30 C
Medan
Sunday, June 30, 2024

Menghapus Outsourcing, Menghapus Ordonantie Belanda

Penghapusan outsourcing akhirnya menjadi ‘obat penenang’ bagi kaum pekerja. Sistem ordonantie yang diperkenalkan Kolonialisme Belanda pada masa tanam paksa di Tanah Deli ini bakal segera diakhiri. Pekerja menyambutnya penuh sukacita, tapi banyak pengamat yang bilang kebijakan itu hanya sebatas mencari popularitas.

MENURUT pengamat ekonomi Aviliani, ide menghapus outsourcing dikeluarkan terlalu terburu-buru. Terutama karena tidak semudah itu teorinya,”Pernyataan penghapusan sistem outsourcing ini sebaiknya jangan hanya jadi ajang kepentingan belaka,”ujarnya.

Ia menilai, saat ini ada ribuan, bahkan mungkin jutaan pekerja outsourcing yang berasal dari berbagai macam vendor. “Bila outsourcing langsung dihapus berarti ada sekian banyak pula pekerja-pekerja dan karyawan yang akan diputus kontrak, ini berarti akan memperbanyak jumlah pengangguran yang ada,”katanya.

Aviliani menuturkan, tidak semua perusahaan dapat menerima atau menampung begitu saja para pekerja outsource ini untuk menjadi karyawan tetap di perusahaan yang bersangkutan. “Butuh proses yang cukup memakan waktu untuk bisa menstabilkan status para pekerja outsourcing ini,”ucapnya.

Ia pun menyarankan agar pemerintah sekarang ini memikirkan terlebih dahulu bagaimana agar para pekerja outsourcing ini bisa mendapat perlakuan adil, baik dari segi pendapatan maupun tunjangan yang berlaku, “Realisasi dari kesejahteraan para pekerja akan lebih baik maknanya bila benar-benar dicarikan solusi yang tepat dan akurat.” tambahnya.

Lihat saja pengakuan Ica, salah satu pegawai outsource bank pemerintah. Ia mengaku merasakan manfaat dari adanya perusahaan-perusahaan penyedia jasa pekerja ini. Terutama karena vendor-vendor ini bisa membantu dalam menyalurkan para pencari kerja,”Saya cukup terbantu, karena dengan adanya vendor-vendor ini, saya bisa kerja,” ujarnya.

Meski dalam pasal UU Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003 diperbolehkan penerapan sistem outsourcing, namun Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Muhaimin Iskandar menilai sistem ketenagakerjan seperti itu jelas-jelas menyengsarakan dan merugikan para pekerja. Karena itu, sistem outsourcing akan dihapuskan.

‘’Outsourcing harus ditegaskan bahwa tidak boleh dilaksanakan pada pekerjaan yang bersifat pekerjaan pokok. Memang, dalam satu pasal UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan memang dibolehkannya outsourcing, namun harus ditegaskan bahwa undang-undang itu yang dimaksud adalah bukan pada pekerjaan pokok dan inti tapi pekerjaan tambahan,’’ kata Muhaimin (1/5).

Outsourcing dikenal juga dengan alih daya. Sistem kerja ini berarti sebagian pelaksanaan pekerjaan yang sifatnya noninti atau penunjang oleh suatu perusahaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh.

Soal outsourcing, menurutnya, memang ada yang disebut sebagai sistem efisiensi di luar pekerjaan inti misalnya cleaning service, pengamanan, sebuah perusahaan besar tidak memiliki kemampuan untuk menambah jenis pekerjaan ataupun usaha di bidang keamanan misalnya. “Sistem seperti itu masih bisa ditoleransi tetapi kalau semua pekerjaan menggunakan outsourcing pasti dilarang,’ tegas Muhaimin.

Terkait pernyataan pemerintah bahwa outsourcing merugikan pekerja, pengamat perburuhan Edy Cahyono menilai, kesadaran pemerintah sudah terlambat. Terutama karena aturan tentang outsourcing ini sudah ada sejak 2003 lalu, yakni di UU Nomor 13 Tahun 2003. ‘Kalimat itu sudah terlambat. Mengapa hal itu tidak dinyatakan dari dulu,”ujarnya.

Ia mendorong agar sistem outsourcing harus segera dihapus, karena jelas-jelas telas merugikan buruh di Indonesia dan menguntungkan kaum pemodal. ‘’Karena jika kita bekerja sebagai tenaga kerja outsourcing, maka kita akan kehilangan seluruh benefit untuk dapat bekerja sebagai tenaga kerja tetap,’’ katanya.

