Kubang Putiah–Rumah Gadang berlantai palupuah (bambu yang dibelah-belah, red) dan dind
ing dari
papan yang dilapisi tadiah (bambu yang dianyam, red), di sinilah Muhammad Rizki Ramadhan, bocah jenius itu tinggal. Rumah itu juga bukan milik orang tuanya, tapi disewa sudah satu tahun ini. Rumah itu kini tiap hari ramai dikunjungi orang dari Bupati Agam, orang dermawan, wartawan hingga orang biasa yang penasaran dengan bocah yang bisa e
mpat bahasa asing itu.
Laporan: Musfi Yendra
Dompet Dhuafa Singgalang mendatangi rumah Rizki di Jorong Lurah Surau Baranjuang, Kenagariaan Kubang Putiah, Kecamatan Banuhampu, Kabupaten Agam, Selasa (12/11). Saya, Musfi Yendra, Branch Manger Dompet Dhuafa Singgalang, memberitahu ke Ahmad Juwaini, Presiden Direktur Dompet Dhuafa di Jakarta tentang kasus ini. Saya diminta segera mengumpulkan data dan membantu kelanjutan pendidikan Rizki. Kedatangan saya dan tim, Budi Pratama dan Sudirman, anggota program, disambut oleh ayah Rizki di tangga rumah gadang yang hampir reot itu.
“Ambo Maruhun, ayah Rizki…,” begitu kata bapak yang bernama lengkap Mayunis itu. Maruhun adalah panggilannya sehari-hari dikampung tersebut.
Memasuki rumah gadang itu kami menaiki anak tangga yang terletak di belakang. Sebelah kanan tangga terdapat kamar mandi yang terbuat dari bambu juga. Sebelum sampai ke ruang utama, kami melewati dapur tempat ibu Rizki memasak. Puntung kayu habis memasak berserakan di dapur tersebut. Atap dapurnya dari terpal berwarna oranye. Hanya ada sedikit antara dapur dan ruang utama yang berlantai papan.
Di ruang utama rumah gadang itu hampir semuanya berlantai palupuah. Kalau diinjak lantai itu seperti bergelombang-gelombang. Rumah ini terdapat dua kamar, satu lemari pembatas ruangan, televisi dan dipan tidur juga ada di ruang utamanya.
“Di sinilah kami tinggal sudah setahun ini, bukan rumah kami tapi disewa” kata Armadanis ibu dari Rizki dengan bahasa Indonesia yang fasih.
Sebenarnya pasangan suami istri ini berasal dari Malalak, Agam. Melihat kondisi rumah yang ditempati, jelas keluarga ini dari keluarga tidak mampu. Dihuni sekitar enam orang, kedua orang tua Rizki, dua kakak dan neneknya.
Saat kami masuk rumah, Rizki yang sedang makan lalu berhenti dan menyalami kami. Setelah bersalaman dia, langsung mengambil gadget yang saya bawa. Saya berikan kedua gadget saya punyai. Diapun asyik membuka berbagai aplikasi yang ada. Bak montir HP, mahir benar dia. Blackberry dan android seperti bukan hal asing bagi dia. “Ada massage masuk om,” katanya. Massage pula kata dia. Pesan masuk maksudnya.
“Rizki selalu penasaran dengan HP, ipad atau sejenisnya. Tapi dia tak pernah mau membuka SMS orang lain, “kata ibunya.
Setelah itu dia mengambil lagi blackberry saya dan mengaktifkan bluetooth-nya sendiri, hendak memindahkan game ke HP orang
tuanya. Karena di gadget saya tidak ada game, dia menangis sebentar tapi kemudian ditenangkan oleh ibunya. Kemudian dia asyik lagi gadget itu.
