kesulitan. Misalnya saja nama kampus, biasanya nama Institut Agama Islam Negeri (IAIN) atau yang berubah bentuk menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) memakai nama ulama atau tokoh yang terkenal di wilayahnya.

Maka sebut saja Ar-Raniry (Banda Aceh), Imam Bonjol (Padang), Sulthan Syarif Qasim (Pekanbaru), Syarif Hidayatullah (Jakarta), Sunan Gunung Jati (Bandung), Sunan Kalijaga (Yogyakarta), Alauddin (Makassar), dan sebagainya. Sedangkan di Medan, namanya adalah UIN Sumatera Utara. Benarkah Sumatera Utara tidak punya ulama yang layak? Lalu, bagaimana dengan Hamzah al-Fansuri yang dari Barus itu dan lainnya?
Mungkin paparan di atas soal Jaka dan Dara serta nama IAIN atau UIN yang kurang ‘Medan’ menjadi sesuatu yang menyedihkan. Namun, sejatinya saya melihat sebuah kekhasan yang menarik untuk Medan.

Ada tarik-menarik kepentingan yang tampaknya belum juga selesai dari dulu. Sebut saja sejak zaman Guru Patimpus, berkembangnya kampung menjadi semacam kota, masa kesultanan, kemunculan perkebunan, masa perjuangan kemerdekaan, hingga sekarang. Sepertinya Medan memang cenderung tercipta untuk menjadi sesuatu kota yang tidak bisa dimiliki oleh satu orang atau kaum tertentu. Begitu banyak kepentingan, begitu banyak orang pintar, dan begitu banyak ‘raja’. Maka, bukan sesuatu yang berlebihan jika seorang kawan terhenyak melihat gedung DPRDSU yang berornamen Batak sedangkan gedung lain bercorak Melayu. Fiuh.

Keadaan ini membuat saya berpikir, mungkinkah orang Medan beranggapan, apalah arti semua itu (maksudnya identitas kesukuan)? Mungkin, Bagi orang Medan, kesukuan adalah sesuatu yang mendarah daging, dia berada dalam tubuh, bukan untuk digemborkan untuk identitas kota. Ya, Medan adalah Medan. Suku adalah suku. Aku adalah aku. Ini Medan Bung! (*)
24 Juni 2011

Previous article
Next article

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/