27 C
Medan
Friday, September 27, 2024

BP Migas Andil IMF

Dasar hukum UU Migas yang dibentuk pada tahun 2001 sebagai dasar lahirnya BP Migas merupakan rekomendasi IMF. Jadi tak heran bila mengabaikan kepentingan nasional.

Direktur Institute for Developments of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati mengatakan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi tersebut diputuskan ketika Indonesia masih berada dalam masa transisi kebijakan. Saat itu Gus Dur baru lengser dan Megawati naik puncak kepemimpinan.

“Anehnya di masa itu Bulog yang seharusnya dipertahankan (sesuai fungsi awal) lalu dibentuklah BP Migas, ini karena masih adanya rekomendasi IMF dalam UU Migas,” katanya. Oleh karenanya selain dibubarkannya institusi BP Migas, ia mengharapkan pemerintah bersama DPR saat ini segera mengamandemen UU Migas tersebut.

Enny menyatakan secara fundamental institusi BP Migas sudah lemah dalam pengawasan. Apalagi dengan kontrak-kontrak migas miliaran rupiah tanpa ada sharing profit yang jelas dan menguntungkan bagi negara. Padahal, pengawasan terhadap adanya perjanjian pengambilan harta kekayaan alam negara diatur UUD 1945.

“Memang secara legal hukum (UU Migas) transaksional migas kita sah, namun secara legal ekonomi negara kita banyak dirugikan. Dari tidak ada transparansinya saja kita sudah dirugikan karena dia tidak mewakili negara, apalagi kalau sharing profitnya rendah dengan pihak asing,” ungkapnya. Ia juga menuturkan bagaimana mungkin penerimaan negara yang didapat dari migas hanya diketahui oleh Kemenrerian ESDM saja tanpa diketahui Kementerian Keuangan. “Mestinya Kementerian Keuangan patut mengetahui apa pun mengenai permasalahan penerimaan negara termasuk migas, jelas dikte-nya IMF, ya di situ itu supaya ada satu kendali,” ujar Enny. Selain itu ia memaparkan adanya anomali sharing profit yang merugikan negara dari penerimaan pajak migas, karena lebih kecil dari pajak rokok. “Seharusnya penerimaan pajak migas bisa lebih besar, karena transaksinya besar-besaran, kalau tidak profitnya tidak masuk banyak ke negara,” ujarnya.

Namun Enny meyakini dengan dikabulkannya gugatan tersebut karena inskontitusional institusi BP Migas oleh Mahkamah Konstitusi pada Selasa (13/11) lalu, negara masih memiliki potensi daya tawar tinggi dalam sejumlah kontrak minyak dan gas bumi. Atau paling tidak rakyat bisa mengetahui seberapa keuntungan yang diterima negara. “Kalau sudah diambil alih pemerintah, kita akan lihat transparansinya seperti apa,” ucapnya. (net/jpnn)

Dasar hukum UU Migas yang dibentuk pada tahun 2001 sebagai dasar lahirnya BP Migas merupakan rekomendasi IMF. Jadi tak heran bila mengabaikan kepentingan nasional.

Direktur Institute for Developments of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati mengatakan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi tersebut diputuskan ketika Indonesia masih berada dalam masa transisi kebijakan. Saat itu Gus Dur baru lengser dan Megawati naik puncak kepemimpinan.

“Anehnya di masa itu Bulog yang seharusnya dipertahankan (sesuai fungsi awal) lalu dibentuklah BP Migas, ini karena masih adanya rekomendasi IMF dalam UU Migas,” katanya. Oleh karenanya selain dibubarkannya institusi BP Migas, ia mengharapkan pemerintah bersama DPR saat ini segera mengamandemen UU Migas tersebut.

Enny menyatakan secara fundamental institusi BP Migas sudah lemah dalam pengawasan. Apalagi dengan kontrak-kontrak migas miliaran rupiah tanpa ada sharing profit yang jelas dan menguntungkan bagi negara. Padahal, pengawasan terhadap adanya perjanjian pengambilan harta kekayaan alam negara diatur UUD 1945.

“Memang secara legal hukum (UU Migas) transaksional migas kita sah, namun secara legal ekonomi negara kita banyak dirugikan. Dari tidak ada transparansinya saja kita sudah dirugikan karena dia tidak mewakili negara, apalagi kalau sharing profitnya rendah dengan pihak asing,” ungkapnya. Ia juga menuturkan bagaimana mungkin penerimaan negara yang didapat dari migas hanya diketahui oleh Kemenrerian ESDM saja tanpa diketahui Kementerian Keuangan. “Mestinya Kementerian Keuangan patut mengetahui apa pun mengenai permasalahan penerimaan negara termasuk migas, jelas dikte-nya IMF, ya di situ itu supaya ada satu kendali,” ujar Enny. Selain itu ia memaparkan adanya anomali sharing profit yang merugikan negara dari penerimaan pajak migas, karena lebih kecil dari pajak rokok. “Seharusnya penerimaan pajak migas bisa lebih besar, karena transaksinya besar-besaran, kalau tidak profitnya tidak masuk banyak ke negara,” ujarnya.

Namun Enny meyakini dengan dikabulkannya gugatan tersebut karena inskontitusional institusi BP Migas oleh Mahkamah Konstitusi pada Selasa (13/11) lalu, negara masih memiliki potensi daya tawar tinggi dalam sejumlah kontrak minyak dan gas bumi. Atau paling tidak rakyat bisa mengetahui seberapa keuntungan yang diterima negara. “Kalau sudah diambil alih pemerintah, kita akan lihat transparansinya seperti apa,” ucapnya. (net/jpnn)

Artikel Terkait

Rekening Gendut Akil dari Sumut?

Pedagang Emas Kian Ketar-ketir

Selalu Menghargai Sesama

Dahlan Iskan & Langkanya Daging Sapi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/