25.6 C
Medan
Sunday, May 19, 2024

Rintis Usaha dari Nol

H Jumadi SPdI, Pengusaha Batik yang Jadi Wakil Rakyat

Merantau dari Desa Trombol, Kecamatan Mondokan, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, H Jumadi SPdI cuma bermodalkan semangat. Namun kerja keras yang dilakukannya selama di perantauan ternyata membuahkan hasil. H Jumadi SPdI mampu menjadi ‘toke’ pakaian batik dan busana muslim di Kota Medan. Usaha grosirnya kian berkembang dan telah memiliki pelanggan di sejumlah daerah seperti Kota Pinang, Baganbatu dan daerah lainnya.

H Jumadi SPdI
H Jumadi SPdI

Setelah usahanya sukses, ia pun banting setir menjadi politisi dan kini mendapat amanah sebagai anggota legislatif di DPRD Kota Medan dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Seperti apa Jumadi merintis usaha dan karir politiknya? Berikut petikan wawancaranya dengan wartawan Sumut Pos, Ade Zulfi Jumat (8/2).

Sejak kapan Anda merantau ke Medan?

Saya meninggalkan kampung halaman pada 1988 silam. Saat itu saya baru saja tamat Sekolah Pendidikan Guru (SPG). Saya sempat mengajar di SD Trombol, Kecamatan Mondokan, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Namun itu tidak lama, paling beberapa bulan saja. Karena waktu itu, kepala sekolah meminta uang pelicin sebesar Rp1,8 juta agar saya bisa tetap mengajar di sekolah itu, namun saya tolak. Akhirnya saya pun berhenti mengajar.

Kenapa Anda menolak permintaan kepala sekolah itu?

Karena saya memang benar-benar ingin mengabdi sebagai pendidik, bukan ingin mencari jabatan ataupun keuntungan. Untuk apa saya bayar?

Setelah Anda berhenti mengajar, apa yang Anda lakukan?

Saya memberanikan diri merantau ke Jakarta. Saya jual sepeda saya untuk modal ke Jakarta. Waktu itu sepeda saya laku Rp30 ribu. Nah di Jakarta ada abang saya. Di Jakarta saya jualan minyak wangi, pakaian dan lain-lain, naik sepeda keliling Jakarta Selatan.
Setelah sebulan saya di Jakarta, ada teman saya mengajak ke Medan untuk berjualan pakaian batik. Tanpa pikir pikir panjang dan dengan senang hati saya menerima ajakan itu. Karena teman-teman saya sudah banyak yang sukses merantau ke Medan, makanya saya senang sekali diajak merantau ke Medan. Saya ke Medan tepat tanggal 1 Desember 1988. Saya masih ingat betul tanggalnya.

Di Medan, dimana Anda tinggal?

Kami dirumahkan di Jalan Bilal Gang Pribadi. Sampai sekarang rumahnya masih ada. Selama di Medan, kami berjualan dengan menjajakan pakaian batik dari rumah ke rumah. Istilah kerennya dor to dor. Ya, cukup banyak lah pengalaman yang saya dapatkan dari berjualan dor to dor itu. Dan pakaian yang kami jual secara kredit, sehingga tak jarang ada juga konsumen yang menipu. Setelah bayar uang muka, cicilannya tak dibayar.
Meski begitu, saya tak pernah menunggak kepada bos saya. Pembayaran selalu lancar.

Lantas, mulai kapan Anda mandiri?

Saya mulai memberanikan diri menjadi pengusaha pakaian batik di akhir tahun 1989. Karena pembayaran saya kepada bos lancar, lantas saya dikenalkan bos kepada pemilik grosir di Solo. Bos saya juga yang menjaminkan agar saya bisa dapat barang dari pemilik grosir. Setelah saya mendapat kepercayaan dan diberi barang-barang, saya pun memulai usaha di Medan dan akhirnya berkembang. Saya pun mulai mengajak anak-anak di kampung saya untuk bekerja dengan saya di Medan. Hampir setiap tahun ada saja orang yang saya ajak ke Medan untuk bekerja dengan saya. Dari usaha saya inilah saya bisa membeli rumah dan membeli ruko di Jalan Bilal No 216 Kelurahan Pulo Brayan Darat I Medan TImur. Dan saya juga bisa membantu saudara-saudara saya dengan mempekerjakannya.

Lantas, bagaimana Anda bisa terjun ke dunia politik dan bergabung dengan PKS?

Jujur saja, awalnya saya tidak tahu kalau PKS itu partai politik. Pada 2001 lalu, saya rutin mengikuti pengajian-pengajian yang digelar PKS dan saya senang ikut pengajiannya. Kemudian pada 2006, saya dipercaya menjadi Ketua DPC PKS Medan Timur hingga akhirnya saya terpilih menjadi anggota legislatif dari daerah pemilihan empat pada pileg 2009 lalu. Setelah saya terpilih menjadi anggota dewan, agar lebih fokus mengurusi rakyat dan konstituen, saya berhenti sebagai ketua DPC.