Edy menilai, selama ini pemerintah hanya mementingkan pencitraan sejak berjalanya pemerintahan SBY-Boediono itu. Bahkan, keterlambatan penanganan outsourcing ini menurutnya hanya kesengajaan pemerintahan SBY-Boediono. ‘’Keterlambatan bertindak pemerintah ini merupakan sebuah kesengajaan,’’ ujarnya.

Sementara itu, Pakar Hubungan Industrial Soeganda Priyatna, menyatakan, tenaga alih daya atau outsourcing hanya layak diterapkan pada tenaga kerja yang memiliki keahlian atau keterampilan tertentu. Tenaga alih daya itu tidak pantas jika diterapkan pada pekerja biasa apalagi buruh.
Tenaga alih daya, lanjut dia, pada awalnya berkembang di Amerika Serikat karena terdapat kebutuhan terhadap tenaga kerja yang memiliki pengetahuan atau keahlian tertentu namun menuntut bayaran yang tinggi.

“Lalu berkembanglah pekerjaan dengan sistem kontrak. Para pekerja macam ini pun gemar berpindah-pindah perusahaan untuk mencari bayaran yang lebih tinggi,” ujar Prihatna.

Namun, kata dia, kultur pekerja kontrak semacam itu tentu tidak pantas apabila diterapkan kepada buruh.
“Karena pekerja kontrak itu harus memiliki keahlian tertentu untuk mendapatkan bayaran yang layak. Pendidikan mereka pun seimbang dengan keahlian yang mereka miliki,” ujarnya.

Soeganda juga mengkritik model pertumbuhan ekonomi di Indonesia yang belum mendatangkan dampak nyata pada sektor riil. Pertumbuhan ekonomi sebesar 6,7 persen, menurut dia, pada kenyataannya belum menghasilkan pabrik-pabrik baru di Indonesia yang bisa menyerap tenaga kerja karena hanya mendongkrak sektor konsumsi.

Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Jumhur Hidayat, justru berharap komite pengawas ketenagakerjaan yang dibentuk pemerintah akan bekerja maksimal dalam mengawasi outsourcing.

Meski pasal terkait outsourcing dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi, Jumhur mengungkapkan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan teknis masih kurang. “Memang pengawasan masih lemah,” ungkapnya di sela aksi buruh memperingati May Day di Jakarta, Selasa (1/5).

Menurut dia beleid tersebut sudah mengatur kalau outsourcing sudah dibatasi bukan untuk pekerja lain. Syarat lainnya, tutur Jumhur, pekerjaan yang dilakukan bersifat sementara, seperti buruh bangunan, ungkapnya, yang umur proyeknya mungkin cuma satu hingga dua tahun. Kemudian, ungkapnya, perusahaan yang baru melakukan uji coba usaha.

Outsourcing, ujarnya tidak hanya merugikan buruh karena tidak ada kepastian dan jaminannya. Perusahaan pun ikut rugi. Jika ada perusahaan mudah mememcat pekerjanya, maka perusahaan tersebut tidak akan memiliki karyawan yang berkualitas. (val/jpnn)

Implikasi (Mudarat) Outsourcing

Permasalahan outsourcing- pekerja kontrak atau pekerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu- merupakan salah satu persoalan yang serius di Indonesia. Undang-undang Ketenagakerjaan yang ada, masih banyak kelemahannya dalam menangani permasalahan hubungan kerja, seperti pengupahan, outsourcing dan lain-lain.

Oleh: DR Rumainur Usman, Staf Ahli ILO-Indonesia

Outsourcing merupakan bahagian dari perjanjian yang dikonsep kan sebagai hak para pekerja. Hal ini tercermin dalam aturan yang secara langsung mencantumkan outsourcing sebagai hak (positive regulation).

Oleh karena itu outsourcing seharusnya merupakan wadah yang harus diperjuangkan kaum pekerja untuk meningkatkan dan mempertahankan kepentingan sosial ekonominya. Tetapi dalam pelaksanaan di lapangan outsourcing ini selalu merugikan para pekerja.

Pengaturan outsourcing dalam Undang-undang Ketenagakerjaan Indonesia secara langsung menandakan, meskipun secara perundangan kedudukan pekerja sama dengan pengusaha, namun secara sosiologis kedudukan pengusaha lebih kuat jika dibandingkan dengan kedudukan pekerja.
Semakin berlapisnya hubungan hukum antara pekerja dengan pengusaha, maka akan semakin jauh jarak antara tiga pihak yang mempunyai kepentingan dalam hubungan industrial yaitu; pekerja, pengusaha dan pemerintah.

Pekerja di Indonesia harus dikembalikan kepada falsafahnya sebagai makhluk yang mempunyai harkat dan martabat sehingga hak-haknya yang sudah dihilangkan seperti pesangon, tunjangan-tunjangan yang bersifat tetap maupun tidak tetap harus diberikan kembali.

