Oleh: Dahlan Iskan, Menteri BUMN
“Saya pernah kehujanan saat antre imigrasi di bandara Bandung ini. Antrenya panjang sampai ke luar bangunan.”
Yang mengucapkan itu bukan orang sembarangan: Wali Kota Bandung Ridwan Kamil.
“Setahun lagi Pak Wali Kota tidak akan malu lagi. Bandara wajah baru akan selesai dalam 12 bulan.” Yang mengucapkan ini saya.
Hari itu, pekan lalu, pembangunan terminal baru Bandara Husein Sastranegara Bandung dimulai. Waskita Karya, kontraktornya, sanggup mengerjakannya dalam 12 bulan. Dengan demikian, saat HUT kota Bandung September tahun depan, bandara baru bisa jadi kado terbaik.
Direktur Utama PT Angkasa Pura II Tri Sunoko sebenarnya sudah merencanakan pembangunannya tahun lalu. Anggarannya pun sudah siap. Tapi, urusan tukar-menukar lahan baru minggu lalu tuntas.
Bandara Bandung memang unik. Ini adalah bandara milik TNI-AU. Lokasi perluasan itu menyangkut tanah PT Dirgantara Indonesia, PT AP II, dan TNI-AU. Harus ada administrasi yang panjang untuk menyepakatinya agar tidak terjadi masalah di kemudian hari.
Memang bandara Bandung masih termasuk salah satu yang “memalukan”. Mirip dengan kondisi bandara Semarang, Jogja, dan Banjarmasin. Tapi, Bandung sedang dalam pengerjaan. Semarang juga segera mulai. Dua minggu lagi.
Bahkan, seandainya tidak ada masalah lahan, tahun lalu pun pembangunan Bandara Ahmad Yani Semarang yang baru sudah bisa dimulai. Dirut Angkasa Pura I Tommy Soetomo sudah menyediakan dananya sejak tahun lalu.
Bandara Banjarmasin juga sama. Tommy sudah menganggarkan tahun lalu. Persoalan tanah luar biasa alotnya. Tapi, masalah itu kini juga sudah selesai. Dua minggu lagi pekerjaan sudah bisa dimulai. Tinggal Jogja yang masih agak lama. Harus menunggu perpindahan lokasi ke Kulon Progo. Tidak mudah mengadakan lahan hampir 1.000 hektare di lokasi baru.
Setelah Lombok, Medan, Makassar, Riau, Jambi, Palembang, Balikpapan, Denpasar semua memiliki bandara baru dan kalau pembangunan di Bandung, Semarang, Silangit, dan Banjarmasin selesai, praktis tidak ada lagi bandara di bawah BUMN yang masih “memalukan”.
Minggu kemarin, dalam perjalanan menuju Waingapu, saya meninjau (lagi dan lagi) bandara baru Bali. Yang sudah seminggu tidak ke Bali sebaiknya segera ke Bali lagi. Lihatlah terminal domestiknya. Sudah seminggu ini difungsikan. Tidak lagi “nebeng darurat” di terminal baru internasional. Lihatlah ruang check-in-nya. Terbaik di dunia “sepanjang yang saya tahu. Saya lebih menyukai terminal domestik ini daripada terminal internasionalnya yang mewah itu.
Tentu saya juga berkeliling terminal internasional. Atas dan bawah. Sampai ke ruang boarding. “Ini sudah sekelas bandara Hongkong,” ujar saya kepada Herry Sikado, GM Bandara Ngurah Rai, yang selama dua jam menyertai saya “olahraga pagi” jalan cepat dari terminal ke terminal.
“Yang jelas sudah mengalahkan bandara Melbourne dan Sydney,” celetuk Sikado. “Saya baru kembali dari sana,” jelasnya. “Nilai bandara Melbourne kira-kira 7,5. Nilai Ngurah Rai setidaknya 8,5,” tambahnya.
Itu dibenarkan seorang turis asal Perth, Australia Barat. Kepada Sikado, turis tersebut mengatakan, nilai bandara Bali ini sembilan. Bahkan, mungkin sepuluh. “Bandara Perth nilainya delapan,” kata turis itu.
“Revolusi” harga diri juga terjadi di pelabuhan laut. Minggu lalu, dengan agak dipaksakan, saya diminta meresmikan Terminal Penumpang Gapura Surya Nusantara, sebuah terminal modern di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, milik Pelindo III. Saya sebut “agak dipaksakan” karena pelabuhan tersebut sebenarnya baru benar-benar selesai bulan depan. Masih ada beberapa kabel yang belum nyambung.
