25 C
Medan
Friday, June 28, 2024

Cara Hemat Memilih Perguruan Tinggi

Meski jumlah Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Indonesia jauh lebih besar dibandingkan jumlah Perguruan Tinggi Negeri (PTN), peminat PTN selalu melonjak. Bahkan, perbedaan kebijakan pemerintah terhadap PTN dan PTS di Indonesia semakin membuat PTS terpinggirkan. 

Menurut Ketua Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (ABPPTSI) Thomas Suyatno, beberapa waktu lalu, dalam Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi (RUU PT), sedikitnya ada lima prinsip yang dilanggar pemerintah sehingga PTS tetap dipinggirkan. Pelanggaran tersebut dilakukan oleh tiga alasan utama, yakni prinsip etatisme (serba negara), diskriminasi antara PTN dengan PTS, dan pembiayaan pendidikan. Hal itulah yang juga menjadi salah satu penyebab terjadinya krisis kebangsaan di Indonesia.

Alasan biaya dan kualitas semakin memperteguh PTN menjadi superior. Padahal jika kita cermati, biaya PTN dan PTS sudah hampir sama. PTN yang dahulunya digadang-gadangkan sebagai perguruan tinggi yang difasilitasi dan dikelola negara dengan biaya terjangkau, nyatanya tetap saja mematok biaya tinggi.

Masalah biaya sebenarnya relatif. Jika calon mahasiswa termasuk orang yang cerdas dan dapat masuk PTN melalui jalur PMDK atau jalur SNMPTN, maka biaya kuliah yang akan dikeluarkan lebih murah bila dibandingkan masuk PTN dengan jalur Ujian Mandiri. Kebanyakan kampus akan meluluskan siswa ujian mandiri yang mematok uang pangkal terbesar. Permainan uang seperti itulah yang sejak lama dilakukan. Calon mahasiswa yang berduit tentu akan meletakkan uang pangkal yang besar untuk menyingkirkan pesaing lainnya.

Dari banyaknya peminat, tidak perlu diragukan lagi bahwa PTN lebih unggul dari PTS. Segala macam jalur penerimaan mahasiswa baru yang selalu ramai tiap tahunnya merupakan bukti nyata bahwa PTN tetap menjadi idaman bagi para penerus pendidikan. Untuk pilihan jurusan, PTS lebih unggul karena PTS mempunyai beragam jurusan yang menarik dibandingkan dengan PTN yang monoton, hanya itu saja. Misalnya Universitas Bina Nusantara, salah satu universitas swasta Indonesia yang berlokasi di Jakarta. PTS tersebut mempunyai jurusan Desain Komunikasi Visual yang jarang dimiliki PTN.

Sementara, kuliah di PTN memberi prestise tersendiri. Kebanggaan dengan almamater kampus negeri pasti dirasakan setiap orang yang telah berhasil lolos dari persaingan ketat jalur SNMPTN. Padahal jika ditinjau dari output, lulusan yang dihasilkan PTN dan PTS pun tidak selalu diunggulkan oleh PTN. Dilihat dari segi kurikulum,  semuanya mengacu pada kurikulum nasional.

Melanjutkan studi ke PTN maupun PTS merupakan pilihan masing-masing individu. Dari segi kualitas, PTS pun tak kalah jauh dari PTN. Bahkan visi keduanya sama-sama mencerdaskan kehidupan bangsa. Tergantung bagaimana mahasiswa tersebut menekuni bidang ilmunya.

Untuk memilih perguruan tinggi yang tepat dan sesuai keinginan, hal utama yang dapat kita lakukan adalah mencari informasi selengkap mungkin mengenai kampus tersebut. Apalagi di era digital dan teknologi yang semakin maju, mencari informasi apa pun semakin mudah layaknya membalikkan telapak tangan. Tinggal klik, semua yang kita butuhkan secepat kilat akan tersedia. Salah satu situs yang memuat secara lengkap tentang  daftar perguruan tinggi dapat dilihat di situs wikipedia maupun situs-situs lain. Cara ini lebih efektif dan efisien tanpa harus mendatangi satu persatu kampus idaman.

Memang, lulusan sekolah menengah tampaknya harus lebih selektif memilih pendidikan lanjutan. Pasalnya, pertumbuhan perguruan tinggi cukup pesat. Setiap tahun diketahui ada 200 Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang berdiri di Indonesia.