Hubungan industrial yang harmonis di antara pekerja dengan pengusaha di Indonesia saat ini sudah mulai hilang. Bentuk hubungan kerja di Indonesia masih dalam bentuk hubungan subordinasi di antara pihak pengusaha dengan golongan pekerja.

Kedudukan penawaran pekerja yang masih belum seimbang, jumlah tenaga kerja yang tidak sebanding dengan peluang kerja, keterampilan yang tidak sesuai dengan permintaan, serta tenaga kerja muda yang terus meningkat merupakan ciri pasaran tenaga kerja Indonesia, sehingga sistem hubungan secara kontrak sebagaimana berlangsung di negara-negara maju belum boleh diterapkan.

Penerapan keleluasaan dalam pasaran tenaga kerja outsourcing dari sudut hubungan kerja mempunyai implikasi yang negatif. Ia boleh mengurangkan dominasi serikat buruh terhadap kepentingan pekerja tetap, namun mengabaikan golongan penganggur.

Konsep keselamatan lapangan kerja juga menjadi lebih utama jika dibandingkan dengan keselamatan ker ja. Keleluasaan pasaran kerja juga berfungsi dalam memecahkan masalah dualisme pasaran kerja. Ia akan menjamin pasaran kerja secara lebih terbuka. Ini akan memberi peluang kepada para pekerja di sektor pemerintah untuk dialihkan ke sektor swasta.

Namun secara realitasnya di Indonesia, penerapan keleluasaan pasaran tenaga kerja yang tidak dibatasi dan diawasi dengan ketat membuat pekerja semakin menderita karena tidak ada keselamatan kerja. Selain itu, kekuatan kolektif pekerja menjadi semakin lemah karena jumlah anggota serikat buruh yang semakin berkurang disebabkan pekerja kontrak dan pekerja outsourcing takut untuk bergabung dalam serikat buruh. Keleluasaan pasaran tenaga kerja outsourcing juga semakin menghilangkan kedudukan serikat buruh secara sistematik.

Terdapat kecenderungan pihak pengusaha mempersempitkan pengertian yang masuk dalam kelompok core businees perusahaan, dan non core businees menggunakan pekerja outsourcing dengan lebih banyak.

Outsourcing diterjemahkan ke dalam ruang lingkup dasar tenaga kerja di Indonesia sebagai sebahagian dari dasar Labour Market Flexibility atau Pasaran Kerja Fleksibel yang dimaknai kepada kebebasan untuk merekrut dan memecat pekerja dengan menggunakan alasan mengelakkan kerugian dari perusahaan.

Pasal-pasal berkenaan outsourcing di dalam Undang-undang Nomor 13/2003 ternyata bertentangan dengan Undang-undang yang berkaitan dengan hak asasi manusia seperti Undang-undang Nomor: 39/1999 mengenai hak asasi manusia dan berbagai konvensi internasional tentang masalah yang sama.
Sebelum ditetapkan undang-undang tentang hak asasi manusia, hak warganegara untuk mendapatkan pekerjaan dan jaminan atas pekerjaannya sudah dimuatkan di dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dicantumkan dalam pasal 27, dan Pasal 28.

Berdasarkan berbagai konvensi internasional yang telah dijalankan dapat juga ditegaskan bahwa kewujudan outsourcing adalah bertentangan dengan hak asasi manusia seperti Deklarasi Umum PBB atau Universal Declaration of Human Rights (UDHR) yang dicetuskan pada tanggal 10 Desember 1948 di Paris, Prancis.

Semua pasal dari Deklarasi Umum tentang Hak Asasi Manusia (DUHAM) turut membicarakan tentang hak golongan pekerja atas dasar kemanusiaan melalui Pasal 23 DUHAM.

Antara lain menyatakan bahawa setiap orang tanpa diskriminasi berhak atas pekerjaan, upah, keadaan kerja yang baik, kesetaraan tanpa diskriminasi. Hak atas pekerjaan yang di dalamnya terkandung persoalan mengenai upah harus dijadikan sebagai pekerjaan tetap untuk tempo waktu yang lama, bukan pekerjaan waktu yang singkat seperti outsourcing dan kerja kontrak.

Ketegasan dalam pelaksanaan undang-undang pada penerapan outsourcing ke depan diharapkan agar pihak pemerintah dapat membuat revisi terhadap peraturan yang lebih adil berkenaan outsourcing yang termaktub di dalam Undang-undang Nomor: 13/2003 dan memberikan fokus kepada pembatasan dan pengaturan serta perlindungan kepada golongan pekerja.

