30 C
Medan
Wednesday, June 26, 2024

Kapan Cobaan itu Berhenti?

Oleh: Ramadhan Batubara

Tampaknya beberapa pekan ini buku tiada henti mendapat cobaan. Setelah didiskreditkan sebagai media bom, kini pusat penyimpanannya pun seakan dibom. Ya, meski tidak menggunakan bahan peledak, tanpa dana yang memadai bukan mustahil Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin akan lenyap kan?

Bagi pegiat budaya, mungkin berita ini bukan barang baru lagi. Tapi, sudahlah, akan saya ulangi untuk sama-sama ingat. Ceritanya begini, di tahun-tahun sebelumnya, PDS HB Jassin sempat memperoleh Rp500 juta tiap tahun. Kemudian, dana turun menjadi Rp300 juta. Tahun lalu, pengelola gudangnya ilmu para seniman, sastrawan, dan peneliti dalam dan luar negeri ini sudah terengah-engah menerima dana yang disunat menjadi Rp164 juta. Kini, lebih terkapar lagi, karena harus menerima hanya Rp50 juta.

Biaya tersebut tentu tidak cukup untuk membiayai seluruh operasional pusat arsip sastra itu. Untuk biaya pengasapan saja, butuh dana Rp40 juta. Idealnya, pengasapan pun dilakukan setahun dua kali. Belum lagi ditambah biaya 14 pegawai yang sudah setia mengabdi meski bergaji minim. Hm, bukankah itu sama dengan bom?
Entahlah, saya merasa apa yang dialami PDS HB Jassin ini sebuah keadaan yang sangat menyedihkan. Ayolah, meski Indonesia besar dengan budaya lisan, bukan berarti sesuatu yang berbentuk tulisan harus dihilangkan kan? Buktinya, sesuatu yang lisan di Nusantara ini pun lambat laun sudah dipindahkan ke tulisan. Dan, dokumen negara juga berbentuk tulisan kan? Ya, kecuali Supersemar yang fisik tulisannya sampai kini masih misteri. Nah, apakah pengurangan PDS HB Jassin juga sebuah usaha untuk meng’Supersemar’kan sastra?

Atas nama kebudayaan yang tentunya menjadi pondasi berdirinya sebuah bangsa hingga menjadi negara, sastra (baik lisan maupun tulisan) tampaknya bukan musuh yang memang harus dibasmi. Dana untuk menjaga koleksi sastra tersebut sejatinya tak begitu besar dibanding dana yang banyak disimpan orang tak bertanggung jawab di luar negeri sana kan? Tapi, entahlah, saya seakan kehabisan kata-kata untuk membahas ini. Apalagi, ketika saya sadar, yang tersimpan di sana bukan karya sembarangan. Ah…

Soal pusat dokumentasi semacam PDS HB Jassin, tentunya banyak yang telah mendapat manfaatnya. Salah satunya adalah saya. Ya, meski bukan PDS HB Jassin, saya sempat merasa sangat beruntung dengan tempat semacam itu.
Ceritanya pada 2001 lalu. Kala itu, saya ke Banda Aceh dalam rangka mencari bahan skripsi. Nah, tujuan saya adalah Yayasan Pendidikan dan Museum Ali Hasjmy (YPAH). YPAH menyimpan koleksi khusus naskah-naskah kuno yang mulai dihimpun pada 1992 oleh Ali Hasjmy, salah seorang budayawan, ulama, dan politisi terkemuka Aceh yang wafat pada 1998. Naskah-naskah tersebut umumnya diperoleh dari masyarakat Aceh sendiri, tentunya atas dasar kepercayaan kepada tokoh yang mereka hormati, Ali Hasjmy.
Berdasarkan angka tahun yang dibuat oleh pihak perpustakaan, naskah-naskah koleksi YPAH ini diperoleh antara tahun 1992 hingga 1995. Dan, tanpa kesulitan (malah sangat gampang dan murah) saya memperoleh bahan yang saya cari, Hikayat Putri Nurul A’la.Target selesai dan saya langsung pulang.