Rizki yang berusia 10 tahun ini terlihat bersih dengan kulit sawo matangnya. Ukuran fisiknya termasuk tinggi, tapi agak kurus seperti mengikuti ibunya. Rambutnya dipotong pendek sekitar 2 cm. “Dia tidak pernah mau main di luar rumah. Apalagi
bermain tanah atau kotor-kotor dengan anak-anak seusianya,”kata ibunya.
Menurut ibu Rizki, sehari-hari di dalam rumah dia hanya menonton atau membaca buku. Dia suka menonton siaran televisi yang berbahasa Inggris atau berita politik, bola dan ilmu pengetahuan. Sesekali menonton film kartun dan tak suka menonton
sinetron. Saya membawakan 11 judul buku dan majalah sebagai hadian untuk Rizki.
Bosan menonton dan membaca dia mendengar musik dari HP, lagunya pun berbahasa Inggris atau K-Pop. Karena kebiasaan itu kemudian dia bisa empat bahasa asing Inggris, Arab, India dan Jepang. Bukan menguasai tapi bisa. Sesekali pergi ke warung
untuk jajan. Sehari-hari Rizki lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia. Bukan berbahasa Minang. Tak sepertinya ibunya yang banyak menjelaskan tentang Rizki, bapaknya lebih banyak diam saja.
“Ambo ko hanya buruh tani,” begitu ucapnya Mayunis sesekali. Sebagai kepala rumah tangga sepertinya dia menyimpan beban hidup yang lumayan berat.
Wajar saja, pasangan suami istri ini memiliki anak tiga orang. Paramita Ariani anak pertama akan tamat dari SMA 4 Bukittinggi. Ferdian Arianto anak kedua akan naik kelas tiga SMP. Rizki anak bungsu yang cerdas itu sedang dipikirkan juga lanjutan sekolahnya. Istrinya sehari-hari hanya mengurus Rizki.
“Waktu hamil Rizki ini kami berdagang di Pasar Perumnas Pekanbaru. Menjual barang muda (buah-buahan, red),” ucap Armadanis.
Ditambahkannya, sewaktu mengandung Rizki tak ada hal-hal luar biasa yang dia lakukan. Tak ada aktifitas membaca buku, mendengar musik klasik, menonton atau senam yoga seperti dilakukan kabanyakan ibu hamil,
dengan harapan anaknya cerdas. Makanan yang dikonsumsi ibunya pun biasa-biasa saja.
“Malah Rizki ini lahirnya prematur, beratnya hanya 1,1 kg,” ungkap Armadanis. Karena Rizki lahir tidak normal inilah awal jatuhnya ekonomi orang tua Rizki. “Kami harus pulang kampung ke Agam, dan bahkan harus menjual rumah untuk mengobati Rizki,” katanya.
Tengah ibu Rizki bercerita banyak tentang kehidupannya, datanglah seseorang bernama Kumar Z Chan. Beliau sudah dianggap seperti Uda angkat oleh Mayunis, ayah Rizki. Pak Uwo, begitulah Rizki memanggil Kumar. Orang inilah pertama kali mengangkat informasi Rizki ini ke media. Rizki sangat dekat dengan Kumar.
“Satu tahun saya mencari Maruhun dan keluarganya. Ternyata mereka sudah pindah ke sini,” ungkap Kumar. Waktu pertama kali bertemu kembali inilah diketahui kalau Rizki sudah tidak masuk lagi ke sekolah.
“Waktu saya pertama kali bertemu Rizki, dia mengutak-atik HP saya. Dia mengerti banyak hal apa yang ada di HP itu, saya sendiri tidak tahu. Anak ini sangat cerdas,” kata Kumar.
Faktor inilah yang menyebabkan Rizki keluar dari sekolah sejak tahun 2011. Rizki memang pernah enam bulan di kelas 1 SDN 27 Cangkiang, Nagari Batu Taba, Kecamatan Ampek Angkek Agam.
