Teh Sidamanik yang dikenang sebagai “teh sumatera” sempat bakal tinggal sejarah. Pulau Jawa boleh bangga punya teh beraroma “wah”, tapi siapapun penikmat teh sulit lupa teh asal Sidamanik yang mendunia. Untungnya rencana konversi teh ke sawit cepat digagalkan. Menteri BUMN Dahlan Iskan kukuh mengerem niat mengonversi kebun teh yang dibuka sejak tahun 1900-an tersebut. Jika itu terjadi mungkin pencinta teh di dunia tak lagi bisa menyeduh teh yang kondang dengan rasa kelat di lidah ini.
ADA cerita menarik saat seorang pencinta teh yang “curiga” dengan kemasan merek “SIDAMANIK” yang dikemas oleh sebuah perusahaan bernama CV Bintang Timur Laut. Apakah teh merek itu hasil produk pabrik teh Sidamanik milik PTPN IV? Bagi penikmat teh sejati, merek teh kemasan itu bagai melempar ingatan atas sesuatu. Siapa pencinta teh yang tak tahu kebun teh di Sidamanik? Spontan ditanya, spontan jawabannya merujuk nama wilayah perkebunan teh di Simalungun.
Belakangan hari baru diketahui teh kemasan itu bukan produksi PTPN IV. Pengusaha yang melabelkan “Teh Sidamanik” sebagai cap produksinya itu membeli bahan baku teh hasil kebun Sidamanik milik PTPN IV melalui Kantor Pemasaran Bersama. Lewat kantor yang mengurusi dan menampung hasil produksi perkebunan negara untuk dilemparkan ke pasar domestik dan internasional itulah, si pengusaha membeli bahan baku teh kemasannya.
Jangan kaget bila merek “Teh Sidamanik” adalah magnet bagi para penikmat teh sejati. Wajar saja bejubel dari mereka yang langsung menanyakan kesahihannya. Tak ada yang salah bila sebatas “bertanya-tanya” karena para penikmat teh itu sebetulnya juga mencecap rasa khas teh Sidamanik dari merek kemasan tersebut. “Rasa kelat teh itu tak didapatkan dari teh asal manapun,” ujar seorang penikmat teh. Toh faktanya produsen teh kemasan itu juga tak asal mencomot merek, karena bahan utama dari teh yang mereka jual berasal dari jenis BOPF, RBO, dan Vessel yang tak lain produksi pabrik teh Tobasari dan Sidamanik.
Cerita teh asal Sidamanik barangkali tak pernah akan habis digali. Tapi cerita itu hampir saja menemui akhirnya bila rencana konversi teh ke kebun sawit tidak lekas digagalkan. Bagai rasanya yang langka, kisah perkebunan teh ini juga sudah melegenda bagi masyarakat Simalungun. Sebab tak semua perkebunan di Sumatera yang ditanami teh pada masa Kolonialisme Belanda. Teh adalah tanaman produksi yang mensyaratkan ketinggian dan kelembaban (humidity) tertentu agar terjaga sebagai tanaman yang sehat dan berproduksi bagus. Bila salah satunya tak bisa dipenuhi alamat mutunya akan anjlok.
Alih-alih bisa dijual mahal, daun teh malah bisa menumpuk di gudang. Keterpurukan inilah yang dialami PTPN IV sehingga terpicu rencana mengonversi kebuh teh menjadi komoditas sawit yang punya harga jual yang menggiurkan. Pengelola kebun teh di PTPN IV sadar betul karakteristik teh amat ditentukan oleh tanah dan iklim tempat tanaman tersebut tumbuh. Idealnya teh ditanam di atas ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut (dpl). Teh di dataran tinggi Simalungun ditanam di ketinggian 800 meter dpl hingga 900 meter dpl. Daun teh yang ditanam di atas ketinggian 1.200 meter dpl sudah diteliti punya kualitas di atas rata-rata. Syarat itu pula yang dipunyai kebun teh di Pulau Jawa yang relatif menghasilkan teh berkualitas tinggi karena rata-rata ditanam di ketinggian lebih dari 1.200 meter dpl. Kendati tanah dan iklim yang berbeda juga diyakini bikin karakter teh di setiap perkebunan akan berbeda.