Hal ini diungkapkan oleh Ketua Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) Wilayah I Sumut-Aceh Prof Nawawiy Lubis. “Hingga kini di Indonesia terdapat sekitar 2.700 PTS,” katanya, belum lama ini.

Nawawiy mengungkapkan, pertumbuhan PTS yang cukup pesat bukan berarti tidak memedulikan kualitas. Ada beberapa syarat yang memang harus dipenuhi PTS baru. “Pendirian PTS cukup ketat dengan standard minimal yang harus dipenuhi demi untuk menjamin kualitas dari PTS,  seperti terlihat pada syarat PTS baru sesuai dengan Keputusan Menteri No: 234/U/2000 tanggal 20 Desember 2000 dan Keputusan Dirjen Dikti No: 108/DIKTI/Kep/2001 tanggal 30 April 2001,” jelas sang profesor.

Keputusan menteri dan dirjen tersebut, jelas Nawawiy, berisi persyaratan sejumlah garansi dana untuk menjamin kelangsungan pendidikan yang dikelola oleh PTS agar mahasiswa tidak terlantar. Adanya kajian kelayakan, Rencana Induk Pengembangan, Statuta, Penjaminan Mutu, dan sebagainya.
“Persyaratan penting lainnya adalah tersedianya tenaga pengajar yang harus berkualifikasi S2 sebanyak 6 orang untuk sebuah Prodi (program studi),” katanya.

Bukan rahasia lagi kalau banyak PTS papan naa alias yang ada hanya namanya saja. Pun, beberapa bangunan tidak mencerminkan sebuah lembaga pendidikan. Contohnya, banyak PTS yang hanya bermodalkan gedung berupa rumah toko (Ruko). Menyikapi hal ini, Nawawiy kembali menjelaskan kalau semua itu sejatinya memiliki aturan.

“Persyaratan ruang yang ditetapkan dalam keputusan diatas. Luas tanah yang diperlukan adalah 5.000 meter per segi untuk akademi, politeknik dan sekolah tinggi, 8.000 m untuk institut dan 10.000 m,” jelasnya.

Selain soal luas tanah, luas bangunan juga sudah diatur dalam  keputusan tersebut. “680 meter persegi untuk akademi, 1.490 untuk Politeknik, 1.060 untuk Sekolah Tinggi,  2.430  untuk institut, dan 4.500 untuk universitas. Permasyalahannya adalah apakah luasan yang disyaratkan tersebut berada di sebuah kompleks ruko atau bukan, tidak menjadi persoalan selama persyaratan minimal tersebut dipenuhi,” tambahnya.

Nawawiy mengatakan persyaratan minimal tersebut juga menjadi pertimbangan saat BAN-PT menilai pemberian Akreditasi PTS tersebut, sehingga banyak yang tidak memperoleh akreditasi. Artinya kalau sudah memperoleh akreditasi berarti sudah memenuhi standar yang diinginkan. Jika memperoleh akreditasi tetapi tidak memenuhi standard artinya terjadi penyimpangan.

Soal akreditas, di wilayah Sumut, lebih dari 50 persen program studi yang tidak terakreditas. Sekadar informasi, hingga kini jumlah PTS di Sumut ada 254. Dari jumlah itu terdapat 958 prodi. Nah, dari 958 prodi,  ada 492 prodi yang tak terakreditas.

Menurut Nawawiy, penentuan kualifikasi tersebut dilakukan oleh Badan Independen yang dinamakan Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) yang memberikan peringkat kualifikasi pada seluruh Perguruan Tinggi baik swasta maupun negeri dengan terminologi akreditasi, yang paling baik adalah akreditasi A disusul dengan B dan selanjutnya C sebagai akreditasi yang terendah.

Nah, dengan keadaan ini, bukankah calon mahasiswa bisa terjebak. Setidaknya soal akreditasi jarang disosialisasikan. Ujung-ujungnya, calon masiswa yang akan rugi. “Tidak perlu sulit. Mahasiswa dapat mengakses informasi awal dari Website Dikti www.dikti.go.id, kemudian melakukan survei langsung ke lokasi PTS yang memiliki Prodi yang diinginkan,” jelasnya.

Soal akreditas ini, tambah Nawawiy, adalah sebuah imej bagi sebuah PTS.
“Seperti layaknya mekanisme pasar, PTS yang lebih bagus tentunya akan lebih mahal biayanya sehingga berlaku kompetisi. Demikian pula yang memiliki akreditasi yang lebih tinggi juga akan menjadikannya sebagai daya tarik karena pengguna lulusan juga sering mensyaratkan akreditasi minimal B bagi prodi dari PTS yang mengeluarkan ijazah pelamar kerja,” tambahnya.