Selain itu pihak pemerintah juga disarankan agar lebih tegas dalam melaksanakan undang-undang apabila terdapat pelanggaran peraturan yang dilakukan oleh mana-mana pihak. (*)

Dukungan Tiga Menteri

KEMENTERIAN Tenaga Kerja dan Transmigrasi menerbitkan surat edaran untuk menjamin hak-hak para pekerja alih daya (outsourcing).
Jaminan tersebur tertuang dalam Surat Edaran Nomor B.31/PHIJSK/I/2012 tentang Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 27/PUU-IX/2011 tanggal 17 Januari 2012. Penerbitan surat edaran yang ditujukan kepada kepala instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan provinsi di seluruh Indonesia.

Hal tersebut berdasarkan pada pengujian Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dilakukan Mahkamah Konstitusi.

“Keputusan Mahkamah Konstitusi itu ditindak lanjuti dengan surat edaran untuk mengatur dengan lebih tepat lagi mekanisme yang selama ini sudah berjalan, sehingga hak-hak para pekerja outsourcing benar-benar terjamin,’ ungkap Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar, dalam siaran persnya, akhir pekan ini.

Muhaimin menjelaskan, agar mekanisme tersebut dapat berjalan dengan baik, pihak Kemenakertrans akan mengintensifkan pengawasan perusahaan pengerah outsourcing sehingga kelangsungan para pekerja menjadi terjamin.

“Pengawasan ketenagakerjaan yang akan ditingkatkan baik pembinaan maupun dalam konteks pada penegakan hukum. Perusahaan jasa outsourcing harus benar-benar mengikuti peraturan ketenagakerjaan yang berlaku. Perusahaan tidak akan ditutup, tapi harus menjamin kesejahteraan para pekerjanya,’ jelas dia.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan bahwa keputusan MK soal out sourcing sudah final, sehingga tidak harus diskriminatif. ‘Dengan adanya putusan MK, terkait oustsourcing itu melanggar konstitusi. Maka jangan sampai ada dalam mengambil keputusan menimbulkan diskriminatif nantinya,’’ ungkapnya.

Dukungan serupa juga diberikan Menteri BUMN Dahlan Iskan yang mengkritik penerapan sistem kerja outsourcing di perusahaan BUMN. ‘’Outsourcing membuat karyawan BUMN jadi malas, karena pekerjaan mereka banyak diserahkan kepada karyawan kontrak,’’ tukasnya di Jakarta, Selasa (1/5). Menurut Dahlan, tidak etis jika pekerjaan yang seharusnya dikerjakan oleh pegawai BUMN, itu diserahkan kepada pekerja outsourcing. ‘Ini kan keterlaluan,’ tukasnya.

Dahlan melihat, BUMN yang memiliki karyawan dengan jumlah besar, ternyata masih mempekerjakan karyawan kontrak dengan pengalihan tugas-tugas penting kepada karyawan kontrak tersebut. ‘Apalagi, pekerjaan karyawan kontrak juga biasanya lebih berat dibandingkan dengan pegawai BUMN. Akibatnya ada perasaan ketidakadilan,’ tegasnya.

Dahlan juga mengakui keberadaan tenaga outsourcing ini bisa menimbulkan isu ketidakadilan, karena banyak karyawan tetap BUMN dan karyawan kontrak dengan tugas yang sama, namun penghasilan yang berbeda. ‘Sehingga, kalau saya mempekerjakan karyawan kontrak, maka tugas utama tidak boleh diserahkan kepada tenaga outsource,’’ katanya. (sam/jpnn)

Pekerjaan yang Tidak Seharusnya Dialihkan

  • Posisi penting seperti supervisor atau manajer sebaiknya tidak dialihkan kepada vendor outsourcing karena perusahaan membutuhkan komitmen penuh dari mereka untuk mengawasi pekerjaan-pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya.
  • Posisi supervisor keatas biasanya adalah karyawan yang sudah mengabdi lama di perusahaan, sehingga mereka mempunyai pengetahuan mendalam mengenai produk atau jasa yang dihasilkan perusahaan, mesin dan peralatan kerja, karakteristik bahan baku, serta bagaimana melakukan suatu pekerjaan dengan benar.
  • Posisi dengan tingkat pengetahuan seperti ini harus dipertahankan sebagai karyawan tetap perusahaan, karena nilainya yang tinggi dan sulit digantikan.
  • Setiap pekerjaan atau fungsi bisnis yang dianggap strategis dan menjadi bagian dari kompetensi utama perusahaan tidak seharusnya dialihkan, karena bila ternyata dialihkan dan gagal, maka dapat dipastikan perusahaan akan kehilangan kemampuan untuk bersaing di pasar dan mengalami kerugian yang sangat besar.
  • Sebaliknya, pekerjaan atau fungsi bisnis apa pun diluar kompetensi utama perusahaan dapat dijadikan kandidat untuk outsourcing.

