25 C
Medan
Friday, June 28, 2024

Rindukan Wadah Profesional Anak-anak Medan

Subrata Ganda Atmaja, Food & Beverage Manager Hotel Soechi International Medan

Menjadi warga Kota Medan sejak 1999 membuat Subrata Ganda Atmaja merasa sebagai anak Medan sesungguhnya. Meski asli Banten, jiwa dan cara bergaulnya sudah menyatu dengan denyut kehidupan kota ini. “Saya senang, kerasan tinggal di kota ini. Karakter orang-orangnya cocok dengan saya,” ujar pria 47 tahun ini.

Subrata Ganda Atmaja, Food & Beverage Manager Hotel Soechi International Medan
Subrata Ganda Atmaja, Food & Beverage Manager Hotel Soechi International Medan

Sebagai warga Medan yang bekerja professional dan malang melintang di sejumlah hotel di Medan, ayah dua anak ini memiliki melihat sebuah fakta yang mengganggu. Anak Medan hampir tidak diberi tempat atau hampir tidak dipercaya menduduki posisi penting di perusahaan-perusahaan besar yang ada di Medan. Tempat ‘paling terhormat’ itu hampir dipastikan diisi para ekspatriat atau professional dari Jakarta atau Pulau Jawa.

Bagaimana pandangan Subrata, berikut nukilan dialognya dengan wartawan Sumut Pos di Restoran Asoka, Jumat, 24 Agustus 2012 lalu:

Anda menyebut, professional asli Medan sangat jarang dipercaya menempati posisi penting di perusahaan-perusahaan besar di Medan. Bisa digambarkan seperti apa?

Yah, kita bisa melihat secara kasat mata. Perusahaan-perusahaan besar di Medan itu dipimpin oleh bukan orang Medan. Sebut saja Telkom, Indosat, hotel-hotel berbintang, sampai perusahaan lain, orang-orang nomor satunya bukan orang lokal.

Kenapa orang Medan sendiri tidak diakui di daerahnya sendiri?

Di Jakarta itu, sudah menjadi rahasia umum, orang Medan punya kapasitas dan kemampuan. Banyak menempati posisi-posisi penting. Contoh, coba lihat acara yang dipandu Karni Illyas. Saya yakin, lebih 50 persen pesertanya orang Medan. Di tempat-tempat lain, orang Medan juga diperhitungkan.
Artinya, orang lokal Medan punya kapasitas tapi jarang diberi tanggung jawab besar di berbagai bidang pekerjaan.

Ya, kira-kira seperti itulah. Di sini, kemampuan orang-orang lokal hampir tidak dihargai. Kalau orang luar, kerjanya malah berpindah-pindah, dari satu tempat ke tempat lain. Seperti saya. (Tertawa kecil).

Kalau benar begitu, kira-kira, apa penyebabnya?

Di Medan, sangat sedikit peluang untuk bersaing secara professional. Bolehlah diterjemahkan sendiri. Selain itu, saya lihat, para owner belum memiliki kepercayaan kepada orang lokal dibanding professional dari Jawa. Di bidang perhotelan, tenaga kerja dari alumni dari Akademi Pariwisata (Akpar) Medan (sebelumnya bernama Balai Pendidikan dan Latihan Pariwisata Medan BPLP Medan) malah lebih banyak bekerja di luar daerah. Susah masuk ke posisi penting. Di posisi yang pernah saya tinggalkan di beberapa hotel, rasanya tidak ada yang diisi orang-orang lokal.

Pemerintah setempat juga member peran penting. Waktu Pak Afif (Afifuddin Lubis, mantan Sekda Kota Medan dan Pj Wali Kota Medan) masih aktif, hal seperti ini sudah pernah saya utarakan.

Punya tawaran solusi?

Ada. Kalau professional yang asli Medan membentuk wadah, mudah-mudahan bisa memberi masukan dan rekomendasi kepada para owner agar orang lokal diberi kepercayaan menduduki posisi tertentu. Selain itu, wadah ini bisa menjadi tempat kaderisasi. Saya berpendapat, perkumpulan professional lokal ini bisa memberi solusi. Selain itu, kita berharap pejabat setempat untuk mengimbau pemilik perusahaan untuk memberi ruang pekerja lokal bersaing dengan professional dari Pulau Jawa dan para ekspatriat itu. Ya, tentu saja, orang lokal juga harus sadar dan siap meningkatkan kapasitas diri agar layak bersaing.