Kenapa Anda tertarik terjun ke dunia politik?

Bagi saya, partai politik ini juga sebagai ajang dakwah. Apalagi PKS ini dikenal sebagai partai dakwah. Jadi, dengan kita terjun ke dunia politik, kita tidak cuma hanya mengajak, tapi juga bisa berbuat dan memperjuangkan aspirasi umat.

Setelah menjadi anggota dewan, bagaimana dengan usaha pakaian batik Anda?

Tetap berjalan seperti biasa. Saya serahkan kepada istri, namun saya tetap melakukan kontrol. Setiap pagi, sebelum ke kantor saya singgah dulu ke toko untuk mengecek transaksi, kebetulan toko saya tak jauh dari rumah saya.

Kalau boleh tahu, apa kunci sukses Anda?

Kuncinya, saya menjalankan usaha ini dengan modal kepercayaan dan kejujuran. Kenapa begitu? Karena saya jualan pakaian batik dan busana muslim ini dengan sistem kredit. Bahkan ada juga pengecer dari luar Kota Medan yang mengambil barang dulu baru bayar. Tapi umumnya yang saya beri kepercayaan seperti itu memang orang yang benar-benar saya kenal. Seperti kader-kader PKS dan anggota Putra Solo.

Bagaimana jika ada pelanggan Anda yang menipu?

Kalau ada yang seperti itu, saya ikhlaskan saja. Hitung-hitung sedekah.(*)

Pimpin Yayasan Putra Solo

Di tengah kesibukannya menjalankan usaha dan menjadi anggota legislatif, H Jumadi SPdI juga aktif sebagai ketua umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Yayasan Persatuan Persaudaraan Putra Solo yang kini sudah memiliki 1.800 anggota yang tersebar di Sumatera Utara dan Riau.

Yayasan Putra Solo ini juga telah berkembang di 11 kabupaten/kota di Sumatera Utara, diantaranya di Kota Medan, Binjai, Deliserdang, Tebingtinggi, Asahan, Pematangsiantar, Labuhanbatu, Labuhanbatu Utara, Labuhanbatu Selatan dan Sibolga.

Menurut Jumadi, Yayasan Putra Solo ini dibentuk pada 15 Februari 1990. Terbentuknya yayasan ini adalah untuk menjalin persaudaraan dan mempererat hubungan antar sesama masyarakat perantauan yang berasal dari Kota Sragen, Kota Solo dan sekitarnya yang ada di Kota Medan.
Dengan seiringnya berjalannya waktu, sekarang ini sudah banyak anggota Putra Solo dari berbagai daerah di Indonesia dan mayoritas anggotanya memiliki usaha pakaian batik dan berjualan bakso.

“Awalnya seperti arisan saja, namun akhirnya berkembang dan kini telah memiliki koperasi dan telah bekerjasama dengan Bank Syariah Mandiri (BSM) dalam penyaluran dana KUR (Koperasi Usaha Rakyat) ke seluruh cabang-cabang Putra Solo. Bahkan kita selalu menjadi percontohan,” kata Jumadi yang saat itu didampingi istrinya Hj Mulyani. (adz)

Boyong Pujaan Hati ke Medan

Sukses di perantauan tak membuat Jumadi lupa akan kampung halamannya. Apalagi dengan pujaan hati (yang kini menjadi istrinya, Hj Mulyani), masih berada di Sragen. Pada 1993 lalu, Jumadi pun langsung menikahi Hj Mulyani dan memboyongnya ke Medan.
“Kisah pertemuan saya dengan istri saya cukup unik juga. Pasalnya, setiap pagi sitri saya itu menunggu angkutan di pinggir jalan. Sementara saya naik sepeda. Jadi, kami sering bertemu dan saling senyum saja,” kenang Jumadi.
Berawal dari situ, Jumadi pun mulai memberanikan diri menitip salam lewat seorang temannya. Gayung pun bersambut, akhirnya hubungan mereka semakin dekat. Saat Jumadi merantau ke Medan, mereka tetap melanjutkan hubungan secara jarak jauh. “Setiap malam minggu, teman-teman saya pada pacaran, saya tinggal di rumah. Karena pacar saya ada di Sragen,” ungkap nya. Setelah sukses di Medan, 1993 dia melamar Mulyani. (adz)
“Setelah menikah, kami langsung ke Medan. Dari penikahan ini, kami memiliki enam orang anak dan kini mereka sedang menimba ilmu di sekolahnya masing-masing,” bebernya.