Apa yang bikin manajemen PTPN IV berpikir mengonversi kebun teh yang legendaris ini? Data menyebut PTPN IV kini tinggal mengelola tiga kebun teh di dataran tinggi Simalungun, yakni Kebun Bah Butong, Sidamanik, dan Toba Sari. Letak ketiga kebun ini berdekatan. Umumnya masyarakat Sumut mengenal produk teh dari tiga kebun itu sebagai teh Sidamanik. Asal sebutan itu tak lain karena secara geografis letaknya berada di Sidamanik, kecamatan di Kabupaten Simalungun. Akan tetapi sejak kecamatan itu dimekarkan, Kebun Toba Sari secara administratif berada di wilayah Kecamatan Pematang Sidamanik.
Sejarah mencatat Kebun Bah Butong adalah kebun paling tua yang dibuka oleh Nederland Handel Maatschappij pada 1917. Hanya saja pabrik tehnya bukanlah yang tertua. Pabrik tertua ada di Kebun Sidamanik yang dioperasikan pada 1926 atau lima tahun lebih dulu ketimbang pabrik di Kebun Bah Butong. Adapun Kebun Sidamanik justru baru dibuka oleh Handles Vereniging Amsterdam pada 1924. Dari seluruh kebun teh itu, teh Bah Butong boleh jadi paling terkenal di antara seluruh produksi teh dari kebun yang ada. Salah satu jenis teh produksi kebun itu yang dibanggakan adalah ‘Dust I Bah Butong’. Teh ini punya konsumen fanatik di Malaysia. “Saking fanatiknya, konsumen di sana nggak mau minum teh kalau bukan teh Bah Butong,” ujar seorang staf PTPN IV.
Kini kebun teh yang dibanggakan itu tinggal tiga areal saja. Dirasa cocok, dulunya pemerintah Kolonial Belanda membuka enam kebun teh di kawasan tersebut. Tiga kebun teh lainnya yakni Kebun Sibosar, Bah Birung Ulu, dan Marjandi, sudah beralihfungsi menjadi kebun sawit.
Menurut MA Pulungan, Manager Group Unit Usaha (GUU) V PTPN IV, yang menjadi bos dari para manajer kebun di Sidamanik, opsi mengalihkan kebun teh menjadi sawit itu lantaran perkebunan teh terus merugi. “Biaya produksi tak sebanding keuntungannya,” ungkap Pulungan. Biaya tinggi ditambah merosotnya harga teh dunia membuat pengelola PTPN IV memutar akal. Kebijakan mengganti teh menjadi sawit menjadi pilihan akhir. Alhasil luas kebun teh terus berkurang dari tahun ke tahun.
Jika pada 2000 masih ada 8.475 hektar yang menghasilkan 16.519 ton, lima tahun berselang tinggal 5.397 hektar dengan produksi sekitar 13.286 ton. Tak berhenti di situ, pada 2009 kebun teh yang ada tinggal 4.595 hektar dengan jumlah produksi 9.604 hektar. Pulungan menyimpulkan penurunan harga teh tahun 1990-an dipicu banyak hal. Faktor paling berpengaruh adalah membanjirnya teh bermutu rendah asal Vietnam. “Vietnam saat itu baru tumbuh sebagai negara produsen teh dunia,” tukasnya.