Nah, keberuntungan saya makin menjadi setelah tiga tahun kemudian, tepatnya ketika gempa dan tsunami Aceh. Pasalnya, saya sempat khawatir, apakah tempat yang menolong studi saya itu baik-baik saja?
Dan, terjawab. Ternyata, tragedi 26 Desember 2004 itu hanya merubuhkan rak-rak lemari penyimpan buku YPAH. Memang, sejumlah koleksi buku berjatuhan dan kemudian terendam air yang masuk setinggi sekitar 10 cm. Namun, dia tidak hancur dan koleksinya tak hanyut hingga kekayaan budaya yang dimiliki YPAH tak hilang.

Dan, saya makin bersyukur karena pada Agustus 2005, delapan bulan setelah tsunami terjadi, sebuah tim dibentuk untuk melakukan inventarisasi, katalogisasi, dan kemudian digitalisasi manuskrip koleksi YPAH ini. Tim tersebut merupakan kerja sama Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa), Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, PKPM Banda Aceh, dan Centre for Documentation and Area-Transcultural Studies (C-DATS) Tokyo University of Foreign Studies (TUFS) di bawah koordinasi Oman Fathurahman.
Dalam kegiatan tersebut, semua naskah koleksi YPAH dibaca satu persatu, dicatat, serta dikelompokkan ulang berdasarkan kandungan isinya. Katalog naskah YPAH ini telah diterbitkan pada Januari 2007 lalu oleh Tokyo University of Foreign Studies.

Hasil inventarisasi oleh Tim ini ternyata jauh berbeda dengan pencatatan yang dilakukan oleh Chambert-Loir & Fathurahman pada tahun 1999. Jumlah keseluruhan naskah koleksi YPAH adalah sebanyak 232 buah, dengan 314 teks di dalamnya.

Terus terang, setelah mengetahui kabar tersebut saya sangat bersyukur. Setidaknya saya merasa, kertas yang berisikan kalimat (yang bagi sebagian orang tak penting untuk pembangunan) masih bisa dinikmati generasi berikutnya.

Lalu, bagaimana dengan apa yang dialami PDS HB Jassin? Sumpah saya merasa kekhawatiran lebih hebat hingga tak bisa menerjemahkan pikiran saya. Bagaimana tidak, kalau dia dikalahkan alam mungkin masih bisa terima, tapi dia dikalahkan anggaran! Ah, sampai kapan saya tunggu waktu hingga bisa mengucap syukur karena dia bisa diselamatkan? Ada yang bisa menjawab? (*)
25 Maret 2011

Oleh: Ramadhan Batubara

Tampaknya beberapa pekan ini buku tiada henti mendapat cobaan. Setelah didiskreditkan sebagai media bom, kini pusat penyimpanannya pun seakan dibom. Ya, meski tidak menggunakan bahan peledak, tanpa dana yang memadai bukan mustahil Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin akan lenyap kan?

Bagi pegiat budaya, mungkin berita ini bukan barang baru lagi. Tapi, sudahlah, akan saya ulangi untuk sama-sama ingat. Ceritanya begini, di tahun-tahun sebelumnya, PDS HB Jassin sempat memperoleh Rp500 juta tiap tahun. Kemudian, dana turun menjadi Rp300 juta. Tahun lalu, pengelola gudangnya ilmu para seniman, sastrawan, dan peneliti dalam dan luar negeri ini sudah terengah-engah menerima dana yang disunat menjadi Rp164 juta. Kini, lebih terkapar lagi, karena harus menerima hanya Rp50 juta.

Biaya tersebut tentu tidak cukup untuk membiayai seluruh operasional pusat arsip sastra itu. Untuk biaya pengasapan saja, butuh dana Rp40 juta. Idealnya, pengasapan pun dilakukan setahun dua kali. Belum lagi ditambah biaya 14 pegawai yang sudah setia mengabdi meski bergaji minim. Hm, bukankah itu sama dengan bom?
Entahlah, saya merasa apa yang dialami PDS HB Jassin ini sebuah keadaan yang sangat menyedihkan. Ayolah, meski Indonesia besar dengan budaya lisan, bukan berarti sesuatu yang berbentuk tulisan harus dihilangkan kan? Buktinya, sesuatu yang lisan di Nusantara ini pun lambat laun sudah dipindahkan ke tulisan. Dan, dokumen negara juga berbentuk tulisan kan? Ya, kecuali Supersemar yang fisik tulisannya sampai kini masih misteri. Nah, apakah pengurangan PDS HB Jassin juga sebuah usaha untuk meng’Supersemar’kan sastra?