Penghapusan outsourcing akhirnya menjadi ‘obat penenang’ bagi kaum pekerja. Sistem ordonantie yang diperkenalkan Kolonialisme Belanda pada masa tanam paksa di Tanah Deli ini bakal segera diakhiri. Pekerja menyambutnya penuh sukacita, tapi banyak pengamat yang bilang kebijakan itu hanya sebatas mencari popularitas.

MENURUT pengamat ekonomi Aviliani, ide menghapus outsourcing dikeluarkan terlalu terburu-buru. Terutama karena tidak semudah itu teorinya,”Pernyataan penghapusan sistem outsourcing ini sebaiknya jangan hanya jadi ajang kepentingan belaka,”ujarnya.

Ia menilai, saat ini ada ribuan, bahkan mungkin jutaan pekerja outsourcing yang berasal dari berbagai macam vendor. “Bila outsourcing langsung dihapus berarti ada sekian banyak pula pekerja-pekerja dan karyawan yang akan diputus kontrak, ini berarti akan memperbanyak jumlah pengangguran yang ada,”katanya.

Aviliani menuturkan, tidak semua perusahaan dapat menerima atau menampung begitu saja para pekerja outsource ini untuk menjadi karyawan tetap di perusahaan yang bersangkutan. “Butuh proses yang cukup memakan waktu untuk bisa menstabilkan status para pekerja outsourcing ini,”ucapnya.

Ia pun menyarankan agar pemerintah sekarang ini memikirkan terlebih dahulu bagaimana agar para pekerja outsourcing ini bisa mendapat perlakuan adil, baik dari segi pendapatan maupun tunjangan yang berlaku, “Realisasi dari kesejahteraan para pekerja akan lebih baik maknanya bila benar-benar dicarikan solusi yang tepat dan akurat.” tambahnya.

Lihat saja pengakuan Ica, salah satu pegawai outsource bank pemerintah. Ia mengaku merasakan manfaat dari adanya perusahaan-perusahaan penyedia jasa pekerja ini. Terutama karena vendor-vendor ini bisa membantu dalam menyalurkan para pencari kerja,”Saya cukup terbantu, karena dengan adanya vendor-vendor ini, saya bisa kerja,” ujarnya.

Meski dalam pasal UU Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003 diperbolehkan penerapan sistem outsourcing, namun Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Muhaimin Iskandar menilai sistem ketenagakerjan seperti itu jelas-jelas menyengsarakan dan merugikan para pekerja. Karena itu, sistem outsourcing akan dihapuskan.

‘’Outsourcing harus ditegaskan bahwa tidak boleh dilaksanakan pada pekerjaan yang bersifat pekerjaan pokok. Memang, dalam satu pasal UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan memang dibolehkannya outsourcing, namun harus ditegaskan bahwa undang-undang itu yang dimaksud adalah bukan pada pekerjaan pokok dan inti tapi pekerjaan tambahan,’’ kata Muhaimin (1/5).

Outsourcing dikenal juga dengan alih daya. Sistem kerja ini berarti sebagian pelaksanaan pekerjaan yang sifatnya noninti atau penunjang oleh suatu perusahaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh.

Soal outsourcing, menurutnya, memang ada yang disebut sebagai sistem efisiensi di luar pekerjaan inti misalnya cleaning service, pengamanan, sebuah perusahaan besar tidak memiliki kemampuan untuk menambah jenis pekerjaan ataupun usaha di bidang keamanan misalnya. “Sistem seperti itu masih bisa ditoleransi tetapi kalau semua pekerjaan menggunakan outsourcing pasti dilarang,’ tegas Muhaimin.

Terkait pernyataan pemerintah bahwa outsourcing merugikan pekerja, pengamat perburuhan Edy Cahyono menilai, kesadaran pemerintah sudah terlambat. Terutama karena aturan tentang outsourcing ini sudah ada sejak 2003 lalu, yakni di UU Nomor 13 Tahun 2003. ‘Kalimat itu sudah terlambat. Mengapa hal itu tidak dinyatakan dari dulu,”ujarnya.

Ia mendorong agar sistem outsourcing harus segera dihapus, karena jelas-jelas telas merugikan buruh di Indonesia dan menguntungkan kaum pemodal. ‘’Karena jika kita bekerja sebagai tenaga kerja outsourcing, maka kita akan kehilangan seluruh benefit untuk dapat bekerja sebagai tenaga kerja tetap,’’ katanya.

Edy menilai, selama ini pemerintah hanya mementingkan pencitraan sejak berjalanya pemerintahan SBY-Boediono itu. Bahkan, keterlambatan penanganan outsourcing ini menurutnya hanya kesengajaan pemerintahan SBY-Boediono. ‘’Keterlambatan bertindak pemerintah ini merupakan sebuah kesengajaan,’’ ujarnya.