Kondisi inilah yang memicu kenapa produksi kebun teh kebanggaan Sumut ini dari tahun ke tahun semakin turun akibat konversi lahan. Begitupun tak yang banyak tahu bila teh yang mulai langka itu tetap diincar pembeli asal Eropa. Ini bukan retorika semata. Coba simak alasannya: teh kebun Sidamanik punya rasa yang kuat dan khas yang cocok menjadi komponen utama produk teh yang dijual prinsipal di Eropa. (Baca: “Dari Sidamanik ke Eropa”)
Banyak pula penggemar teh yang mengaku rasa teh asal perkebunan Sidamanik tak tertandingi teh dari kebun manapun. Rasa teh yang sepat di lidah alias kelat, serta menyisakan rasa yang begitu kuat, yang tak dimiliki teh dari perkebunan teh di Jawa sekalipun. (valdesz/candra/jpnn)
Dari Sidamanik ke Eropa
Siapa yang menyangka bila teh asal kebun Sidamanik sudah langganan produsen teh kemasan Eropa. Boleh jadi tak banyak yang tahu teh yang ditanam di kebun Bah Butong pernah menjadi komponen dari merek teh keluaran prinsipal Jerman, Hyllson and Lyon. Teh ini mulai mendapat tempat di hati penikmat teh asal Eropa pada 1986. Keunikan rasa teh Bah Butong membuat produsen teh kemasan itu mengikat kontrak panjang sebagai pelanggan teh Bah Butong. Sayang, entah apa sebabnya, kontrak itu diakhiri Hyllson and Lyon empat tahun kemudian.
Dari berbagai sumber dalam literatur sebelumnya, kemungkinan pemutusan kontrak itu lantaran mutu teh yang diproduksi kebun Bah Butong mulai tak terjaga mutunya. Ada sejumlah hal yang menjadi penilaian utama, yakni kualitas aroma, kekuatan rasa, dan warna teh. Uji kualitas yang ketat atau biasa diistilahkan quality control biasa diterapkan oleh para produsen asal luar negeri. Apalagi teh yang akan masuk ke Inggris. Negara yang amat dikenal sebagai negeri para peminum teh ini punya tradisi kuat minum teh. Saking mengakarnya tradisi itu, Inggris pula yang memopulerkan istilah “afternoon tea” sebagai penggalan waktu untuk minum teh sore hari. Inggris adalah kiblat teh dunia. Pengimpor terbesar bulk teh (teh yang belum dikemas) sekaligus eksportir terbesar teh kemasan. Inggris menjadi tempat di mana teh menempati kedudukan tertinggi sebagai jenis minuman.
Dari wawancara dengan media nasional beberapa tahun silam, Manajer Kebun Sidamanik Bambang Wisnu Wardoyo mengungkapkan, teh asal Sumut punya rasa kuat dan khas, yakni kelat tetapi tak terlalu pahit. Teh kualitas nomor satu dari tiga kebun yang ada jika diseduh dengan air hasil destilasi biasanya berwarna merah dunhill. “Ini yang tak ada di teh asal Pulau Jawa yang aromanya biasanya lebih unggul. Teh dari Sumut kuat di rasa,” ujarnya. Menurut Bambang, dengan cita rasa khas yang hanya dimiliki teh asal Sumut, sangat mungkin produk teh kualitas kelas satu dari ketiga kebun yang ada menjadi komponen merek dagang teh kemasan dari prinsipal di Eropa.
Kualitas teh secara umum terbagi dua, outer quality (warna, bentuk, dan berat) dan inner quality (aroma, kekuatan rasa, kesegaran, dan warna seduhan). Kualitas teh yang baik dihasilkan dari lapangan (kebun) yang baik. Dari pabrik, pengolahan teh terbagi menjadi dua metode, secara ortodoks dan curly teary crushing (CTC). Metode ortodoks menghasilkan teh jenis leafy (biasanya berupa kumpulan daun teh muda yang akan menjadi teh kualitas tinggi, khas aromanya), broken (berupa pucuk kedua dan ketiga daun teh, menghasilkan keseimbangan aroma, kekuatan rasa, dan kesegaran), serta smallgrade (berupa potongan terkecil pucuk daun teh, menghasilkan komponen warna teh seduhan). Sedangkan metode CTC biasa digunakan untuk bahan kemasan teh celup.
Indonesia menjadi salah satu produsen teh dunia yang khas (selain India) karena punya dua karakter teh berbeda. “Sama seperti teh India yang punya karakter teh India Selatan dan Utara. Menurut pembeli dari Eropa, teh Indonesia juga punya dua karakter berbeda, teh Jawa dan teh Sumatera,” ujar Bambang yang pernah sekolah “tester” teh di Inggris.
