26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Dari Lisan Menjadi Tulisan

Undang-undang Tentang Rimba Larangan Adat Rumbio

“Kami tidak menjaga kelestarian hutan. Tetapi memberikan penguatan kapasitas adat kepada masyarakat. Dengan adat itulah hutan larangan adat Kenegerian Rumbio bisa terjaga dan lestari” ujar Masriadi, Ketua Yayasan Pelopor Sehati, di pengujung Januari lalu.

JIKA adat di Kenegerian Rumbio tidak kuat, mungkin sudah lama hutan larangan adat kenegerian Rumbio tinggal nama. Pasalnya hutan seluas 570 hektare (ha), tidak terletak di kawasan hutan, namun di kawasan budidaya. Ia tepat pula berada di akses jalan lintas dan dikelilingi kebun karet dan secuil sawit.
Namun, untunglah kearifan adat yang hanya berawal dari mulut ke mulut, tidak tersurat, ataupun tertera berupa hitam di atas putih bisa bertahan. Berakar kokoh dan terpatri di jiwa masing-masing persukuan. Turun temurun sejak nenek moyang.

“Masyarakat lokal, terutama nenek moyang kita dulu sangat arif dalam memperlakukan alam. Mereka mengerti bahwa alam adalah sumber kehidupan. Dan adat istiadat merupakan instrumen untuk menjaganya,” ujar Masriadi, anak kemenakan dari persukuan Domo yang merupakan persukuan tertua di Kabupaten Kampar.
Meski demikian, Masriadi di Yayasan Pelopor khawatir, perkembangan zaman bisa mereduksinya menjadi sisa-sisa sejarah. Yayasan Pelopor kemudian berupaya untuk menjadi fasilitator agar aturan adat itu tidak sekedar lisan. Tetapi tertulis.

Ia menyebutkan bahwa yayasan yang dipimpinnya berusaha memperkuat kapasitas adat di masyarakat. Karena dengan adat itulah hutan larangan adat Kenegerian Rumbio bisa terjaga dan lestari.
Dengan dasar itu Yayasan Pelopor dan pucuk penghulu adat yang dipimpin oleh Dotuak Godang, Edi Susanto, duduk bermusyawarah dengan sepuluh penghulu adat lainnya. Sepuluh penghulu adat itu terdiri dari  Dotuak Ulak Simano, Dotuak Putio, Dotuak Sinaro, Dotuak Pito Malano, Dotuak Gindo Marajo, Dotuak Rajo Mangkuto, Dotuak  Majo Bosau, Dotuak Panduko, dan Dotuak Gindo Malano. Mereka membentuk undang-undang adat hutan larangan secara tertulis dan mengikat semua masyarakat persukuan.

“Kami telah membuat aturan tertulis tentang nilai-nilai moral adat istiadat ini pada tahun 2007 lalu,” ungkap Dotuak Godang,  yang juga disebut penghulu yang  “besar keluar” tersebut .

Dotuak yang dilantik pada tahun 2004 lalu ini juga menjelaskan bahwa lembaga adat bersepakat membentuk peraturan adat. Kemudian disebut dengan Undang-Undang Adat Kenegerian Rumbio,  Nomor 1 Tahun 2007 tentang Hutan Larang Adat.

Undang-undang tersebut memuat tentang lokasi, penguasa tanah ulayat, aturan pemanfaatan hutan. Serta sanksi-sanksi adat yang diberikan terhadap pelanggaran terkait dengan hutan larangan adat. Terangkum dalam enam bab, sepuluh pasal dan 21 klausul penjelasan.

Di antara nilai-nilai adat yang dimiliki oleh masyarakat kanagarian Rumbio adalah aturan yang disebut dengan sumpah kowi.  Yaitu sumpah yang secara lisan kerap didengungkan oleh para pemuka adat jika ada masyarakat yang nekat mengekploitasi kawasan terlarang ini. Sumpah Kowi  tersebut berbunyi, Tatayok dikambalikan, tamakan dimuntahkan.

Artinya  pusaka tinggi adat berupa rimbo (hutan) larangan adat yang terlanjur diolah atau diambil (tatayok) harus dikembalikan menjadi pusaka adat jangan sampai termakan (tamakan) untuk kebutuhan diri sendiri.
Bukan hanya itu, penduduk yang berani melakukan penebangan kayu, maupun melakukan kegiatan yang dapat merusak keberadaan segala sesuatu yang terkandung di dalam hutan adat tersebut ataupun kegiatan yang dapat merubah fungsi rimba larangan ini. Maka hukuman moral yang berat telah menanti mereka.
“Salah satu hukumannya berdasarkan sajak tetua kampung berbunyi kaate indak bapucuok, kabawa indak baurek, ditanga digiriak kumbang,” ungkap Riadi, panggilan  Masriadi ini.

Sajak tersebut bermakna, bahwa masyarakat yang telah melanggar ketentuan adat maka mereka akan dihukum dengan tidak mempunyai anak keturunan sebagai penerus generasi.

Adat  pulalah yang membuat hutan larangan adat ini tidak bisa menjadi salah satu objek wisata. Wahyudi, sekretaris Yayasan Pelopor menyebutkan bahwa para pemuka adat di Kenegerian Rumbio tak sanggup menanggung dosa, bila hutan itu dijadikan tempat orang memadu kasih.