H Jumadi SPdI, Pengusaha Batik yang Jadi Wakil Rakyat

Merantau dari Desa Trombol, Kecamatan Mondokan, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, H Jumadi SPdI cuma bermodalkan semangat. Namun kerja keras yang dilakukannya selama di perantauan ternyata membuahkan hasil. H Jumadi SPdI mampu menjadi ‘toke’ pakaian batik dan busana muslim di Kota Medan. Usaha grosirnya kian berkembang dan telah memiliki pelanggan di sejumlah daerah seperti Kota Pinang, Baganbatu dan daerah lainnya.

H Jumadi SPdI
H Jumadi SPdI

Setelah usahanya sukses, ia pun banting setir menjadi politisi dan kini mendapat amanah sebagai anggota legislatif di DPRD Kota Medan dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Seperti apa Jumadi merintis usaha dan karir politiknya? Berikut petikan wawancaranya dengan wartawan Sumut Pos, Ade Zulfi Jumat (8/2).

Sejak kapan Anda merantau ke Medan?

Saya meninggalkan kampung halaman pada 1988 silam. Saat itu saya baru saja tamat Sekolah Pendidikan Guru (SPG). Saya sempat mengajar di SD Trombol, Kecamatan Mondokan, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Namun itu tidak lama, paling beberapa bulan saja. Karena waktu itu, kepala sekolah meminta uang pelicin sebesar Rp1,8 juta agar saya bisa tetap mengajar di sekolah itu, namun saya tolak. Akhirnya saya pun berhenti mengajar.

Kenapa Anda menolak permintaan kepala sekolah itu?

Karena saya memang benar-benar ingin mengabdi sebagai pendidik, bukan ingin mencari jabatan ataupun keuntungan. Untuk apa saya bayar?

Setelah Anda berhenti mengajar, apa yang Anda lakukan?

Saya memberanikan diri merantau ke Jakarta. Saya jual sepeda saya untuk modal ke Jakarta. Waktu itu sepeda saya laku Rp30 ribu. Nah di Jakarta ada abang saya. Di Jakarta saya jualan minyak wangi, pakaian dan lain-lain, naik sepeda keliling Jakarta Selatan.
Setelah sebulan saya di Jakarta, ada teman saya mengajak ke Medan untuk berjualan pakaian batik. Tanpa pikir pikir panjang dan dengan senang hati saya menerima ajakan itu. Karena teman-teman saya sudah banyak yang sukses merantau ke Medan, makanya saya senang sekali diajak merantau ke Medan. Saya ke Medan tepat tanggal 1 Desember 1988. Saya masih ingat betul tanggalnya.

Di Medan, dimana Anda tinggal?

Kami dirumahkan di Jalan Bilal Gang Pribadi. Sampai sekarang rumahnya masih ada. Selama di Medan, kami berjualan dengan menjajakan pakaian batik dari rumah ke rumah. Istilah kerennya dor to dor. Ya, cukup banyak lah pengalaman yang saya dapatkan dari berjualan dor to dor itu. Dan pakaian yang kami jual secara kredit, sehingga tak jarang ada juga konsumen yang menipu. Setelah bayar uang muka, cicilannya tak dibayar.
Meski begitu, saya tak pernah menunggak kepada bos saya. Pembayaran selalu lancar.

Lantas, mulai kapan Anda mandiri?

Saya mulai memberanikan diri menjadi pengusaha pakaian batik di akhir tahun 1989. Karena pembayaran saya kepada bos lancar, lantas saya dikenalkan bos kepada pemilik grosir di Solo. Bos saya juga yang menjaminkan agar saya bisa dapat barang dari pemilik grosir. Setelah saya mendapat kepercayaan dan diberi barang-barang, saya pun memulai usaha di Medan dan akhirnya berkembang. Saya pun mulai mengajak anak-anak di kampung saya untuk bekerja dengan saya di Medan. Hampir setiap tahun ada saja orang yang saya ajak ke Medan untuk bekerja dengan saya. Dari usaha saya inilah saya bisa membeli rumah dan membeli ruko di Jalan Bilal No 216 Kelurahan Pulo Brayan Darat I Medan TImur. Dan saya juga bisa membantu saudara-saudara saya dengan mempekerjakannya.

Lantas, bagaimana Anda bisa terjun ke dunia politik dan bergabung dengan PKS?

Jujur saja, awalnya saya tidak tahu kalau PKS itu partai politik. Pada 2001 lalu, saya rutin mengikuti pengajian-pengajian yang digelar PKS dan saya senang ikut pengajiannya. Kemudian pada 2006, saya dipercaya menjadi Ketua DPC PKS Medan Timur hingga akhirnya saya terpilih menjadi anggota legislatif dari daerah pemilihan empat pada pileg 2009 lalu. Setelah saya terpilih menjadi anggota dewan, agar lebih fokus mengurusi rakyat dan konstituen, saya berhenti sebagai ketua DPC.