Ketua Kopertis Wilayah I Sumut-Aceh ini pun mengimbau agar calon mahasiswa lebih bijak dalam memilih PTS.
“Yang paling utama memilih prodi yang sesuai dengan bakat dan kemampuan akademik, kemudian memilih prodi yang sudah memiliki akreditasi. Lalu menelisik alumni yang sudah bekerja untuk melihat respon pasar terhadap PTS tertentu,” katanya.

Begitu pun, soal dikotomi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan PTS. Meski tidak membantah dikotomi itu cukup terasa, Nawawiy mengatakan PTS sejatinya tidak kalah bersaing.

“Seringkali PTN dan PTS dikotomikan, sehingga timbul persepsi tidak sehat di dalam masyarakat bahwa keduanya bersaing secara tidak sehat. Keduanya memiliki tugas yang sama meningkatkan pendidikan. Namun sumber dana dan pengelolaannya amat berbeda. PTN sebanyak 130 di seluruh Indonesia sepenuhnya disubsidi pemerintah termasuk mahasiswanya. Sedang PTS sebanyak 2.700 dibiayai sendiri dan mahasiswanya juga tidak disubsidi, memang ada bantuan pemerintah tetapi jumlahnya amat kecil dibanding dengan yang diterima PTN,” ungkapnya panjang lebar.

Akhirnya, Nawawiy mengatakan, pilihan itu ada pada calon mahasiswa. Memilih PTN dan PTS bukanlah sesuatu memusingkan karena yang dicari adalah ilmu. “Seharusnya PTN dan PTS tidak lagi berbeda jika akreditasinya sama, artinya kualitasnya sudah sama. Namun tentu saja calon mahasiswa tetap berkompetisi mengejar biaya kuliah yang disubsidi. Maka wajar jika terjadi hal seperti yang disebut di atas,” pungkasnya.

Apa yang dikatakan Nawawy patut dicermati. Sebagai gambaran, misalnya, Universitas Sutomo Medan yang menyiapkan daya tampung bagi 750 mahasiswa baru untuk tahun ajaran 2012-2013. Kuota tersebut disesuaikan berdasarkan jumlah fakultas dan program studi yang tersedia di Universitas Sutomo.

Hal ini disampaikan Rektor Universitas Sutomo, H Ramli Marpaung SH MM saat memberikan keterangan pers di ruang aula kampus, Jumat (1/6).
“Jumlah kuota yang kita siapkan ini untuk mengisi 15 Prodi dan 7 Fakultas yang disediakan kampus,” ucap Ramli didampingi PR I Budiman Purba dan PR III, Ir Ahmaruzar beserta staf lainnya.

Sebagai kampus pertama di Medan yang menerapkan program pengembangan entrepreuneuship atau kewirausahaan ini, Univeristas Sutomo terus eksis dalam mengembangkan peserta didiknya agar mampu menciptkan lapangan kerja.

Hal ini dibuktikan dalam kurikulum pendidikan yang diterapkan kampus tersebut.
“Seluruh prodi tanpa terkecuali akan mendapatkan mata kuliah kewirausahaan. Mata kuliah ini juga menjadi syarat bagi seluruh mahasiswa untuk menyusun skripsi. Jadi kalau tidak mengambil mata kuliah kewirausahaan, maka mahasiswa tidak diperkenankan untuk menyusun skripsi,” terangnya.
Untuk menselaraskan proses belajar mengajar, Ramli mengaku universitas Sutomo terus membenahi dan menambah fasilitas kampus sesuai yang dibutuhkan.Bahkan untuk tahun ajaran baru ini, setidaknya 90 dosen baik dari kalangan akademisi hingga praktisi telah disiapkan.

Sedangkan bagi peserta didiknya, Universitas Sutomo memberikan beragam kemudahan dari sisi pembayaran yakni dengan sistem tiga kali cicil.
Tidak hanya itu saja, Universitas Sutomo juga memberikan beasiswa bagi peserta didik yang memiliki prestasi akademik sesuai standar yang diberikan kampus.

“Untuk peringkat satu kita berikan beasiswa biaya kuliah hingga 100 persen. Peringkat dua 90 persen dan selanjutnya hingga peringkat sepuluh,” ungkapnya diakhir pertemuan. (val/rmd/uma)

Meski jumlah Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Indonesia jauh lebih besar dibandingkan jumlah Perguruan Tinggi Negeri (PTN), peminat PTN selalu melonjak. Bahkan, perbedaan kebijakan pemerintah terhadap PTN dan PTS di Indonesia semakin membuat PTS terpinggirkan. 

