31 C
Medan
Sunday, June 30, 2024

Lingkungan Rusak Ancam Bencana Ekologis

JAKARTA- Wahana lingkungan hidup Indonesia (Walhi) mendesak pemerintah agar mengedepankan kepentingan kesejahteraan rakyat, baik dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA) maupun mengambil jarak dari hegemoni perdagangan global, yang lebih menguntungkan negara-negara maju.

Demikian disampaikan Direktur Eksekutif WALHI, Berry Nahdian Forqan pada kesempatan siaran pers dalam rangka menyambut hari jadi WALHI yang ke-31 di kantornya, pekan kemarin.

Dia menilai pemerintahan SBY-Budiono terlalu banyak mengakomodasi kepentingan luar negeri, baik langsung maupun tidak langsung melalui partai-partai, yang selama ini menjadi koalisi pemerintahannya. Berry mengkhawatirkan, kemungkinan terjadinya bencana ekologis yang massif sebagai akibat rusaknya lingkungan oleh para pengusaha dan dampak dari perubahan iklim.

“Ekstrimnya, jika pemerintah tak sungguh-sungguh manata sistem pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia, maka bencana ekologis semakin mengancam,” ujarnya.

Berry mencatat, sekarang ini ada seluas 42,96 juta hektar atau setara 21 persen dari total luas daratan Indonesia telah mendapat izin ekplorasi pertambangan. Sedangkan,  perkebunan sawit dari rencana 26,710,800 hektar telah teralisasi 9,091,277 juta hektare. Alih fungsi ekosistem rawa gambut seluas 3.145.182,20 hektar. Tidak hanya itu, bahkan sungai-sungai kecil telah diubah menjadi areal kebun sawit ditimbun perusahaan hingga tidak berfungsi.

“Tingkat kerusakan hutan sangat masif terjadi, seiring dengan lahirnya PP No 2/2008  tentang jenis penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan,” ucapnya.

Selain adanya aturan itu, banyak wilayah pemukiman terjadi konflik. Sekarang ini, sebutnya ada sebanyak 19,420 desa dari 32 provinsi. Desa yang terdapat dalam Kawasan Hutan Lindung sebanyak 6.243 desa, di dalam hutan konservasi 2,270 desa, di dalam hutan produksi dan produksi terbatas 12,211 desa, di dalam HPK 3,838 desa. Walhi mencatat setidaknya pada tahun 2009 telah terjadi konflik pengelolaan kehutanan sebanyak 127 kasus,  konflik perkebunan besar 38 kasus dan konflik pertambangan 120 kasus.

Sedangkkan pada 2010, khusus konflik kehutanan sebanyak 79 kasus dan konflik perkebunan sawit sebanyak 170 kasus. Dalam dua tahun belakangan ini, setidaknya 12 orang meninggal, 21 luka tembak dan 69 orang ditahan akibat konflik.

Di tempat yang sama,  Kepala Departemen Advokasi WALHI, Mukri Friatna mengatakan, konflik itu semakin meningkat tajam seiring dengan terjadinya ketimpangan, yang tajam dalam struktur penguasaan sumber-sumber agraria. Hal ini dipicu adanya kebijakan pemerintah yang telah melahirkan UU No25/2007 tentang penanaman modal. Dalam UU ini disebutkan, lama penguasan lahan dalam bentuk HGU adalah 95 tahun, sedangkan dalam UUPA No5/1960 hanya 30 tahun. Hak Guna bangunan dari semula 20 tahun menjadi 80 tahun. Demikian pula dengan Hak Pakai dari semula 10 tahun menjadi 70 tahun.

“Indonesia saat ini benar-benar sedang berada di jurang kriris, baik krisis kehutanan, krisis lingkungan, krisis energi hingga krisis pangan,” katanya.
Krisis energi telah menghantui Indonesia karena sebagaian besar sumber bahan mentah telah diperuntukan bagi kepentingan luar negeri, tidak diutamakan bagi kepentingan domestik. Dari seluruh pertambangan yang ada, 75 persen dikuasai asing dan 25 oleh dalam negeri. Untuk migas sebesar 70 persen dikuasai perusahaan asal AS.
Di sektor pangan, Indonesia pun sedang mengalami kiris. Untuk pemenuhan beras saja pemerintah harus melakukan impor. Ribuan hektar sawah telah beralih fungsi menjadi areal industri, setidaknya terdapat 800 industri yang berdiri .
Kerusakan lingkungan hidup telah menyebabkan tiga hal yang sangat serius, pertama berkelanjutannya bencana ekologis. Selanjutnya, meningkatnya angka kemiskinan dan adanya peningkatan hutang luang negeri. Letak logika atas semuanya adalah negara membutuhkan biaya yang sangat besar untuk pembiyaan, mulai dari tanggap darurat, pemulihan hingga rekonstruksi. (net/jpnn)

JAKARTA- Wahana lingkungan hidup Indonesia (Walhi) mendesak pemerintah agar mengedepankan kepentingan kesejahteraan rakyat, baik dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA) maupun mengambil jarak dari hegemoni perdagangan global, yang lebih menguntungkan negara-negara maju.