Masa jabatan saya berakhir pada 18 Oktober minggu depan. Mungkin Dirut Pelindo III ingin agar saya melihat sendiri apakah antara perencanaan dan pelaksanaannya sesuai dengan yang saya harapkan.
“Melebihi yang kita rencanakan,” komentar saya kepada Djarwo Surjanto, Dirut Pelindo III. “Saya tidak menyangka Anda merealisasikannya sebagus ini,” tambah saya sambil menunjuk garbarata.
Garbarata?
Yes! Inilah untuk kali pertama penumpang kapal dilewatkan garbarata. Seperti naik pesawat saja. Tidak lagi lewat tangga di dinding kapal yang bergoyang-goyang itu. Yes! Pelindo III memulainya! Sejarah! Terminalnya pun istimewa. Bandara Halim saja kalah! Bandara Terminal I Surabaya pun takluk!
Tapi, “dendam” saya sebenarnya bukan di Surabaya. Melainkan di Nunukan. Nunukan-lah pelabuhan laut yang langsung berhadapan dengan Malaysia (Tawao, Sabah). Lalu lintasnya sangat ramai. Tapi, pelabuhan penumpangnya ampun-ampun jelek dan semrawutnya!
Rasanya begitu malu. Begitu meninggalkan Tawao dan mendarat di Nunukan, njomplang-nya luar biasa. Seolah-olah bangsa ini memang pantas menjadi pesuruh bangsa Malaysia. Ngurusi pelabuhan saja tidak bisa.
Beda Tawao (Malaysia) dan Nunukan (Indonesia) bukan lagi langit dan bumi. Tapi, langit dan sumur!
Saya langsung menelepon Dirut ASDP Danang Baskoro. “Memalukan,” kata saya. “Ayo kita bangun yang modern. Lebih modern daripada Tawao. Ini persoalan kecil,” kata saya.
“Pak Dahlan, itu bukan milik BUMN,” jawabnya lantas tertawa. Begitu gelinya dia mendengar omelan saya, sampai-sampai gerak bibir Danang terasa di HP saya.
“Kalau begitu, ajukan permintaan untuk kita ambil alih,” kata saya agak malu.
“Hehehe,” jawabnya.
Kini dengan selesainya Terminal Penumpang Gapura Surya di Tanjung Perak, dendam itu setengah terbayar. Thanks, Pak Djarwo!
Jawaban separonya lagi akan diberikan Dirut Pelindo IV Mulyono. Tahun depan. Mulyono sudah menganggarkan akan membangun terminal penumpang di Nunukan. Dirut Pelindo I Bambang Eka Cahyana juga membangun hal yang sama di Pelabuhan Belawan. Saya sudah setujui desainnya.
Pelindo IV-lah yang akan membalaskan “dendam” kita di Nunukan. Inilah SMS Mulyono, dua hari lalu:
“Selamat pagi Pak Dahlan, kami laporkan untuk Nunukan tahun depan kami anggarkan membangun terminal baru yang akan lebih bagus dibandingkan terminal penumpang di Tawao (Malaysia)”.
Alhamdulillah. Tentu bukan pepesan kosong. Bukan pula PHP. Sebagai bukti bahwa tekad itu sudah membaja, Mulyono pun kini menyelesaikan terminal penumpang kapal di Makassar sama modernnya dengan yang baru saya resmikan di Tanjung Perak itu. Juga, menggunakan garbarata dan eskalator-eskalator.
“Tiga bulan lagi garbaratanya sudah terpasang,” ujar Mulyono.
Tentu saya bangga dengan teman-teman BUMN. Saya pun, dari bawah pohon kesambi di pedalaman pulau Sumba yang kering, sambil memandang “kebun kincir angin” ciptaan Ricky Elson, saya membalas SMS itu: “Saya terharu baca SMS Pak Mul. Kalau terminal di Nunukan itu jadi kelak, jangan lupa SMS saya ya. Meskipun saya tidak jadi menteri lagi, saya akan lihat ke sana.”
Pak Mul pun menjawab: “Kami berharap Bapak tetap menyebarkan virus kerja keras, cerdas, dan ikhlas.”
“Amiiin,” batin saya. (*)