Menurut Ketua Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (ABPPTSI) Thomas Suyatno, beberapa waktu lalu, dalam Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi (RUU PT), sedikitnya ada lima prinsip yang dilanggar pemerintah sehingga PTS tetap dipinggirkan. Pelanggaran tersebut dilakukan oleh tiga alasan utama, yakni prinsip etatisme (serba negara), diskriminasi antara PTN dengan PTS, dan pembiayaan pendidikan. Hal itulah yang juga menjadi salah satu penyebab terjadinya krisis kebangsaan di Indonesia.

Alasan biaya dan kualitas semakin memperteguh PTN menjadi superior. Padahal jika kita cermati, biaya PTN dan PTS sudah hampir sama. PTN yang dahulunya digadang-gadangkan sebagai perguruan tinggi yang difasilitasi dan dikelola negara dengan biaya terjangkau, nyatanya tetap saja mematok biaya tinggi.

Masalah biaya sebenarnya relatif. Jika calon mahasiswa termasuk orang yang cerdas dan dapat masuk PTN melalui jalur PMDK atau jalur SNMPTN, maka biaya kuliah yang akan dikeluarkan lebih murah bila dibandingkan masuk PTN dengan jalur Ujian Mandiri. Kebanyakan kampus akan meluluskan siswa ujian mandiri yang mematok uang pangkal terbesar. Permainan uang seperti itulah yang sejak lama dilakukan. Calon mahasiswa yang berduit tentu akan meletakkan uang pangkal yang besar untuk menyingkirkan pesaing lainnya.

Dari banyaknya peminat, tidak perlu diragukan lagi bahwa PTN lebih unggul dari PTS. Segala macam jalur penerimaan mahasiswa baru yang selalu ramai tiap tahunnya merupakan bukti nyata bahwa PTN tetap menjadi idaman bagi para penerus pendidikan. Untuk pilihan jurusan, PTS lebih unggul karena PTS mempunyai beragam jurusan yang menarik dibandingkan dengan PTN yang monoton, hanya itu saja. Misalnya Universitas Bina Nusantara, salah satu universitas swasta Indonesia yang berlokasi di Jakarta. PTS tersebut mempunyai jurusan Desain Komunikasi Visual yang jarang dimiliki PTN.

Sementara, kuliah di PTN memberi prestise tersendiri. Kebanggaan dengan almamater kampus negeri pasti dirasakan setiap orang yang telah berhasil lolos dari persaingan ketat jalur SNMPTN. Padahal jika ditinjau dari output, lulusan yang dihasilkan PTN dan PTS pun tidak selalu diunggulkan oleh PTN. Dilihat dari segi kurikulum,  semuanya mengacu pada kurikulum nasional.

Melanjutkan studi ke PTN maupun PTS merupakan pilihan masing-masing individu. Dari segi kualitas, PTS pun tak kalah jauh dari PTN. Bahkan visi keduanya sama-sama mencerdaskan kehidupan bangsa. Tergantung bagaimana mahasiswa tersebut menekuni bidang ilmunya.

Untuk memilih perguruan tinggi yang tepat dan sesuai keinginan, hal utama yang dapat kita lakukan adalah mencari informasi selengkap mungkin mengenai kampus tersebut. Apalagi di era digital dan teknologi yang semakin maju, mencari informasi apa pun semakin mudah layaknya membalikkan telapak tangan. Tinggal klik, semua yang kita butuhkan secepat kilat akan tersedia. Salah satu situs yang memuat secara lengkap tentang  daftar perguruan tinggi dapat dilihat di situs wikipedia maupun situs-situs lain. Cara ini lebih efektif dan efisien tanpa harus mendatangi satu persatu kampus idaman.

Memang, lulusan sekolah menengah tampaknya harus lebih selektif memilih pendidikan lanjutan. Pasalnya, pertumbuhan perguruan tinggi cukup pesat. Setiap tahun diketahui ada 200 Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang berdiri di Indonesia.

Hal ini diungkapkan oleh Ketua Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) Wilayah I Sumut-Aceh Prof Nawawiy Lubis. “Hingga kini di Indonesia terdapat sekitar 2.700 PTS,” katanya, belum lama ini.