Demikian disampaikan Direktur Eksekutif WALHI, Berry Nahdian Forqan pada kesempatan siaran pers dalam rangka menyambut hari jadi WALHI yang ke-31 di kantornya, pekan kemarin.

Dia menilai pemerintahan SBY-Budiono terlalu banyak mengakomodasi kepentingan luar negeri, baik langsung maupun tidak langsung melalui partai-partai, yang selama ini menjadi koalisi pemerintahannya. Berry mengkhawatirkan, kemungkinan terjadinya bencana ekologis yang massif sebagai akibat rusaknya lingkungan oleh para pengusaha dan dampak dari perubahan iklim.

“Ekstrimnya, jika pemerintah tak sungguh-sungguh manata sistem pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia, maka bencana ekologis semakin mengancam,” ujarnya.

Berry mencatat, sekarang ini ada seluas 42,96 juta hektar atau setara 21 persen dari total luas daratan Indonesia telah mendapat izin ekplorasi pertambangan. Sedangkan,  perkebunan sawit dari rencana 26,710,800 hektar telah teralisasi 9,091,277 juta hektare. Alih fungsi ekosistem rawa gambut seluas 3.145.182,20 hektar. Tidak hanya itu, bahkan sungai-sungai kecil telah diubah menjadi areal kebun sawit ditimbun perusahaan hingga tidak berfungsi.

“Tingkat kerusakan hutan sangat masif terjadi, seiring dengan lahirnya PP No 2/2008  tentang jenis penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan,” ucapnya.

Selain adanya aturan itu, banyak wilayah pemukiman terjadi konflik. Sekarang ini, sebutnya ada sebanyak 19,420 desa dari 32 provinsi. Desa yang terdapat dalam Kawasan Hutan Lindung sebanyak 6.243 desa, di dalam hutan konservasi 2,270 desa, di dalam hutan produksi dan produksi terbatas 12,211 desa, di dalam HPK 3,838 desa. Walhi mencatat setidaknya pada tahun 2009 telah terjadi konflik pengelolaan kehutanan sebanyak 127 kasus,  konflik perkebunan besar 38 kasus dan konflik pertambangan 120 kasus.

Sedangkkan pada 2010, khusus konflik kehutanan sebanyak 79 kasus dan konflik perkebunan sawit sebanyak 170 kasus. Dalam dua tahun belakangan ini, setidaknya 12 orang meninggal, 21 luka tembak dan 69 orang ditahan akibat konflik.

Di tempat yang sama,  Kepala Departemen Advokasi WALHI, Mukri Friatna mengatakan, konflik itu semakin meningkat tajam seiring dengan terjadinya ketimpangan, yang tajam dalam struktur penguasaan sumber-sumber agraria. Hal ini dipicu adanya kebijakan pemerintah yang telah melahirkan UU No25/2007 tentang penanaman modal. Dalam UU ini disebutkan, lama penguasan lahan dalam bentuk HGU adalah 95 tahun, sedangkan dalam UUPA No5/1960 hanya 30 tahun. Hak Guna bangunan dari semula 20 tahun menjadi 80 tahun. Demikian pula dengan Hak Pakai dari semula 10 tahun menjadi 70 tahun.

“Indonesia saat ini benar-benar sedang berada di jurang kriris, baik krisis kehutanan, krisis lingkungan, krisis energi hingga krisis pangan,” katanya.
Krisis energi telah menghantui Indonesia karena sebagaian besar sumber bahan mentah telah diperuntukan bagi kepentingan luar negeri, tidak diutamakan bagi kepentingan domestik. Dari seluruh pertambangan yang ada, 75 persen dikuasai asing dan 25 oleh dalam negeri. Untuk migas sebesar 70 persen dikuasai perusahaan asal AS.
Di sektor pangan, Indonesia pun sedang mengalami kiris. Untuk pemenuhan beras saja pemerintah harus melakukan impor. Ribuan hektar sawah telah beralih fungsi menjadi areal industri, setidaknya terdapat 800 industri yang berdiri .
Kerusakan lingkungan hidup telah menyebabkan tiga hal yang sangat serius, pertama berkelanjutannya bencana ekologis. Selanjutnya, meningkatnya angka kemiskinan dan adanya peningkatan hutang luang negeri. Letak logika atas semuanya adalah negara membutuhkan biaya yang sangat besar untuk pembiyaan, mulai dari tanggap darurat, pemulihan hingga rekonstruksi. (net/jpnn)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/