Sidamanik Dulu
Sidamanik adalah sebuah wilayah yang memiliki potensi hebat. Tanahnya subur, udara sejuk, air melimpah, dikelilingi oleh pegunungan yang di sebelah utara dikenal dengan pegunungan Dolok Simbolon. Di sebelah selatan dikenal dengan pegunungan Dolok Simanuk-manuk, dan di sebelah barat terletak pegunungan Simarjarunjung. Sidamanik dikelilingi oleh perkebunan raksasa milik PTPN IV, perkebunan milik negara yang hasil komoditinya banyak diekspor ke luar negeri. Ada teh, kakao, dan kelapa sawit. Paling dikenal adalah teh.
Bahkan pada masa Kolonialisme Belanda kawasan Sidamanik adalah areal perkebunan teh terbesar di Sumatera. Di kecamatan ini berdiri 4 pabrik teh yang mempekerjakan ribuan karyawan di Pabrik Teh Sidamanik, Bah Butong, Toba Sari, dan Bah Birong Ulu. Sayangnya setelah reformasi dan privatisasi BUMN, kebun teh ini dimerger dengan kebun Bah Jambi yang memproduksi kelapa sawit. Ribuan karyawannya terkena rasionalisasi alias pemutusan hubungan kerja, pensiun dini, dan ada juga yang dipindahkan ke kebun lain di daerah Kerinci.
Dulunya empat kebun teh banyak menyerap tenaga kerja pemetik teh. Tapi sekarang pekerjaan itu sudah digantikan mesin. Tak cuma itu pekerjaan menyemprot pupuk dan pembasmi hama juga menggunakan mesin. Semua sudah serba mesin. Jadi tak heran Pasar Sidamanik (atau orang setempat menyebutnya “pekan”) kini tak seramai dulu. Di Simalungun, Pasar Sidamanik yang satu-satunya punya tradisi “pekan” dua kali seminggu yakni Jumat dan Minggu. Para pedagang memanfaatkan kebiasan perkebunan teh yang menerapkan sistem dua kali gajian dalam seminggu. Gajian tiap dua minggu adalah “gajian kecil”. Gajian kecil dan gajian besar itu pula yang membuat banyak karyawan kebun berbelanja di Pasar Sidamanik. Apalagi saat gajian besar tiba. Pasar Sidamanik tumpah ruah oleh karyawan kebun yang didominasi oleh etnis jawa.
Sidamanik memiliki satu akses jalan raya yang membentang membelah dua kecamatan. Jalan raya adalah batas kecamatan dengan daerah Panei Tongah. Tak heran bila masyarakat di Pangkalan Buntu sebelah timur Sidamanik saling berhadapan rumah tetapi berbeda kecamatan. Jalan raya Sidamanik yang menuju barat akan melalui desa-desa kecil mulai dari Baharen, Sinaman, Kebun Tobasari, Sait Buttu, Manik Saribu hingga tiba di persimpangan jalan alternatif Parapat dan Kabanjahe (Tanah Karo). Jarak tempuh antara Sidamanik dan kota Parapat sekitar 40 kilometer. Bila jalan tetap terpelihara Anda bisa tiba tak lebih dari sejam di Danau Toba. (val/*)
Kebun Teh Simalungun Dipertahankan
BALIGE- Rencana PTPN IV untuk mengkonversi tanaman teh menjadi kelapa sawit di Kabupaten Simalungun kandas sudah. Soalnya Menteri BUMN Dahlan Iskan secara tegas menyatakan konversi tidak dilakukan melainkan akan mereflanting (penanaman ulang) teh kembali.
“Dari tiga unit kebun yang ditanami teh saat ini, ada 450 hektar di kebun teh Sidamanik sudah terlanjur ditumbang. Rencananya lahan ini akan kita uji coba dulu untuk menanam bibit teh jenis gambung 7 dan gambung 9,” ungkap Dahlan Iskan di sela-sela kunjungannya ke museum TB Silalahi Balige, Sabtu (14/4).