Kenapa Anda tertarik terjun ke dunia politik?

Bagi saya, partai politik ini juga sebagai ajang dakwah. Apalagi PKS ini dikenal sebagai partai dakwah. Jadi, dengan kita terjun ke dunia politik, kita tidak cuma hanya mengajak, tapi juga bisa berbuat dan memperjuangkan aspirasi umat.

Setelah menjadi anggota dewan, bagaimana dengan usaha pakaian batik Anda?

Tetap berjalan seperti biasa. Saya serahkan kepada istri, namun saya tetap melakukan kontrol. Setiap pagi, sebelum ke kantor saya singgah dulu ke toko untuk mengecek transaksi, kebetulan toko saya tak jauh dari rumah saya.

Kalau boleh tahu, apa kunci sukses Anda?

Kuncinya, saya menjalankan usaha ini dengan modal kepercayaan dan kejujuran. Kenapa begitu? Karena saya jualan pakaian batik dan busana muslim ini dengan sistem kredit. Bahkan ada juga pengecer dari luar Kota Medan yang mengambil barang dulu baru bayar. Tapi umumnya yang saya beri kepercayaan seperti itu memang orang yang benar-benar saya kenal. Seperti kader-kader PKS dan anggota Putra Solo.

Bagaimana jika ada pelanggan Anda yang menipu?

Kalau ada yang seperti itu, saya ikhlaskan saja. Hitung-hitung sedekah.(*)

Pimpin Yayasan Putra Solo

Di tengah kesibukannya menjalankan usaha dan menjadi anggota legislatif, H Jumadi SPdI juga aktif sebagai ketua umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Yayasan Persatuan Persaudaraan Putra Solo yang kini sudah memiliki 1.800 anggota yang tersebar di Sumatera Utara dan Riau.

Yayasan Putra Solo ini juga telah berkembang di 11 kabupaten/kota di Sumatera Utara, diantaranya di Kota Medan, Binjai, Deliserdang, Tebingtinggi, Asahan, Pematangsiantar, Labuhanbatu, Labuhanbatu Utara, Labuhanbatu Selatan dan Sibolga.

Menurut Jumadi, Yayasan Putra Solo ini dibentuk pada 15 Februari 1990. Terbentuknya yayasan ini adalah untuk menjalin persaudaraan dan mempererat hubungan antar sesama masyarakat perantauan yang berasal dari Kota Sragen, Kota Solo dan sekitarnya yang ada di Kota Medan.
Dengan seiringnya berjalannya waktu, sekarang ini sudah banyak anggota Putra Solo dari berbagai daerah di Indonesia dan mayoritas anggotanya memiliki usaha pakaian batik dan berjualan bakso.

“Awalnya seperti arisan saja, namun akhirnya berkembang dan kini telah memiliki koperasi dan telah bekerjasama dengan Bank Syariah Mandiri (BSM) dalam penyaluran dana KUR (Koperasi Usaha Rakyat) ke seluruh cabang-cabang Putra Solo. Bahkan kita selalu menjadi percontohan,” kata Jumadi yang saat itu didampingi istrinya Hj Mulyani. (adz)

Boyong Pujaan Hati ke Medan

Sukses di perantauan tak membuat Jumadi lupa akan kampung halamannya. Apalagi dengan pujaan hati (yang kini menjadi istrinya, Hj Mulyani), masih berada di Sragen. Pada 1993 lalu, Jumadi pun langsung menikahi Hj Mulyani dan memboyongnya ke Medan.
“Kisah pertemuan saya dengan istri saya cukup unik juga. Pasalnya, setiap pagi sitri saya itu menunggu angkutan di pinggir jalan. Sementara saya naik sepeda. Jadi, kami sering bertemu dan saling senyum saja,” kenang Jumadi.
Berawal dari situ, Jumadi pun mulai memberanikan diri menitip salam lewat seorang temannya. Gayung pun bersambut, akhirnya hubungan mereka semakin dekat. Saat Jumadi merantau ke Medan, mereka tetap melanjutkan hubungan secara jarak jauh. “Setiap malam minggu, teman-teman saya pada pacaran, saya tinggal di rumah. Karena pacar saya ada di Sragen,” ungkap nya. Setelah sukses di Medan, 1993 dia melamar Mulyani. (adz)
“Setelah menikah, kami langsung ke Medan. Dari penikahan ini, kami memiliki enam orang anak dan kini mereka sedang menimba ilmu di sekolahnya masing-masing,” bebernya.

Previous article
Next article

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/