Atas nama kebudayaan yang tentunya menjadi pondasi berdirinya sebuah bangsa hingga menjadi negara, sastra (baik lisan maupun tulisan) tampaknya bukan musuh yang memang harus dibasmi. Dana untuk menjaga koleksi sastra tersebut sejatinya tak begitu besar dibanding dana yang banyak disimpan orang tak bertanggung jawab di luar negeri sana kan? Tapi, entahlah, saya seakan kehabisan kata-kata untuk membahas ini. Apalagi, ketika saya sadar, yang tersimpan di sana bukan karya sembarangan. Ah…

Soal pusat dokumentasi semacam PDS HB Jassin, tentunya banyak yang telah mendapat manfaatnya. Salah satunya adalah saya. Ya, meski bukan PDS HB Jassin, saya sempat merasa sangat beruntung dengan tempat semacam itu.
Ceritanya pada 2001 lalu. Kala itu, saya ke Banda Aceh dalam rangka mencari bahan skripsi. Nah, tujuan saya adalah Yayasan Pendidikan dan Museum Ali Hasjmy (YPAH). YPAH menyimpan koleksi khusus naskah-naskah kuno yang mulai dihimpun pada 1992 oleh Ali Hasjmy, salah seorang budayawan, ulama, dan politisi terkemuka Aceh yang wafat pada 1998. Naskah-naskah tersebut umumnya diperoleh dari masyarakat Aceh sendiri, tentunya atas dasar kepercayaan kepada tokoh yang mereka hormati, Ali Hasjmy.
Berdasarkan angka tahun yang dibuat oleh pihak perpustakaan, naskah-naskah koleksi YPAH ini diperoleh antara tahun 1992 hingga 1995. Dan, tanpa kesulitan (malah sangat gampang dan murah) saya memperoleh bahan yang saya cari, Hikayat Putri Nurul A’la.Target selesai dan saya langsung pulang.

Nah, keberuntungan saya makin menjadi setelah tiga tahun kemudian, tepatnya ketika gempa dan tsunami Aceh. Pasalnya, saya sempat khawatir, apakah tempat yang menolong studi saya itu baik-baik saja?
Dan, terjawab. Ternyata, tragedi 26 Desember 2004 itu hanya merubuhkan rak-rak lemari penyimpan buku YPAH. Memang, sejumlah koleksi buku berjatuhan dan kemudian terendam air yang masuk setinggi sekitar 10 cm. Namun, dia tidak hancur dan koleksinya tak hanyut hingga kekayaan budaya yang dimiliki YPAH tak hilang.

Dan, saya makin bersyukur karena pada Agustus 2005, delapan bulan setelah tsunami terjadi, sebuah tim dibentuk untuk melakukan inventarisasi, katalogisasi, dan kemudian digitalisasi manuskrip koleksi YPAH ini. Tim tersebut merupakan kerja sama Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa), Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, PKPM Banda Aceh, dan Centre for Documentation and Area-Transcultural Studies (C-DATS) Tokyo University of Foreign Studies (TUFS) di bawah koordinasi Oman Fathurahman.
Dalam kegiatan tersebut, semua naskah koleksi YPAH dibaca satu persatu, dicatat, serta dikelompokkan ulang berdasarkan kandungan isinya. Katalog naskah YPAH ini telah diterbitkan pada Januari 2007 lalu oleh Tokyo University of Foreign Studies.

Hasil inventarisasi oleh Tim ini ternyata jauh berbeda dengan pencatatan yang dilakukan oleh Chambert-Loir & Fathurahman pada tahun 1999. Jumlah keseluruhan naskah koleksi YPAH adalah sebanyak 232 buah, dengan 314 teks di dalamnya.

Terus terang, setelah mengetahui kabar tersebut saya sangat bersyukur. Setidaknya saya merasa, kertas yang berisikan kalimat (yang bagi sebagian orang tak penting untuk pembangunan) masih bisa dinikmati generasi berikutnya.

Lalu, bagaimana dengan apa yang dialami PDS HB Jassin? Sumpah saya merasa kekhawatiran lebih hebat hingga tak bisa menerjemahkan pikiran saya. Bagaimana tidak, kalau dia dikalahkan alam mungkin masih bisa terima, tapi dia dikalahkan anggaran! Ah, sampai kapan saya tunggu waktu hingga bisa mengucap syukur karena dia bisa diselamatkan? Ada yang bisa menjawab? (*)
25 Maret 2011

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/