Dari hasil pertemuan Dahlan Iskan dengan jajaran Direksi PTPN IV di Hotel Tara Bunga Balige, Dahlan mendapat masukan bahwa tanamah teh yang ada di Kebun Sidamanik, Kebun Bah Butong dan Kebun Toba Sari usianya hampir mencapai 100 tahun. Dampaknya saat ini dua teh yang semula diharapkan bentuknya tipis sehingga mudah digulung sekarang menjadi tebal. Tak hanya itu rasanya juga sudah berbeda dari harapan. Dari hasil penelitian, hal ini disebabkan kerana pengaruh perubahan iklim sehingga dicari bibit teh yang sesuai dengan kondisi saat ini.
Kemudian dari sisi bisnis sambung Dahlan nilai jual teh yang dihasilkan harganya anjlok di pasaran. Hal ini tentunya membuat perusahaan merugi. “Kita sudah putuskan teh ini direplanting saja, kemudian kita tukar dengan tanaman baru. Sebab tanaman teh ini harus dilestarikan dan sudah menjadi ikon Kabupaten Simalungun,” ungkapnya.
Dalam pertemuan itu juga terungkap bahwa saat ini bibit teh gambung 7 dan gambung 9 sudah diperoleh. Sehingga akhir tahun ini atau paling lambat awal tahun depan sudah bisa ditanam.
“Jadi kita uji coba saja dulu mudah-mudahan empat tahun ke depan sudah nampak hasilnya. Jadi kalau ke depan hasilnya baik maka bisa saja Kebun Sawit Marjandi dan Kebun Sawit Bah Birong Ulu yang semula ditanami teh akan ditukar menjadi teh kembali,” tutur Dahlan.
Hasil yang diharapkan sambung Dahlan selain mendapatkan teh yang lebih baik sesuai dengan ciri rasa teh di daerah masing-masing, produksi teh secara keseluruhan bisa dicapai. Jika selama ini rata-rata produksi teh dua ton per hektar per tahun maka hasil yang diharapkan ke depan bisa mencapai empat ton per hektar per tahun.
“Inilah harapan kami, soalnya PTPN IV merupakan perusahaan milik negara yang orientasinya adalah menggali keuntungan sebanyak mungkin. Jadi kalau tidak kita reflanting dan perusahaan merugi, tetapi kami akan disalahkan oleh masyarakat,” katanya bercanda.
Sosialisasi reflanting teh akan terus dilakukan Dahlan. Soalnya akhir-akhir ini banyak kalangan yang menolak rencana PTPN IV yang akan mengkonversi teh menjadi kelapa sawit mendapat penolakan dari berbagai kalangan. Buntutnya terjadi demo dimana-dimana.
“Pak TB Silalahi lewat sambutan ini, saya juga menyampaikan kepada bapak dan undangan bahwa kebun teh yang ada di Simalungun tidak akan dikonversi dengan kelapa sawit tetapi kita replanting kembali,” ungkap Dahlan saat didaulat memberikan sambutan pada ulang tahun ke-4 museum TB Silalahi Center.
Dahlan bilang TB Silalahi sebagai tokoh batak banyak tahu tentang sejarah keberadaan kebun teh ini. Keputusan ini kata Dahlan semata-mata untuk mensejahterakan masyarakat batak terutama yang berada di sekitar kebun.
Seperti diketahui saat ini dari tiga kebun teh di Simalungun yakni Kebun Teh Sidamanik, Bah Butong dan Toba Sari. Luas keseluruhan mencapai sekitar 5.000 hektar. Untuk kebun teh Sidamanik dan Kebun Teh Bah Butong ditanam di ketinggian antar 800 hingga 900 meter di atas permukaan laut. Sedangkan Kebuh Teh Toba Sari berada antara 1050 – 1100 meter di atas permukaan laut.
Sebelumnya Kebun Teh Bah Birong Ulu dan Kabupaten Teh Marjandi sudah dikonversi menjadi tanaman kelapa sawit sejak tahun 1996 dengan luas areal sekitar 4000 hektar. Di kedua kebun ini ketinggian tanah mencapai 700 meter di atas permukaan laut. Hasilnya, kini tanaman tersebut sudah berproduksi. (dra)