Kalau soal wadah dan perkumpulan professional, bukankah selama ini sudah ada?

Untuk professional asli Medan, belum ada. Setahu saya, selama ini yang ada baru perkumpulan semacam gabungan para manajer pemasaran dan sebagainya. Itu pun biasanya Cuma sebagai tempat curhat, kongkow dan mencari hiburan bersama. Atau, yah… semacam reunian lah.

Anda sendiri, mengapa bisa betah di Medan?

Ini menarik. Banyak teman saya di Jakarta dan Bandung yang pernah bekerja di Medan, selalu menolak kalau ditawarkan kembali bekerja di kota ini. Kalau saya, malah betah di sini. Di sini karakteristiknya memang beda ya dibanding Jakarta dan Pulau Jawa. Orang-orang medan itu to the point, bicara blak-blakan. Cocok dengan saya.

Pergaulan di sini saya suka. Kita bisa kemana-mana dengan rasa aman dengan modal pergaulan. Bahkan di berbagai tempat, saya bisa menikmati makanan di restoran tanpa keluar biaya, dibayari teman. Ketemu masalah, dibantu teman-teman. Saya rasakan itu. Kita merasa aman karena berteman dekat dengan sejumlah tokoh dan pejabat. (Subrata lantas membeber nama-nama tokoh, baik yang masih aktif maupun yang sudah ‘pensiun’ dari dunia pergaulan)

Selain itu, medan enggak macet. Dalam setengah jam, kita bisa kemana-mana. Bedan banget dengan Jakarta.

Sekitar 13 tahun bergaul dengan orang Medan, tentu banyak sifat positif yang Anda lihat. Kalau sikap-sikap yang perku diperbaiki, kira-kira apa?

Orang Medan itu paling gak berani ambil keputusan. Main safety. Tapi kalau soal cari uang, saya kalah sama mereka. Tentulah tidak semuanya begitu.
Bicara soal bekerja, saya suka mengikuti berbagai pelatihan dan saya share ke bawahan. Bagi-bagi ilmu. Saya enggak rugi, mereka malah tau bekerja lebih baik dan pekerjaan beres. Saya juga tunjukkan bagaimana saya memanfaatkan waktu dalam bekerja. Keseharian saya, datang pagi, pulangnya bisa sampai pukul 2 dinihari. Paling cepat saya pulang jam 10 malam. Bagi saya, bekerja itu bagian dari ibadah. Kalau mau sukses harus begitu, ikhlas bekerja.

Bagaimana Anda menyeimbangkan waktu dengan keluarga?

Kalau mau sukses, harus ada sesuatu yang dikorbankan, saya kira itu benar. Saya memilih lebih banyak  menghabiskan waktu untuk bekerja. Soal hubungan dengan keluarga, dari awal, sudah ada komitmen dengan istri. Tidak masalah. Meski begitu, bagi saya keluarga itu tetap yang utama. Saya tetap berikan perhatian. Misalkan untuk mengambil rapor anak, ke dokter dan hal-hal lainnya, termasuk libur bersama. Saya bawa dua anak dan istri saya makan di restoran dan menginap di hotel tempat saya  bekerja, supaya mereka tahu seperti apa pekerjaan saya. Jadi, yang penting kualitas pertemuan dan kemampuan memenej waktu.(tms)

Kenikmatan Hidup, Ya Menghamba…

Bagi Subrata Ganda Atmaja, jabatan dan kekayaan hanya jalan yang diberikan Tuhan. Caranya, dengan mengabdi sebagai hamba. Sebagai mahluk ciptaan Tuhan, Subrata meyakini bekerja dengan rajin merupakan ibadah. Ikhlas bekerja, tanpa memikirkan jabatan dan kekayaan.
“Di dunia ini, yang pasti cuma kematian. Soal kekayaan dan kesuksesan itu rahasia Tuhan,” ujar pria berkacamata ini.