Nawawiy mengungkapkan, pertumbuhan PTS yang cukup pesat bukan berarti tidak memedulikan kualitas. Ada beberapa syarat yang memang harus dipenuhi PTS baru. “Pendirian PTS cukup ketat dengan standard minimal yang harus dipenuhi demi untuk menjamin kualitas dari PTS,  seperti terlihat pada syarat PTS baru sesuai dengan Keputusan Menteri No: 234/U/2000 tanggal 20 Desember 2000 dan Keputusan Dirjen Dikti No: 108/DIKTI/Kep/2001 tanggal 30 April 2001,” jelas sang profesor.

Keputusan menteri dan dirjen tersebut, jelas Nawawiy, berisi persyaratan sejumlah garansi dana untuk menjamin kelangsungan pendidikan yang dikelola oleh PTS agar mahasiswa tidak terlantar. Adanya kajian kelayakan, Rencana Induk Pengembangan, Statuta, Penjaminan Mutu, dan sebagainya.
“Persyaratan penting lainnya adalah tersedianya tenaga pengajar yang harus berkualifikasi S2 sebanyak 6 orang untuk sebuah Prodi (program studi),” katanya.

Bukan rahasia lagi kalau banyak PTS papan naa alias yang ada hanya namanya saja. Pun, beberapa bangunan tidak mencerminkan sebuah lembaga pendidikan. Contohnya, banyak PTS yang hanya bermodalkan gedung berupa rumah toko (Ruko). Menyikapi hal ini, Nawawiy kembali menjelaskan kalau semua itu sejatinya memiliki aturan.

“Persyaratan ruang yang ditetapkan dalam keputusan diatas. Luas tanah yang diperlukan adalah 5.000 meter per segi untuk akademi, politeknik dan sekolah tinggi, 8.000 m untuk institut dan 10.000 m,” jelasnya.

Selain soal luas tanah, luas bangunan juga sudah diatur dalam  keputusan tersebut. “680 meter persegi untuk akademi, 1.490 untuk Politeknik, 1.060 untuk Sekolah Tinggi,  2.430  untuk institut, dan 4.500 untuk universitas. Permasyalahannya adalah apakah luasan yang disyaratkan tersebut berada di sebuah kompleks ruko atau bukan, tidak menjadi persoalan selama persyaratan minimal tersebut dipenuhi,” tambahnya.

Nawawiy mengatakan persyaratan minimal tersebut juga menjadi pertimbangan saat BAN-PT menilai pemberian Akreditasi PTS tersebut, sehingga banyak yang tidak memperoleh akreditasi. Artinya kalau sudah memperoleh akreditasi berarti sudah memenuhi standar yang diinginkan. Jika memperoleh akreditasi tetapi tidak memenuhi standard artinya terjadi penyimpangan.

Soal akreditas, di wilayah Sumut, lebih dari 50 persen program studi yang tidak terakreditas. Sekadar informasi, hingga kini jumlah PTS di Sumut ada 254. Dari jumlah itu terdapat 958 prodi. Nah, dari 958 prodi,  ada 492 prodi yang tak terakreditas.

Menurut Nawawiy, penentuan kualifikasi tersebut dilakukan oleh Badan Independen yang dinamakan Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) yang memberikan peringkat kualifikasi pada seluruh Perguruan Tinggi baik swasta maupun negeri dengan terminologi akreditasi, yang paling baik adalah akreditasi A disusul dengan B dan selanjutnya C sebagai akreditasi yang terendah.

Nah, dengan keadaan ini, bukankah calon mahasiswa bisa terjebak. Setidaknya soal akreditasi jarang disosialisasikan. Ujung-ujungnya, calon masiswa yang akan rugi. “Tidak perlu sulit. Mahasiswa dapat mengakses informasi awal dari Website Dikti www.dikti.go.id, kemudian melakukan survei langsung ke lokasi PTS yang memiliki Prodi yang diinginkan,” jelasnya.

Soal akreditas ini, tambah Nawawiy, adalah sebuah imej bagi sebuah PTS.
“Seperti layaknya mekanisme pasar, PTS yang lebih bagus tentunya akan lebih mahal biayanya sehingga berlaku kompetisi. Demikian pula yang memiliki akreditasi yang lebih tinggi juga akan menjadikannya sebagai daya tarik karena pengguna lulusan juga sering mensyaratkan akreditasi minimal B bagi prodi dari PTS yang mengeluarkan ijazah pelamar kerja,” tambahnya.