Sementara itu, Pakar Hubungan Industrial Soeganda Priyatna, menyatakan, tenaga alih daya atau outsourcing hanya layak diterapkan pada tenaga kerja yang memiliki keahlian atau keterampilan tertentu. Tenaga alih daya itu tidak pantas jika diterapkan pada pekerja biasa apalagi buruh.
Tenaga alih daya, lanjut dia, pada awalnya berkembang di Amerika Serikat karena terdapat kebutuhan terhadap tenaga kerja yang memiliki pengetahuan atau keahlian tertentu namun menuntut bayaran yang tinggi.

“Lalu berkembanglah pekerjaan dengan sistem kontrak. Para pekerja macam ini pun gemar berpindah-pindah perusahaan untuk mencari bayaran yang lebih tinggi,” ujar Prihatna.

Namun, kata dia, kultur pekerja kontrak semacam itu tentu tidak pantas apabila diterapkan kepada buruh.
“Karena pekerja kontrak itu harus memiliki keahlian tertentu untuk mendapatkan bayaran yang layak. Pendidikan mereka pun seimbang dengan keahlian yang mereka miliki,” ujarnya.

Soeganda juga mengkritik model pertumbuhan ekonomi di Indonesia yang belum mendatangkan dampak nyata pada sektor riil. Pertumbuhan ekonomi sebesar 6,7 persen, menurut dia, pada kenyataannya belum menghasilkan pabrik-pabrik baru di Indonesia yang bisa menyerap tenaga kerja karena hanya mendongkrak sektor konsumsi.

Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Jumhur Hidayat, justru berharap komite pengawas ketenagakerjaan yang dibentuk pemerintah akan bekerja maksimal dalam mengawasi outsourcing.

Meski pasal terkait outsourcing dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi, Jumhur mengungkapkan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan teknis masih kurang. “Memang pengawasan masih lemah,” ungkapnya di sela aksi buruh memperingati May Day di Jakarta, Selasa (1/5).

Menurut dia beleid tersebut sudah mengatur kalau outsourcing sudah dibatasi bukan untuk pekerja lain. Syarat lainnya, tutur Jumhur, pekerjaan yang dilakukan bersifat sementara, seperti buruh bangunan, ungkapnya, yang umur proyeknya mungkin cuma satu hingga dua tahun. Kemudian, ungkapnya, perusahaan yang baru melakukan uji coba usaha.

Outsourcing, ujarnya tidak hanya merugikan buruh karena tidak ada kepastian dan jaminannya. Perusahaan pun ikut rugi. Jika ada perusahaan mudah mememcat pekerjanya, maka perusahaan tersebut tidak akan memiliki karyawan yang berkualitas. (val/jpnn)

Implikasi (Mudarat) Outsourcing

Permasalahan outsourcing- pekerja kontrak atau pekerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu- merupakan salah satu persoalan yang serius di Indonesia. Undang-undang Ketenagakerjaan yang ada, masih banyak kelemahannya dalam menangani permasalahan hubungan kerja, seperti pengupahan, outsourcing dan lain-lain.

Oleh: DR Rumainur Usman, Staf Ahli ILO-Indonesia

Outsourcing merupakan bahagian dari perjanjian yang dikonsep kan sebagai hak para pekerja. Hal ini tercermin dalam aturan yang secara langsung mencantumkan outsourcing sebagai hak (positive regulation).

Oleh karena itu outsourcing seharusnya merupakan wadah yang harus diperjuangkan kaum pekerja untuk meningkatkan dan mempertahankan kepentingan sosial ekonominya. Tetapi dalam pelaksanaan di lapangan outsourcing ini selalu merugikan para pekerja.

Pengaturan outsourcing dalam Undang-undang Ketenagakerjaan Indonesia secara langsung menandakan, meskipun secara perundangan kedudukan pekerja sama dengan pengusaha, namun secara sosiologis kedudukan pengusaha lebih kuat jika dibandingkan dengan kedudukan pekerja.
Semakin berlapisnya hubungan hukum antara pekerja dengan pengusaha, maka akan semakin jauh jarak antara tiga pihak yang mempunyai kepentingan dalam hubungan industrial yaitu; pekerja, pengusaha dan pemerintah.

Pekerja di Indonesia harus dikembalikan kepada falsafahnya sebagai makhluk yang mempunyai harkat dan martabat sehingga hak-haknya yang sudah dihilangkan seperti pesangon, tunjangan-tunjangan yang bersifat tetap maupun tidak tetap harus diberikan kembali.

Hubungan industrial yang harmonis di antara pekerja dengan pengusaha di Indonesia saat ini sudah mulai hilang. Bentuk hubungan kerja di Indonesia masih dalam bentuk hubungan subordinasi di antara pihak pengusaha dengan golongan pekerja.

