32.8 C
Medan
Sunday, April 28, 2024

Gagal Jadi Pengusaha, Kini Jadi Pengajar

 makmur

makmur

Enam tahun pernah bekerja sebagai Tenaga Kerja Indonesi (TKI) di Jepang bukanlah hal yang sia-sia bagi Makmur Karim Siregar. Buktinya, sekarang, setelah kontrak kerja diputus, pria yang akrab disapa Karim itu bisa menguasai bahasa dan tulisan Jepang. Bermodalkan ilmu yang didapat dari Negeri Sakura itu, Karim kini menjadi tenaga pengajar di studi Hikari Sumut.

Makmur saat itu mengenakan baju kemeja putih. Dia tampak semangat dalam mengajar Bahasa Jepang kepada puluhan siswa Hikari di Universitas Amir Hamzah Jalan Pancing Pasar V Medan Estate. Pengajaran yang diberikannya berupa Hiragana, Katakana dan Kanji; istilah tulisan dan bahasa Jepangn
Makmur mengajar murid dalam program pembekalan puluhan siswa untuk magang di Jepang atau LPK (Lembaga Pelatihan Kerja) yang dinaungi oleh Departemen Tenaga Kerja (Depnaker).

“Di sini (kampus Amir Hamzah) kami hanya menyewa kepada pihak universitas untuk mengajari siswa yang hendak magang ke Jepang,” aku istri dari Nuraisyiah Panjaitan (26) inin
Di Hikari Sumut ini,  Makmur menjabat sebagai Ketua III di Bidang Kepelatihan. Sekitar delapan tahun lamanya dia mengajar di Hikari, Makmur juga mengajar anak-anak sekolah bahasa dan tulisan Jepang di kediamannya di Dusun IX, Gang Teratai Nomor 32, Bandar Khalifa, Deliserdang.

Awalnya, kata Makmur, dirinya tidak pernah terbesit dipikirannya menjadi pengajar Bahasa Jepang ini. Pasalnya, ia merupakan tamatan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Medan Putri pada 1996 jurusan teknisi. Namun, dengan adanya espansi besar-besaran pemerintah untuk memagangkan siswa ke Jepang pada tahun 1996, banyak siswa saat itu berbondong mendaftar diri, termasuk Makmur satu di antaranya.

“Saat itu yang mengikuti seleksi ada 400 orang, tapi yang diterima 200 orang yang ditempatkan berbeda-beda di setiap provinsi di Jepang. Rata-rata gaji yang diberikan oleh perusahaan itu mencapat Rp7 jutaan saat itu,”ujar pria kelahiran Rantau Prapat, 10 April 1976 ini.

Sungguh sangat mengiurkan untuk berburu yen disana. Pastinya, uang Rp7 juta tersebut sangat besar pada zamannya. Namun sebelum mereka bekerja di sana. Katanya, terlebih dahulu siswa yang lulus tersebut dilakukan pembekalan belajar di Lembang, Jawa Barat. “Saat pembelajaran itu, kami dibekali tulisan dan bahasa Jepang dalam kesehari-harian mereka. Ini bertujuan agar bekerja disana kami mengerti apa yang dinstruksikan oleh pimpinan,”ujarnya.

Setelah mereka dibekali dalam pembelajaran bahasa tersebut. Barulah 200 siswa tersebut dibawa ke Jepang yang akan ditempatkan di berbagai daerah atau provinsi yang berbeda-beda. Ketika itu, Makmur ditempatkan bagian pengecatan alat elektronik di daerah Provinsi Saitama. “Kami keselurah magang itu dikontrak selama tiga tahun lamanya,”ujarnya.

Saat menginjakan pertama di Negeri Matahari terbit itu bukan lah mudah. Pasalnya, dengan menguasai  bahasa dan tulisan Jepang yang pas-pasan di tambah lagi dengan kondisi alam yang berbanding terbalik dengan Indonesia,  membuat Makmur dkk harus cepat beradaptasi. “Di sana kan ada empat musim yaitu semi, panas, gugur dan dingin. Jika waktunya musim dingin itu bisa mencapai di bawah nol derajat selsius,”ujarnya.

Dengan capaian dingin tersebut, Makmur harus menselaraskan situasi dan kondisi tubuhnya. Tak jarang hidung dan telinganya secara tidak sadar mengeluarkan darah karena dinginnya tempat tersebut. “Jadinya, kami memang sudah dibekali untuk memakai baju penghangat tapi, dingin yang sampai segitu juga tak mempan.  Sebenanrnya ada empat baju yang diberikan, ini sesuai musim tiba nanti,”ujarnya.

Memang Makmur dalam masa tiga bulan di sana masa yang sangat kritis yang dialaminya untuk beradaptasi. Selain cuaca yang tak bersahabat untuk masyarakat yang tinggal di daerah tropis, mereka harus dituntuk cepat untuk memahami bahasa dan tulisan Jepang tersebut.

