Dia tidak diperhitungkan saat mendaftarkan diri jadi calon presiden. Dianggap bukan calon yang serius. Ketika mulai tampak serius, dia dicibir. Bahkan dijadikan bahan lawakan.
Ejekan terus mengalir. Sepanjang proses menuju konvensi Partai Republik. Saat dia mulai memikat, ejekan ditingkatkan jadi serangan. Keburukan demi keburukan ditembakkan ke dia. Dianggap bodoh. Konyol. Brutal. Rasis.
Tapi semua itu hanya membuat namanya kian populer. Terus disebut oleh media: Donald Trump.
Dia memang begitu kelihatan aneh. Norak. Konyol. Tapi di lain pihak dia jadi kelihatan berbeda. Menjadi tokoh yang “bukan biasa”. Lama-lama calon presiden yang lain jadi membosankan. Jadi terlihat mapan. Kuno.
Perkembangan berikutnya pun masih menarik. Trump bukan saja menjadi tokoh. Dia telah berubah menjadi pertunjukan. Enak untuk ditonton. Oleh yang benci maupun yang senang. Dengan kerasisannya, kefanatikannya dan kekonyolannya. Seperti reality show. Seperti Kuya-kuya. Atau Tukul. Atau Sule. Awalnya terasa konyol tapi menghibur. Menyenangkan. Menarik, akhirnya.
Saya sendiri lama-lama kecanduan. Apalagi saya di Amerika. Tontonan itu terasa dekat. Saya jadi sering menunggu Trump tampil di TV. Ingin melihat kenorakannya. Atau mendengar statement kacaunya. Misalnya: “Kalau Hillary itu laki-laki tidak akan bisa dapat suara lima persen.” Atau: “bapaknya Ted Cruz itu pernah ikut Lee Harvey Oswald menyebarkan pamlet pro Fidel Castro.”
Ted Cruz, lawan terberatnya di partai Republik, memang keturunan Kuba. Fidel Castro adalah diktator Kuba yang dibenci Amerika. Dan Oswald adalah orang yang menembak mati presiden John F Kennedy. Trump ingin mengesankan bahwa ayah Cruz terlibat pembunuhan presiden AS yang legendaris itu.
Tidak ada data pendukung. Tapi tepuk tangan pengikutnya gemuruh.
Dua hari kemudian Cruz, anggota parlemen dari Kansas itu lempar handuk. Yakni setelah kalah di pemilu negara bagian Indiana. Tidak mungkin lagi Cruz mengejar.
Trump memang sering menyerang secara pribadi lawan politiknya. John Kasich yang kalem dan langsing itu dia serang dengan panggilan si kurang energi. Padahal menjadi presiden itu perlu banyak energi. Marco Rubio yang tubuhnya mungil itu dia gelari “si kecil Rubio”. Kesannya: mana bisa anak kecil jadi presiden.
Bahkan tokoh yang mendukung Cruz pun ikut dihabisi. John McCain yang saat jadi Capres tujuh tahun lalu membanggakan diri sebagai patriot perang di Vietnam ikut ditumbangkan. “McCain itu bukan pahlawan,” ujar Trump. Itu didasarkan pada fakta bahwa saat perang di Vietnam McCain tertangkap Vietcong. Seorang hero di mata Trump barangkali harus seperti Rambo.
Dia tidak diperhitungkan saat mendaftarkan diri jadi calon presiden. Dianggap bukan calon yang serius. Ketika mulai tampak serius, dia dicibir. Bahkan dijadikan bahan lawakan.
Ejekan terus mengalir. Sepanjang proses menuju konvensi Partai Republik. Saat dia mulai memikat, ejekan ditingkatkan jadi serangan. Keburukan demi keburukan ditembakkan ke dia. Dianggap bodoh. Konyol. Brutal. Rasis.
Tapi semua itu hanya membuat namanya kian populer. Terus disebut oleh media: Donald Trump.
Dia memang begitu kelihatan aneh. Norak. Konyol. Tapi di lain pihak dia jadi kelihatan berbeda. Menjadi tokoh yang “bukan biasa”. Lama-lama calon presiden yang lain jadi membosankan. Jadi terlihat mapan. Kuno.
Perkembangan berikutnya pun masih menarik. Trump bukan saja menjadi tokoh. Dia telah berubah menjadi pertunjukan. Enak untuk ditonton. Oleh yang benci maupun yang senang. Dengan kerasisannya, kefanatikannya dan kekonyolannya. Seperti reality show. Seperti Kuya-kuya. Atau Tukul. Atau Sule. Awalnya terasa konyol tapi menghibur. Menyenangkan. Menarik, akhirnya.
Saya sendiri lama-lama kecanduan. Apalagi saya di Amerika. Tontonan itu terasa dekat. Saya jadi sering menunggu Trump tampil di TV. Ingin melihat kenorakannya. Atau mendengar statement kacaunya. Misalnya: “Kalau Hillary itu laki-laki tidak akan bisa dapat suara lima persen.” Atau: “bapaknya Ted Cruz itu pernah ikut Lee Harvey Oswald menyebarkan pamlet pro Fidel Castro.”
Ted Cruz, lawan terberatnya di partai Republik, memang keturunan Kuba. Fidel Castro adalah diktator Kuba yang dibenci Amerika. Dan Oswald adalah orang yang menembak mati presiden John F Kennedy. Trump ingin mengesankan bahwa ayah Cruz terlibat pembunuhan presiden AS yang legendaris itu.
Tidak ada data pendukung. Tapi tepuk tangan pengikutnya gemuruh.
Dua hari kemudian Cruz, anggota parlemen dari Kansas itu lempar handuk. Yakni setelah kalah di pemilu negara bagian Indiana. Tidak mungkin lagi Cruz mengejar.
Trump memang sering menyerang secara pribadi lawan politiknya. John Kasich yang kalem dan langsing itu dia serang dengan panggilan si kurang energi. Padahal menjadi presiden itu perlu banyak energi. Marco Rubio yang tubuhnya mungil itu dia gelari “si kecil Rubio”. Kesannya: mana bisa anak kecil jadi presiden.
Bahkan tokoh yang mendukung Cruz pun ikut dihabisi. John McCain yang saat jadi Capres tujuh tahun lalu membanggakan diri sebagai patriot perang di Vietnam ikut ditumbangkan. “McCain itu bukan pahlawan,” ujar Trump. Itu didasarkan pada fakta bahwa saat perang di Vietnam McCain tertangkap Vietcong. Seorang hero di mata Trump barangkali harus seperti Rambo.