Pulang ke Indonesia, saya mencari tahu: apakah Indonesia memiliki ahli superkapasitor? Saya kaget. Ternyata tidak ada. Lebih tepatnya saya tidak menemukan. Saya sudah ke BPPT, ke ITB, ke ITS, ke Gadjah Mada. Tidak ada yang ahli superkapasitor. Itu lima tahun lalu. Saat saya menjabat menteri BUMN.
Lalu, saya dengar ada ahli superkapasitor di Universitas Widya Mandala Surabaya. Dia lulusan Australia. Saat saya ke kampusnya, ternyata ahli tersebut mengaku baru ingin jadi ahli. Dia dalam tahap meneliti apakah pelepah pisang bisa jadi bahan superkapasitor. Saya berharap saat ini, lima tahun kemudian, sudah lahir apa yang saya cari itu.
Sejak itu saya tidak mengikuti lagi perkembangan superkapasitor. Tiba-tiba, pekan lalu, meledak berita besar di Amerika: superkapasitor dipastikan bisa jadi pilihan sumber energi untuk mobil listrik. Tentu perkembangan ini menarik. Tidak perlu menggunakan rare earth sebagai bahan baku.
Hampir bersamaan dengan itu, muncul juga berita besar lainnya: baterai sodium. Artinya, baterai ini menggunakan air laut sebagai bahan penghubung katode. Penemunya adalah anak muda yang dari namanya saya pikir asli Indonesia: Dr Rana Mohtadi. Ternyata anak ini kelahiran Jordania.
Toyota USA yang mewadahi anak itu yakin sekali: sodiumlah masa depan baterai. Tidak ada risiko terbakar, tidak berat, tidak cepat habis, murah, dan bahan bakunya tersedia di semua lautan di segala penjuru dunia.
Ternyata bukan hanya Rana Mohtadi yang bisa mengoreksi kelemahan lithium. Penemu lithium sendiri sudah menemukan bahan penyempurna lithium itu. Tidak bisa terbakar, awet, ringan, daya jangkau sepuluh kali lebih jauh, dan harganya lebih murah.
Penemu lithium puas sekali dengan penyempurnaannya tersebut. Saat menemukan lithium dulu, Profesor John B. Goodenough masih berumur 35 tahun. Kini umurnya sudah 90 tahun.
Masih aktif sebagai pengajar dan peneliti di Universitas Texas di AS. Yang hebat, di usia 90 tahun dia masih menemukan sesuatu yang sangat penting: menyempurnakan penemuannya sendiri.