“Saat itu saya setiap malamnya belajar bahasa dan tulisan Jepang dari buku panduan yang sudah diberikan. Selain itu, saya sengaja membeli makanan atau minuman di market sendirian. Dengan praktik langsung itu bertujuan cepat memahami bahasa mereka,”ujarnya.

Dengan praktik langsung dan berinteraksi pada masyarakat asli sangat cepat belajarnya dan mudah memahami bahasa tersebut. “Saya bisa berbahasa Jepang selama delapan bulan lamanya. Sedangkan tulisan Jepang sekitar setahun baru bisa memahaminya,”ujarnya.

Menurutnya, untuk belajar bahasa dan tulisan Jepang tak serumit yang dibayangkan. Pasalnya, tulisan Jepang dalam pengejaannya tak ada yang berbeda, sama halnya seperti bahasa Indonesia.

Saat bekerja di perusahaan laundry tersebut, Makmur dikontrak selam tiga tahun lamanya. Ketika itu, gaji yang didapatnya mencapai Rp15 juta perbulannya. “Memang lebih banyak, karena dulu kan masih magang walaupun sudah bekerja. Setelah tidak magang lagi,  kerja di sini gajinya cukup besar,”ujarnya.

Tak terasa enam tahun lamanya Makmur di Jepang,  tak ada lagi perpanjangan kontrak diberikan perusahaan kepadanya. Mau tidak mau ia pulang ke tanah air. Disamping pulang membawa uang yang banyak, ilmu pun tak ketinggalan. Hanya saja ilmu yang sampai sekarang belum dikuasainya adalah menulis kanji.

Menurutnya, menulis kanji yang hurufnya mencapai sekitar 4000, sampai sekarang masih dikuasainya secara otodidak sebanyak 3000 kanji. “Karena itu tulisan dari China sangat susah dipelajari dan dipahami, sedangkan orang Jepang saja ada yang tidak mengerti untuk menulis kanji tersebut,”ujanrya.

Setelah pulang ke tanah air, ia membuka usaha dari modal yang berasal kerjanya di Jepang.  Namun, Makmur sempat merasa frustrasi akibat usahanya yang dirintisnya gagal, Tapi, nasib baik masih menghampirinya, teman semasa kerjanya dulu di Jepang menawarinya untuk menjadi pengajar Bahasa Jepang dan tawaran itu tak disia-siakannya. “Pertama sekali saya mengajar itu tahun 2006 dan sampai sekarang. Padahal, saat itu profesi  saya bukan pengajar melainkan kerja di pabrik,”ujarnya.(ban)

 makmur

makmur

Enam tahun pernah bekerja sebagai Tenaga Kerja Indonesi (TKI) di Jepang bukanlah hal yang sia-sia bagi Makmur Karim Siregar. Buktinya, sekarang, setelah kontrak kerja diputus, pria yang akrab disapa Karim itu bisa menguasai bahasa dan tulisan Jepang. Bermodalkan ilmu yang didapat dari Negeri Sakura itu, Karim kini menjadi tenaga pengajar di studi Hikari Sumut.

Makmur saat itu mengenakan baju kemeja putih. Dia tampak semangat dalam mengajar Bahasa Jepang kepada puluhan siswa Hikari di Universitas Amir Hamzah Jalan Pancing Pasar V Medan Estate. Pengajaran yang diberikannya berupa Hiragana, Katakana dan Kanji; istilah tulisan dan bahasa Jepangn
Makmur mengajar murid dalam program pembekalan puluhan siswa untuk magang di Jepang atau LPK (Lembaga Pelatihan Kerja) yang dinaungi oleh Departemen Tenaga Kerja (Depnaker).

“Di sini (kampus Amir Hamzah) kami hanya menyewa kepada pihak universitas untuk mengajari siswa yang hendak magang ke Jepang,” aku istri dari Nuraisyiah Panjaitan (26) inin
Di Hikari Sumut ini,  Makmur menjabat sebagai Ketua III di Bidang Kepelatihan. Sekitar delapan tahun lamanya dia mengajar di Hikari, Makmur juga mengajar anak-anak sekolah bahasa dan tulisan Jepang di kediamannya di Dusun IX, Gang Teratai Nomor 32, Bandar Khalifa, Deliserdang.

Awalnya, kata Makmur, dirinya tidak pernah terbesit dipikirannya menjadi pengajar Bahasa Jepang ini. Pasalnya, ia merupakan tamatan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Medan Putri pada 1996 jurusan teknisi. Namun, dengan adanya espansi besar-besaran pemerintah untuk memagangkan siswa ke Jepang pada tahun 1996, banyak siswa saat itu berbondong mendaftar diri, termasuk Makmur satu di antaranya.

“Saat itu yang mengikuti seleksi ada 400 orang, tapi yang diterima 200 orang yang ditempatkan berbeda-beda di setiap provinsi di Jepang. Rata-rata gaji yang diberikan oleh perusahaan itu mencapat Rp7 jutaan saat itu,”ujar pria kelahiran Rantau Prapat, 10 April 1976 ini.