Pria yang tak suka memelihara hewan peliharaan ini percaya, orang rajin pasti disayang Tuhan dan pasti diberi imbalan yang pantas. Kalau diberikan di dunia, akan mendapat kesuksesan, jabatan dan kekayaan. Kalau tak dapat di dunia, ya masuk surga.

Dengan memposisikan diri sebagai hamba, Brata mengaku menjadi rahasia menikmati hidup. “Kita ini seperti daun, tak tahu kapan tumbuh tetapi pasti jatuh ke tanah,” sebut pria berkacamata ini.

Menghamba itu diibaratkan pembantu yang selalu melaksanakan perintah majikan. “Kerjakan saja. Selebihnya, serahkan pada Tuhan. Jangan terlalu risau memikirkan kebutuhan hidup. Tuhan sudah atur semua,” katanya pasti. (tms)

[table caption=”Subrata Ganda Atmaja”]

Riwayat Pekerjaan[attr colspan=”2″]
Juli 2012 ,   F&B Manager Hotel Soechi International
Januari 2008,    Manager di The Exchange Club Medan
Mei 2007-Jan 2008  ,  F&B Manager Hotel Soechi International
Des 2004-Mei 2007    ,F&B Manager Emerald Garden International
Keahlian dan Keahlian[attr colspan=”2″]
,Management Basic Skill ini Hospitality by PUM Senior Adviser Mr Joannes V
,  Strategy Marketing by Timo Risto Juhana Ipatti
,  Problem Solving & Decision Making by Tan Ek Gie
,  Get Ready for Global Qualified Company by Hermawan Kartajaya
,  Cost Conscious by Drs IG PutuLaksaguna CHA MSc and Arthur Ibrahim
,   Neuro-Customer Service by Olaf Mansur MBA
,   Marketing for Food & Beverage by Ito R Sukarmaji
,   Suggestive Selling Food & Beverage by Toto Sudarto

Pendidikan[attr colspan=”2″]
1981-1984  ,  SMA N 33 Jakarta

[/table]

Subrata Ganda Atmaja, Food & Beverage Manager Hotel Soechi International Medan

Menjadi warga Kota Medan sejak 1999 membuat Subrata Ganda Atmaja merasa sebagai anak Medan sesungguhnya. Meski asli Banten, jiwa dan cara bergaulnya sudah menyatu dengan denyut kehidupan kota ini. “Saya senang, kerasan tinggal di kota ini. Karakter orang-orangnya cocok dengan saya,” ujar pria 47 tahun ini.

Subrata Ganda Atmaja, Food & Beverage Manager Hotel Soechi International Medan
Subrata Ganda Atmaja, Food & Beverage Manager Hotel Soechi International Medan

Sebagai warga Medan yang bekerja professional dan malang melintang di sejumlah hotel di Medan, ayah dua anak ini memiliki melihat sebuah fakta yang mengganggu. Anak Medan hampir tidak diberi tempat atau hampir tidak dipercaya menduduki posisi penting di perusahaan-perusahaan besar yang ada di Medan. Tempat ‘paling terhormat’ itu hampir dipastikan diisi para ekspatriat atau professional dari Jakarta atau Pulau Jawa.

Bagaimana pandangan Subrata, berikut nukilan dialognya dengan wartawan Sumut Pos di Restoran Asoka, Jumat, 24 Agustus 2012 lalu:

Anda menyebut, professional asli Medan sangat jarang dipercaya menempati posisi penting di perusahaan-perusahaan besar di Medan. Bisa digambarkan seperti apa?

Yah, kita bisa melihat secara kasat mata. Perusahaan-perusahaan besar di Medan itu dipimpin oleh bukan orang Medan. Sebut saja Telkom, Indosat, hotel-hotel berbintang, sampai perusahaan lain, orang-orang nomor satunya bukan orang lokal.

Kenapa orang Medan sendiri tidak diakui di daerahnya sendiri?