“Rizki bukan dikeluarkan dari sekolah, tapi memang dia tidak betah. Guru menerangkan A dia sudah mengerti Z. Kalau ada temannya yang tak mengerti pelajaran, dia bilang bodoh,” ungkap Armadanis.
Saya langsung koordinasi dengan Indra Catri, Bupati Agam. “Uda juga sudah tahu dinda,” begitu
balas BBM beliau ke saya. Respon beliau sangat positif, pada malamnya Indra Catri langsung ke rumah Rizki. Sayapun sampaikan ke beliau Dompet Dhuafa Singgalang juga siap membantu dan akan segera menemui orang tua Rizki.
Seminggu berita tentang kecerdasan Rizki beredar di media massa. “Awalnya saya bawa wartawan Koran Padang ke sini. Sekarang sudah banyak media cetak dan televisi yang liput Rizki,” kata Kumar.
Santer pemberitaan, calon donaturpun banyak yang mendatangi rumah Rizki. “Ada individu dan atau komunitas yang siap bantu sekolah Rizki. Ada juga yang mau jadikan Rizki anak angkat,” ungkap Kumar diamini orang tua Rizki.
Hingga saat ini orang tua Rizki sudah menyerahkan kelanjutan pendidikan anaknya ke Pemkab Agam. “Ada dua hal catatan kami tentang anak ini, Rizki harus tetap jadi aset Kabupaten Agam ke depan dan jangan sampai dimanfaatkan untuk kepentingan
politik oleh pihak-pihak tertentu dengan alasan membantu,” kata Kumar serius.
Katanya, apapun bentuk kelanjutan pendidikan Rizki ke depan harus dikomunikasikan dengan Pemkab Agam. Mungkin saja ada kekhawatiran dari pihak keluarganya.”Alhamdulillah kami bersyukur Dompet Dhuafa Singgalang juga ikut merespon,”
ungkapnya.
Saya sampaikan kalau sekolah dasar Rizki selesai, dia bisa ikut seleksi program sekolah akselarasi SMP-SMA Dompet Dhuafa di Parung Bogor, Jawa Barat. Smart Ekselensia Indonesia, nama sekolahnya. Di sekolah ini SMP-SMA hanya lima tahun dan semua
biaya ditanggung Dompet Dhuafa hingga tamat. Saat ini 20 orang anak-anak cerdas dari kelua
rga miskin asal Sumatera Barat kami sekolahkan di sana. Mereka tinggal sekolah saja. Semua kebutuhan dicukupi. Tiap tahun liburan tiket pesawat terbang
pulang pergi juga ditanggung.
Kalau tamat SMA juga bisa ikut seleksi beasiswa di 15 Perguruan Tinggi Negeri se-Indonesia. Beasiswa Etos namanya. Di Sumatera Barat ada Unand. 40 orang semua mahasiswa kami sekarang. Tempat tinggal, uang belanja, dan biaya kuliah ditanggung
selama empat tahun. Semua kita danai dari zakat. InsyaaAllah Paramitha Riani kakak tertua Rizki ak
an kami ikutkan seleksi beasiswa Etos tahun depan.
“Saya mau sekolah lagi om,” kata Rizki yang asyik bermain gadget.
Itu beberapa bentuk
solusi yang kami bawa kekeluarga Rizki ini. Untuk kelanjutan sekolah dasarnya yang “terpaksa” putus sekarang kita juga siap bekerjasa dengan Pemkab Agam. Sesuai dengan arahan Dinas Pendidikan Agam, Rizki akan dibawa dulu ke psikolog di RS Ahmad Mochtar Bukittinggi. Setelah itu baru akan dicarikan solusi yang cocok untuk pendidikannya.
“InSyaa Allah hari Rabu (kemarin, red) kita tes dulu ke psikolog. Sudah ada janji untuk itu. Berdasarkan hasilnya baru kita rundingkan jalan keluarnya,” isi BBM Bupati Agam ke saya setelah pulang dari rumah Rizki. (*)