Kedudukan penawaran pekerja yang masih belum seimbang, jumlah tenaga kerja yang tidak sebanding dengan peluang kerja, keterampilan yang tidak sesuai dengan permintaan, serta tenaga kerja muda yang terus meningkat merupakan ciri pasaran tenaga kerja Indonesia, sehingga sistem hubungan secara kontrak sebagaimana berlangsung di negara-negara maju belum boleh diterapkan.

Penerapan keleluasaan dalam pasaran tenaga kerja outsourcing dari sudut hubungan kerja mempunyai implikasi yang negatif. Ia boleh mengurangkan dominasi serikat buruh terhadap kepentingan pekerja tetap, namun mengabaikan golongan penganggur.

Konsep keselamatan lapangan kerja juga menjadi lebih utama jika dibandingkan dengan keselamatan ker ja. Keleluasaan pasaran kerja juga berfungsi dalam memecahkan masalah dualisme pasaran kerja. Ia akan menjamin pasaran kerja secara lebih terbuka. Ini akan memberi peluang kepada para pekerja di sektor pemerintah untuk dialihkan ke sektor swasta.

Namun secara realitasnya di Indonesia, penerapan keleluasaan pasaran tenaga kerja yang tidak dibatasi dan diawasi dengan ketat membuat pekerja semakin menderita karena tidak ada keselamatan kerja. Selain itu, kekuatan kolektif pekerja menjadi semakin lemah karena jumlah anggota serikat buruh yang semakin berkurang disebabkan pekerja kontrak dan pekerja outsourcing takut untuk bergabung dalam serikat buruh. Keleluasaan pasaran tenaga kerja outsourcing juga semakin menghilangkan kedudukan serikat buruh secara sistematik.

Terdapat kecenderungan pihak pengusaha mempersempitkan pengertian yang masuk dalam kelompok core businees perusahaan, dan non core businees menggunakan pekerja outsourcing dengan lebih banyak.

Outsourcing diterjemahkan ke dalam ruang lingkup dasar tenaga kerja di Indonesia sebagai sebahagian dari dasar Labour Market Flexibility atau Pasaran Kerja Fleksibel yang dimaknai kepada kebebasan untuk merekrut dan memecat pekerja dengan menggunakan alasan mengelakkan kerugian dari perusahaan.

Pasal-pasal berkenaan outsourcing di dalam Undang-undang Nomor 13/2003 ternyata bertentangan dengan Undang-undang yang berkaitan dengan hak asasi manusia seperti Undang-undang Nomor: 39/1999 mengenai hak asasi manusia dan berbagai konvensi internasional tentang masalah yang sama.
Sebelum ditetapkan undang-undang tentang hak asasi manusia, hak warganegara untuk mendapatkan pekerjaan dan jaminan atas pekerjaannya sudah dimuatkan di dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dicantumkan dalam pasal 27, dan Pasal 28.

Berdasarkan berbagai konvensi internasional yang telah dijalankan dapat juga ditegaskan bahwa kewujudan outsourcing adalah bertentangan dengan hak asasi manusia seperti Deklarasi Umum PBB atau Universal Declaration of Human Rights (UDHR) yang dicetuskan pada tanggal 10 Desember 1948 di Paris, Prancis.

Semua pasal dari Deklarasi Umum tentang Hak Asasi Manusia (DUHAM) turut membicarakan tentang hak golongan pekerja atas dasar kemanusiaan melalui Pasal 23 DUHAM.

Antara lain menyatakan bahawa setiap orang tanpa diskriminasi berhak atas pekerjaan, upah, keadaan kerja yang baik, kesetaraan tanpa diskriminasi. Hak atas pekerjaan yang di dalamnya terkandung persoalan mengenai upah harus dijadikan sebagai pekerjaan tetap untuk tempo waktu yang lama, bukan pekerjaan waktu yang singkat seperti outsourcing dan kerja kontrak.

Ketegasan dalam pelaksanaan undang-undang pada penerapan outsourcing ke depan diharapkan agar pihak pemerintah dapat membuat revisi terhadap peraturan yang lebih adil berkenaan outsourcing yang termaktub di dalam Undang-undang Nomor: 13/2003 dan memberikan fokus kepada pembatasan dan pengaturan serta perlindungan kepada golongan pekerja.

Selain itu pihak pemerintah juga disarankan agar lebih tegas dalam melaksanakan undang-undang apabila terdapat pelanggaran peraturan yang dilakukan oleh mana-mana pihak. (*)

Dukungan Tiga Menteri

KEMENTERIAN Tenaga Kerja dan Transmigrasi menerbitkan surat edaran untuk menjamin hak-hak para pekerja alih daya (outsourcing).
Jaminan tersebur tertuang dalam Surat Edaran Nomor B.31/PHIJSK/I/2012 tentang Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 27/PUU-IX/2011 tanggal 17 Januari 2012. Penerbitan surat edaran yang ditujukan kepada kepala instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan provinsi di seluruh Indonesia.