Di Jakarta itu, sudah menjadi rahasia umum, orang Medan punya kapasitas dan kemampuan. Banyak menempati posisi-posisi penting. Contoh, coba lihat acara yang dipandu Karni Illyas. Saya yakin, lebih 50 persen pesertanya orang Medan. Di tempat-tempat lain, orang Medan juga diperhitungkan.
Artinya, orang lokal Medan punya kapasitas tapi jarang diberi tanggung jawab besar di berbagai bidang pekerjaan.

Ya, kira-kira seperti itulah. Di sini, kemampuan orang-orang lokal hampir tidak dihargai. Kalau orang luar, kerjanya malah berpindah-pindah, dari satu tempat ke tempat lain. Seperti saya. (Tertawa kecil).

Kalau benar begitu, kira-kira, apa penyebabnya?

Di Medan, sangat sedikit peluang untuk bersaing secara professional. Bolehlah diterjemahkan sendiri. Selain itu, saya lihat, para owner belum memiliki kepercayaan kepada orang lokal dibanding professional dari Jawa. Di bidang perhotelan, tenaga kerja dari alumni dari Akademi Pariwisata (Akpar) Medan (sebelumnya bernama Balai Pendidikan dan Latihan Pariwisata Medan BPLP Medan) malah lebih banyak bekerja di luar daerah. Susah masuk ke posisi penting. Di posisi yang pernah saya tinggalkan di beberapa hotel, rasanya tidak ada yang diisi orang-orang lokal.

Pemerintah setempat juga member peran penting. Waktu Pak Afif (Afifuddin Lubis, mantan Sekda Kota Medan dan Pj Wali Kota Medan) masih aktif, hal seperti ini sudah pernah saya utarakan.

Punya tawaran solusi?

Ada. Kalau professional yang asli Medan membentuk wadah, mudah-mudahan bisa memberi masukan dan rekomendasi kepada para owner agar orang lokal diberi kepercayaan menduduki posisi tertentu. Selain itu, wadah ini bisa menjadi tempat kaderisasi. Saya berpendapat, perkumpulan professional lokal ini bisa memberi solusi. Selain itu, kita berharap pejabat setempat untuk mengimbau pemilik perusahaan untuk memberi ruang pekerja lokal bersaing dengan professional dari Pulau Jawa dan para ekspatriat itu. Ya, tentu saja, orang lokal juga harus sadar dan siap meningkatkan kapasitas diri agar layak bersaing.

Kalau soal wadah dan perkumpulan professional, bukankah selama ini sudah ada?

Untuk professional asli Medan, belum ada. Setahu saya, selama ini yang ada baru perkumpulan semacam gabungan para manajer pemasaran dan sebagainya. Itu pun biasanya Cuma sebagai tempat curhat, kongkow dan mencari hiburan bersama. Atau, yah… semacam reunian lah.

Anda sendiri, mengapa bisa betah di Medan?

Ini menarik. Banyak teman saya di Jakarta dan Bandung yang pernah bekerja di Medan, selalu menolak kalau ditawarkan kembali bekerja di kota ini. Kalau saya, malah betah di sini. Di sini karakteristiknya memang beda ya dibanding Jakarta dan Pulau Jawa. Orang-orang medan itu to the point, bicara blak-blakan. Cocok dengan saya.

Pergaulan di sini saya suka. Kita bisa kemana-mana dengan rasa aman dengan modal pergaulan. Bahkan di berbagai tempat, saya bisa menikmati makanan di restoran tanpa keluar biaya, dibayari teman. Ketemu masalah, dibantu teman-teman. Saya rasakan itu. Kita merasa aman karena berteman dekat dengan sejumlah tokoh dan pejabat. (Subrata lantas membeber nama-nama tokoh, baik yang masih aktif maupun yang sudah ‘pensiun’ dari dunia pergaulan)

Selain itu, medan enggak macet. Dalam setengah jam, kita bisa kemana-mana. Bedan banget dengan Jakarta.

Sekitar 13 tahun bergaul dengan orang Medan, tentu banyak sifat positif yang Anda lihat. Kalau sikap-sikap yang perku diperbaiki, kira-kira apa?