“Itu sebabnya, meskipun hutan ini dekat dan punya pesona, namun tak pernah dijadikan objek wisata. Ia dibiarkan saja seperti itu saja. Kami masih mencari formula bagaimana hutan ada ini bisa dimanfaatkan. Mungkin hanya itu yang berombongan yang boleh masuk,” ujarnya. (*)

Undang-undang Tentang Rimba Larangan Adat Rumbio

“Kami tidak menjaga kelestarian hutan. Tetapi memberikan penguatan kapasitas adat kepada masyarakat. Dengan adat itulah hutan larangan adat Kenegerian Rumbio bisa terjaga dan lestari” ujar Masriadi, Ketua Yayasan Pelopor Sehati, di pengujung Januari lalu.

JIKA adat di Kenegerian Rumbio tidak kuat, mungkin sudah lama hutan larangan adat kenegerian Rumbio tinggal nama. Pasalnya hutan seluas 570 hektare (ha), tidak terletak di kawasan hutan, namun di kawasan budidaya. Ia tepat pula berada di akses jalan lintas dan dikelilingi kebun karet dan secuil sawit.
Namun, untunglah kearifan adat yang hanya berawal dari mulut ke mulut, tidak tersurat, ataupun tertera berupa hitam di atas putih bisa bertahan. Berakar kokoh dan terpatri di jiwa masing-masing persukuan. Turun temurun sejak nenek moyang.

“Masyarakat lokal, terutama nenek moyang kita dulu sangat arif dalam memperlakukan alam. Mereka mengerti bahwa alam adalah sumber kehidupan. Dan adat istiadat merupakan instrumen untuk menjaganya,” ujar Masriadi, anak kemenakan dari persukuan Domo yang merupakan persukuan tertua di Kabupaten Kampar.
Meski demikian, Masriadi di Yayasan Pelopor khawatir, perkembangan zaman bisa mereduksinya menjadi sisa-sisa sejarah. Yayasan Pelopor kemudian berupaya untuk menjadi fasilitator agar aturan adat itu tidak sekedar lisan. Tetapi tertulis.

Ia menyebutkan bahwa yayasan yang dipimpinnya berusaha memperkuat kapasitas adat di masyarakat. Karena dengan adat itulah hutan larangan adat Kenegerian Rumbio bisa terjaga dan lestari.
Dengan dasar itu Yayasan Pelopor dan pucuk penghulu adat yang dipimpin oleh Dotuak Godang, Edi Susanto, duduk bermusyawarah dengan sepuluh penghulu adat lainnya. Sepuluh penghulu adat itu terdiri dari  Dotuak Ulak Simano, Dotuak Putio, Dotuak Sinaro, Dotuak Pito Malano, Dotuak Gindo Marajo, Dotuak Rajo Mangkuto, Dotuak  Majo Bosau, Dotuak Panduko, dan Dotuak Gindo Malano. Mereka membentuk undang-undang adat hutan larangan secara tertulis dan mengikat semua masyarakat persukuan.

“Kami telah membuat aturan tertulis tentang nilai-nilai moral adat istiadat ini pada tahun 2007 lalu,” ungkap Dotuak Godang,  yang juga disebut penghulu yang  “besar keluar” tersebut .

Dotuak yang dilantik pada tahun 2004 lalu ini juga menjelaskan bahwa lembaga adat bersepakat membentuk peraturan adat. Kemudian disebut dengan Undang-Undang Adat Kenegerian Rumbio,  Nomor 1 Tahun 2007 tentang Hutan Larang Adat.

Undang-undang tersebut memuat tentang lokasi, penguasa tanah ulayat, aturan pemanfaatan hutan. Serta sanksi-sanksi adat yang diberikan terhadap pelanggaran terkait dengan hutan larangan adat. Terangkum dalam enam bab, sepuluh pasal dan 21 klausul penjelasan.

Di antara nilai-nilai adat yang dimiliki oleh masyarakat kanagarian Rumbio adalah aturan yang disebut dengan sumpah kowi.  Yaitu sumpah yang secara lisan kerap didengungkan oleh para pemuka adat jika ada masyarakat yang nekat mengekploitasi kawasan terlarang ini. Sumpah Kowi  tersebut berbunyi, Tatayok dikambalikan, tamakan dimuntahkan.

Artinya  pusaka tinggi adat berupa rimbo (hutan) larangan adat yang terlanjur diolah atau diambil (tatayok) harus dikembalikan menjadi pusaka adat jangan sampai termakan (tamakan) untuk kebutuhan diri sendiri.
Bukan hanya itu, penduduk yang berani melakukan penebangan kayu, maupun melakukan kegiatan yang dapat merusak keberadaan segala sesuatu yang terkandung di dalam hutan adat tersebut ataupun kegiatan yang dapat merubah fungsi rimba larangan ini. Maka hukuman moral yang berat telah menanti mereka.
“Salah satu hukumannya berdasarkan sajak tetua kampung berbunyi kaate indak bapucuok, kabawa indak baurek, ditanga digiriak kumbang,” ungkap Riadi, panggilan  Masriadi ini.

Sajak tersebut bermakna, bahwa masyarakat yang telah melanggar ketentuan adat maka mereka akan dihukum dengan tidak mempunyai anak keturunan sebagai penerus generasi.

Adat  pulalah yang membuat hutan larangan adat ini tidak bisa menjadi salah satu objek wisata. Wahyudi, sekretaris Yayasan Pelopor menyebutkan bahwa para pemuka adat di Kenegerian Rumbio tak sanggup menanggung dosa, bila hutan itu dijadikan tempat orang memadu kasih.

“Itu sebabnya, meskipun hutan ini dekat dan punya pesona, namun tak pernah dijadikan objek wisata. Ia dibiarkan saja seperti itu saja. Kami masih mencari formula bagaimana hutan ada ini bisa dimanfaatkan. Mungkin hanya itu yang berombongan yang boleh masuk,” ujarnya. (*)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/