Hal tersebut berdasarkan pada pengujian Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dilakukan Mahkamah Konstitusi.

“Keputusan Mahkamah Konstitusi itu ditindak lanjuti dengan surat edaran untuk mengatur dengan lebih tepat lagi mekanisme yang selama ini sudah berjalan, sehingga hak-hak para pekerja outsourcing benar-benar terjamin,’ ungkap Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar, dalam siaran persnya, akhir pekan ini.

Muhaimin menjelaskan, agar mekanisme tersebut dapat berjalan dengan baik, pihak Kemenakertrans akan mengintensifkan pengawasan perusahaan pengerah outsourcing sehingga kelangsungan para pekerja menjadi terjamin.

“Pengawasan ketenagakerjaan yang akan ditingkatkan baik pembinaan maupun dalam konteks pada penegakan hukum. Perusahaan jasa outsourcing harus benar-benar mengikuti peraturan ketenagakerjaan yang berlaku. Perusahaan tidak akan ditutup, tapi harus menjamin kesejahteraan para pekerjanya,’ jelas dia.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan bahwa keputusan MK soal out sourcing sudah final, sehingga tidak harus diskriminatif. ‘Dengan adanya putusan MK, terkait oustsourcing itu melanggar konstitusi. Maka jangan sampai ada dalam mengambil keputusan menimbulkan diskriminatif nantinya,’’ ungkapnya.

Dukungan serupa juga diberikan Menteri BUMN Dahlan Iskan yang mengkritik penerapan sistem kerja outsourcing di perusahaan BUMN. ‘’Outsourcing membuat karyawan BUMN jadi malas, karena pekerjaan mereka banyak diserahkan kepada karyawan kontrak,’’ tukasnya di Jakarta, Selasa (1/5). Menurut Dahlan, tidak etis jika pekerjaan yang seharusnya dikerjakan oleh pegawai BUMN, itu diserahkan kepada pekerja outsourcing. ‘Ini kan keterlaluan,’ tukasnya.

Dahlan melihat, BUMN yang memiliki karyawan dengan jumlah besar, ternyata masih mempekerjakan karyawan kontrak dengan pengalihan tugas-tugas penting kepada karyawan kontrak tersebut. ‘Apalagi, pekerjaan karyawan kontrak juga biasanya lebih berat dibandingkan dengan pegawai BUMN. Akibatnya ada perasaan ketidakadilan,’ tegasnya.

Dahlan juga mengakui keberadaan tenaga outsourcing ini bisa menimbulkan isu ketidakadilan, karena banyak karyawan tetap BUMN dan karyawan kontrak dengan tugas yang sama, namun penghasilan yang berbeda. ‘Sehingga, kalau saya mempekerjakan karyawan kontrak, maka tugas utama tidak boleh diserahkan kepada tenaga outsource,’’ katanya. (sam/jpnn)

Pekerjaan yang Tidak Seharusnya Dialihkan

  • Posisi penting seperti supervisor atau manajer sebaiknya tidak dialihkan kepada vendor outsourcing karena perusahaan membutuhkan komitmen penuh dari mereka untuk mengawasi pekerjaan-pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya.
  • Posisi supervisor keatas biasanya adalah karyawan yang sudah mengabdi lama di perusahaan, sehingga mereka mempunyai pengetahuan mendalam mengenai produk atau jasa yang dihasilkan perusahaan, mesin dan peralatan kerja, karakteristik bahan baku, serta bagaimana melakukan suatu pekerjaan dengan benar.
  • Posisi dengan tingkat pengetahuan seperti ini harus dipertahankan sebagai karyawan tetap perusahaan, karena nilainya yang tinggi dan sulit digantikan.
  • Setiap pekerjaan atau fungsi bisnis yang dianggap strategis dan menjadi bagian dari kompetensi utama perusahaan tidak seharusnya dialihkan, karena bila ternyata dialihkan dan gagal, maka dapat dipastikan perusahaan akan kehilangan kemampuan untuk bersaing di pasar dan mengalami kerugian yang sangat besar.
  • Sebaliknya, pekerjaan atau fungsi bisnis apa pun diluar kompetensi utama perusahaan dapat dijadikan kandidat untuk outsourcing.

Artikel Terkait

Rekening Gendut Akil dari Sumut?

Pedagang Emas Kian Ketar-ketir

Selalu Menghargai Sesama

Dahlan Iskan & Langkanya Daging Sapi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/