Ketua Kopertis Wilayah I Sumut-Aceh ini pun mengimbau agar calon mahasiswa lebih bijak dalam memilih PTS.
“Yang paling utama memilih prodi yang sesuai dengan bakat dan kemampuan akademik, kemudian memilih prodi yang sudah memiliki akreditasi. Lalu menelisik alumni yang sudah bekerja untuk melihat respon pasar terhadap PTS tertentu,” katanya.

Begitu pun, soal dikotomi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan PTS. Meski tidak membantah dikotomi itu cukup terasa, Nawawiy mengatakan PTS sejatinya tidak kalah bersaing.

“Seringkali PTN dan PTS dikotomikan, sehingga timbul persepsi tidak sehat di dalam masyarakat bahwa keduanya bersaing secara tidak sehat. Keduanya memiliki tugas yang sama meningkatkan pendidikan. Namun sumber dana dan pengelolaannya amat berbeda. PTN sebanyak 130 di seluruh Indonesia sepenuhnya disubsidi pemerintah termasuk mahasiswanya. Sedang PTS sebanyak 2.700 dibiayai sendiri dan mahasiswanya juga tidak disubsidi, memang ada bantuan pemerintah tetapi jumlahnya amat kecil dibanding dengan yang diterima PTN,” ungkapnya panjang lebar.

Akhirnya, Nawawiy mengatakan, pilihan itu ada pada calon mahasiswa. Memilih PTN dan PTS bukanlah sesuatu memusingkan karena yang dicari adalah ilmu. “Seharusnya PTN dan PTS tidak lagi berbeda jika akreditasinya sama, artinya kualitasnya sudah sama. Namun tentu saja calon mahasiswa tetap berkompetisi mengejar biaya kuliah yang disubsidi. Maka wajar jika terjadi hal seperti yang disebut di atas,” pungkasnya.

Apa yang dikatakan Nawawy patut dicermati. Sebagai gambaran, misalnya, Universitas Sutomo Medan yang menyiapkan daya tampung bagi 750 mahasiswa baru untuk tahun ajaran 2012-2013. Kuota tersebut disesuaikan berdasarkan jumlah fakultas dan program studi yang tersedia di Universitas Sutomo.

Hal ini disampaikan Rektor Universitas Sutomo, H Ramli Marpaung SH MM saat memberikan keterangan pers di ruang aula kampus, Jumat (1/6).
“Jumlah kuota yang kita siapkan ini untuk mengisi 15 Prodi dan 7 Fakultas yang disediakan kampus,” ucap Ramli didampingi PR I Budiman Purba dan PR III, Ir Ahmaruzar beserta staf lainnya.

Sebagai kampus pertama di Medan yang menerapkan program pengembangan entrepreuneuship atau kewirausahaan ini, Univeristas Sutomo terus eksis dalam mengembangkan peserta didiknya agar mampu menciptkan lapangan kerja.

Hal ini dibuktikan dalam kurikulum pendidikan yang diterapkan kampus tersebut.
“Seluruh prodi tanpa terkecuali akan mendapatkan mata kuliah kewirausahaan. Mata kuliah ini juga menjadi syarat bagi seluruh mahasiswa untuk menyusun skripsi. Jadi kalau tidak mengambil mata kuliah kewirausahaan, maka mahasiswa tidak diperkenankan untuk menyusun skripsi,” terangnya.
Untuk menselaraskan proses belajar mengajar, Ramli mengaku universitas Sutomo terus membenahi dan menambah fasilitas kampus sesuai yang dibutuhkan.Bahkan untuk tahun ajaran baru ini, setidaknya 90 dosen baik dari kalangan akademisi hingga praktisi telah disiapkan.

Sedangkan bagi peserta didiknya, Universitas Sutomo memberikan beragam kemudahan dari sisi pembayaran yakni dengan sistem tiga kali cicil.
Tidak hanya itu saja, Universitas Sutomo juga memberikan beasiswa bagi peserta didik yang memiliki prestasi akademik sesuai standar yang diberikan kampus.

“Untuk peringkat satu kita berikan beasiswa biaya kuliah hingga 100 persen. Peringkat dua 90 persen dan selanjutnya hingga peringkat sepuluh,” ungkapnya diakhir pertemuan. (val/rmd/uma)

Artikel Terkait

Rekening Gendut Akil dari Sumut?

Pedagang Emas Kian Ketar-ketir

Selalu Menghargai Sesama

Dahlan Iskan & Langkanya Daging Sapi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/