Seorang ibu muda dari Padang naik panggung dengan menggendong bayinya yang kira-kira berumur enam bulan. Dia hampir menangis saat curhat betapa sakit hatinya ketika keluarganya menghina-hinanya sebagai ibu yang kurang bermoral. Gara-garanya, dia terus jualan rendang saat bayinya baru berumur satu bulan. Saya ambil bayi itu dari gendongannya. Saya gendong dia. Agar ibunya bisa memegang mik dengan baik. Untuk berbagi curhat kepada anak muda yang memenuhi ballroom hotel terbaik di Batam itu.
Ada juga seorang ustad dengan kopiah model sufi yang curhat. Beliau bergerak di dunia seni dan membina pondok pesantren. Sejak empat tahun lalu beliau memutuskan terjun ke dunia bisnis: jualan bawang goreng. Waktu pertama menggoreng bawang, beliau tahu betapa tidak mudahnya pekerjaan menggoreng bawang merah: gosong semua. Kini beliau sudah ahli. Saya cium tangan beliau.
Bukan karena beliau ustad, tapi untuk mengetahui apakah ada aroma bawang di tangannya. Benar. Bau bawang. Berarti beliau benar-benar terjun sendiri, menggeluti sendiri, dan menjiwai sendiri bisnis itu. Tidak heran kalau usahanya maju. Yang beliau tanyakan: bagaimana bisa maju lebih besar dan lebih cepat?
Saya tidak memberi nasihat yang diminta. Saya hanya menceritakan keyakinan saya bahwa ”seseorang yang secara konsisten dan tidak mudah tergoda dalam menjalani syariat dalam hidup ini akan menemukan hakikatnya sendiri dan makrifatnya sendiri”. Termasuk hakikat dan makrifat dalam bisnis.
Tidak ada hukum bisnis ”besar mendadak”. Kecuali sebangsa mama minta pulsa. Tidak ada orang yang tiba-tiba makrifat. Melihat gelombang kegigihan anak muda, perempuan, dan pemula dalam dunia bisnis ini, saya sangat optimistis akan masa depan Indonesia. Indonesia nanti akan terpaksa maju oleh kian banyaknya orang-orang seperti itu.
Doa saya satu: semoga anak-anak muda seperti itu tidak cepat tergoda oleh dunia politik. Misalnya lebih tertarik menjadi tim sukses. Yang bisa mendapat uang lebih mudah. Daripada berbisnis yang memerlukan ketekunan, kenjelimetan, kegigihan, dan konsistensi tinggi. Yang begitu susahnya. Musuh pemula dalam bisnis adalah godaan-godaan politik seperti itu. Bisa merusak jiwa entrepreneur. Jiwanya yang rusak.
Para pemenang kemarin itu menerima Piala Al Ahmadi. Nama tersebut diambil dari orang Melayu pertama yang jadi konglomerat. Di tahun 1908. Namanya Al Ahmadi. Rumahnya di salah satu pulau di Natuna. Beliau memulai usaha sebagai pedagang kopra, lalu ke hasil bumi lainnya. Sampai memiliki perusahaan percetakan dan penerbit di Singapura dan Johor. Nama grup usahanya Syarkah (Syarikat) Al Ahmadi. Dia sezaman dengan Oei Tiong Ham, konglomerat terbesar Asia saat itu dari Semarang yang juga bergerak di hasil bumi (gula).
Pekan depan saya ingin ceritakan seorang mahasiswa dari Medan yang sudah mulai berusaha dengan mimpinya menjadi Samsungnya Indonesia. Dia juara Piala Al Ahmadi tahun lalu. Berada di tengah lautan anak muda yang memulai usaha ini, saya merasa dunia ini benar-benar lebih luas daripada daun kelor. (*)