SUMUTPOS.CO – Alquran adalah petunjuk bagi manusia, khususnya kepada mereka yang beriman. Akan tetapi petunjuk yang diturunkan Allah melaluli Malaikat Jibril itu tidak hanya menjadi nilai-nilai normatif an sich, tapi juga sekaligus harus sampai pada realisasi nilai-nilai empiris.
Selama ini mayoritas umat, termasuk para akademisi, ulama dan para ustaz dan ustazah, hanya menjadikan Alquran sebatas petunjuk nilai normatif semata sehingga melupakan nilai nilai empiris. Padahal, jika mengutip pandangan intelektual Islam, Amin Abdullah dari Indonesia dan atau Fazlur Rahman dari Pakistan, ajaran Islam itu terkait dengan hal-hal yang bersifat normativitas dan historisitas yang berkelindan dalam satu tujuan dan tak terpisahkan antara satu dengan lainnya.
Satu sisi normatif akan berpengaruh terhadap empirisitas, demikian juga realitas empiris dapat mempengaruhi sisi normativitas. Karena itu, menjadi satu pertanyaan besar mengapa umat justru meninggalkan nilai-nilai empiris dari Quran? Kemudian terperangkap dalam nilai-nilai normativitas semata. Padahal Alquran diturunkan Allah menjadi rahmat dan petunjuk kepada seluruh alam, agar dapat tertata dan berjalan sesuai dengan sunnatullah yang yang seharusnya dimaksimalkan oleh umat.
Tentu semua itu bukanlah tanpa sebab. Salah satu musabab yang cukup menarik dan menjadi atensi dengan lahirnya Tafsir Al Washi’ Islam Transitif ini adalah menggagas adanya profesionalitas keilmuan dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran, sebab ketika ayat tersebut ditafsirkan oleh mufassir yang tidak punya ilmu sesuai dengan inspirasi keilmuan yang terdapat di dalam ayat ayat tersebut. Bagaimana pula dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan? Dan bagaimana kita bisa mengharapkan munculnya perubahan dan temuan temuan baru dari inspirasi Al-Qur’an? Tentu saja ayat-ayat Alquran hanya sebatas keperluan religiusitas semata.
Memang Kitab suci ini tidak akan dapat dipahami isi dan kandungan yang ada di dalamnya, tanpa jasa besar yang dilakukan para mufassir terdahulu karena mereka telah memiliki syarat-syarat keilmuan sebagai seorang mufassir. Hanya yang menjadi pertanyaan, apakah para mufassir yang ada sejak dulu hingga sekarang memiliki ratusan keilmuan yang diinspirasikan oleh Al-Qur’an? Bagaimana mungkin bisa kita menerima penafsiran seorang mufassir yang mungkin hanya menguasai 15 jenis atau cabang ilmu yang telah menjadi syarat bagi seorang mufassir ketika mufassir tersebut menafsirkan ayat-ayat di luar keilmuannya. Sudah lazim diketahui atau dimaklumi masyarakat bahwa mufassir itu harus menguasai ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Alquran, hadis, kaidah bahasa Arab, ilmu Nahu, ilmu Syorof, Balaghah dan lain sebagainya.
Artinya, dimensi keilmuwan yang dimiliki oleh para mufassirin terdahulu tersebut sepertinya lebih kuat kepada keilmuan-keilmuan yang bersifat normatif atau biasa juga disebut ilmu-ilmu keagamaan. Pengaruh inilah yang ikut memberikan andil umat Islam terjebak pada nilai normativitas Alquran bukan empirisitas atau historisitas Alquran dalam kehidupan, sehingga tanpa disadari selalu terjadi perbedaan pendapat dalam beberapa hal ide dan gagasan. Berbeda kalau sudah dalam bentuk empirik, maka perdebatan akan tereliminir atau terhindari karena fokus kita sudah berubah pada aktivitas, produktifitas dan barang jadi.
Dengan demikian kondisi umat tidak hanya fokus pada religiusitas semata akan tetapi juga pasti akan lebih bersemangat untuk berkompetisi termasuk bersemangat untuk memainkan partisipasi dalam kehidupan global. Jadi umat tak usah lagi terperangkap dalam perdebatan perdebatan yang selama ini terus berkepanjangan misalnya berdebat mengenai beberapa cabang soal fikih, misalnya doa qunut, kulit hewan kurban, wirid Yasin dan lain-lain.
Karenanya kehadiran Tafsir Al Washi’ Islam transitif ini mencoba untuk menggagas agar penafsiran Alquran itu tidak hanya fokus pada sesuatu yang bersifat normativitas an sich, melainkan dapat keluar menggali potensi empirisitas yang cukup banyak disampaikan Allah dalam Alquran. Tentunya kajian tafsir empirisitas ini berbasis pada berbagai disiplin keilmuwan eksak, sains dan teknologi. Karena itu, gagasan baru inilah yang harus dikembangkan dari inspirasi yang ada dari ayat-ayat Alquran dimaksud. Agar umat Islam tidak hanya menjadi konsumen atau penonoton, tapi dapat menjadi aktor utama untuk melahirkan barang yang akan mempermudah manusia menjalani kemajuan zaman sesuai dengan realitas peradaban umat manusia. Dan itu semua diperoleh bukan dari ayat bersifat normatifitas belaka, melainkan dari inspirasi ayat-ayat empirisitas yang berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi.
Untuk itulah umat Islam khususnya kepada para ahli, akademisi dan intlektual Muslim untuk segera mengalihkan pandangan pada aspek yang sangat penting ini yang sekian lama ditinggalkan umat Islam tersebut yakni aspek empirik nilai Alquran. Nilai ini diyakini akan melahirkan kompetisi umat untuk mlahirkan benda-benda yang akan sangat membantu kehidupan umat manusia di segala zaman. (*)