Sungguh sangat mengiurkan untuk berburu yen disana. Pastinya, uang Rp7 juta tersebut sangat besar pada zamannya. Namun sebelum mereka bekerja di sana. Katanya, terlebih dahulu siswa yang lulus tersebut dilakukan pembekalan belajar di Lembang, Jawa Barat. “Saat pembelajaran itu, kami dibekali tulisan dan bahasa Jepang dalam kesehari-harian mereka. Ini bertujuan agar bekerja disana kami mengerti apa yang dinstruksikan oleh pimpinan,”ujarnya.

Setelah mereka dibekali dalam pembelajaran bahasa tersebut. Barulah 200 siswa tersebut dibawa ke Jepang yang akan ditempatkan di berbagai daerah atau provinsi yang berbeda-beda. Ketika itu, Makmur ditempatkan bagian pengecatan alat elektronik di daerah Provinsi Saitama. “Kami keselurah magang itu dikontrak selama tiga tahun lamanya,”ujarnya.

Saat menginjakan pertama di Negeri Matahari terbit itu bukan lah mudah. Pasalnya, dengan menguasai  bahasa dan tulisan Jepang yang pas-pasan di tambah lagi dengan kondisi alam yang berbanding terbalik dengan Indonesia,  membuat Makmur dkk harus cepat beradaptasi. “Di sana kan ada empat musim yaitu semi, panas, gugur dan dingin. Jika waktunya musim dingin itu bisa mencapai di bawah nol derajat selsius,”ujarnya.

Dengan capaian dingin tersebut, Makmur harus menselaraskan situasi dan kondisi tubuhnya. Tak jarang hidung dan telinganya secara tidak sadar mengeluarkan darah karena dinginnya tempat tersebut. “Jadinya, kami memang sudah dibekali untuk memakai baju penghangat tapi, dingin yang sampai segitu juga tak mempan.  Sebenanrnya ada empat baju yang diberikan, ini sesuai musim tiba nanti,”ujarnya.

Memang Makmur dalam masa tiga bulan di sana masa yang sangat kritis yang dialaminya untuk beradaptasi. Selain cuaca yang tak bersahabat untuk masyarakat yang tinggal di daerah tropis, mereka harus dituntuk cepat untuk memahami bahasa dan tulisan Jepang tersebut.

“Saat itu saya setiap malamnya belajar bahasa dan tulisan Jepang dari buku panduan yang sudah diberikan. Selain itu, saya sengaja membeli makanan atau minuman di market sendirian. Dengan praktik langsung itu bertujuan cepat memahami bahasa mereka,”ujarnya.

Dengan praktik langsung dan berinteraksi pada masyarakat asli sangat cepat belajarnya dan mudah memahami bahasa tersebut. “Saya bisa berbahasa Jepang selama delapan bulan lamanya. Sedangkan tulisan Jepang sekitar setahun baru bisa memahaminya,”ujarnya.

Menurutnya, untuk belajar bahasa dan tulisan Jepang tak serumit yang dibayangkan. Pasalnya, tulisan Jepang dalam pengejaannya tak ada yang berbeda, sama halnya seperti bahasa Indonesia.

Saat bekerja di perusahaan laundry tersebut, Makmur dikontrak selam tiga tahun lamanya. Ketika itu, gaji yang didapatnya mencapai Rp15 juta perbulannya. “Memang lebih banyak, karena dulu kan masih magang walaupun sudah bekerja. Setelah tidak magang lagi,  kerja di sini gajinya cukup besar,”ujarnya.

Tak terasa enam tahun lamanya Makmur di Jepang,  tak ada lagi perpanjangan kontrak diberikan perusahaan kepadanya. Mau tidak mau ia pulang ke tanah air. Disamping pulang membawa uang yang banyak, ilmu pun tak ketinggalan. Hanya saja ilmu yang sampai sekarang belum dikuasainya adalah menulis kanji.

Menurutnya, menulis kanji yang hurufnya mencapai sekitar 4000, sampai sekarang masih dikuasainya secara otodidak sebanyak 3000 kanji. “Karena itu tulisan dari China sangat susah dipelajari dan dipahami, sedangkan orang Jepang saja ada yang tidak mengerti untuk menulis kanji tersebut,”ujanrya.

Setelah pulang ke tanah air, ia membuka usaha dari modal yang berasal kerjanya di Jepang.  Namun, Makmur sempat merasa frustrasi akibat usahanya yang dirintisnya gagal, Tapi, nasib baik masih menghampirinya, teman semasa kerjanya dulu di Jepang menawarinya untuk menjadi pengajar Bahasa Jepang dan tawaran itu tak disia-siakannya. “Pertama sekali saya mengajar itu tahun 2006 dan sampai sekarang. Padahal, saat itu profesi  saya bukan pengajar melainkan kerja di pabrik,”ujarnya.(ban)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/