Orang Medan itu paling gak berani ambil keputusan. Main safety. Tapi kalau soal cari uang, saya kalah sama mereka. Tentulah tidak semuanya begitu.
Bicara soal bekerja, saya suka mengikuti berbagai pelatihan dan saya share ke bawahan. Bagi-bagi ilmu. Saya enggak rugi, mereka malah tau bekerja lebih baik dan pekerjaan beres. Saya juga tunjukkan bagaimana saya memanfaatkan waktu dalam bekerja. Keseharian saya, datang pagi, pulangnya bisa sampai pukul 2 dinihari. Paling cepat saya pulang jam 10 malam. Bagi saya, bekerja itu bagian dari ibadah. Kalau mau sukses harus begitu, ikhlas bekerja.

Bagaimana Anda menyeimbangkan waktu dengan keluarga?

Kalau mau sukses, harus ada sesuatu yang dikorbankan, saya kira itu benar. Saya memilih lebih banyak  menghabiskan waktu untuk bekerja. Soal hubungan dengan keluarga, dari awal, sudah ada komitmen dengan istri. Tidak masalah. Meski begitu, bagi saya keluarga itu tetap yang utama. Saya tetap berikan perhatian. Misalkan untuk mengambil rapor anak, ke dokter dan hal-hal lainnya, termasuk libur bersama. Saya bawa dua anak dan istri saya makan di restoran dan menginap di hotel tempat saya  bekerja, supaya mereka tahu seperti apa pekerjaan saya. Jadi, yang penting kualitas pertemuan dan kemampuan memenej waktu.(tms)

Kenikmatan Hidup, Ya Menghamba…

Bagi Subrata Ganda Atmaja, jabatan dan kekayaan hanya jalan yang diberikan Tuhan. Caranya, dengan mengabdi sebagai hamba. Sebagai mahluk ciptaan Tuhan, Subrata meyakini bekerja dengan rajin merupakan ibadah. Ikhlas bekerja, tanpa memikirkan jabatan dan kekayaan.
“Di dunia ini, yang pasti cuma kematian. Soal kekayaan dan kesuksesan itu rahasia Tuhan,” ujar pria berkacamata ini.

Pria yang tak suka memelihara hewan peliharaan ini percaya, orang rajin pasti disayang Tuhan dan pasti diberi imbalan yang pantas. Kalau diberikan di dunia, akan mendapat kesuksesan, jabatan dan kekayaan. Kalau tak dapat di dunia, ya masuk surga.

Dengan memposisikan diri sebagai hamba, Brata mengaku menjadi rahasia menikmati hidup. “Kita ini seperti daun, tak tahu kapan tumbuh tetapi pasti jatuh ke tanah,” sebut pria berkacamata ini.

Menghamba itu diibaratkan pembantu yang selalu melaksanakan perintah majikan. “Kerjakan saja. Selebihnya, serahkan pada Tuhan. Jangan terlalu risau memikirkan kebutuhan hidup. Tuhan sudah atur semua,” katanya pasti. (tms)

[table caption=”Subrata Ganda Atmaja”]

Riwayat Pekerjaan[attr colspan=”2″]
Juli 2012 ,   F&B Manager Hotel Soechi International
Januari 2008,    Manager di The Exchange Club Medan
Mei 2007-Jan 2008  ,  F&B Manager Hotel Soechi International
Des 2004-Mei 2007    ,F&B Manager Emerald Garden International
Keahlian dan Keahlian[attr colspan=”2″]
,Management Basic Skill ini Hospitality by PUM Senior Adviser Mr Joannes V
,  Strategy Marketing by Timo Risto Juhana Ipatti
,  Problem Solving & Decision Making by Tan Ek Gie
,  Get Ready for Global Qualified Company by Hermawan Kartajaya
,  Cost Conscious by Drs IG PutuLaksaguna CHA MSc and Arthur Ibrahim
,   Neuro-Customer Service by Olaf Mansur MBA
,   Marketing for Food & Beverage by Ito R Sukarmaji
,   Suggestive Selling Food & Beverage by Toto Sudarto

Pendidikan[attr colspan=”2″]
1981-1984  ,  SMA N 33 Jakarta

[/table]

Previous article
Next article

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/