Demikian juga teknologi CNG (compressed natural gas). Waktu itu diketahui ada sumber gas di daerah yang sedang krisis listrik: Jambi. Tapi sumber gasnya kecil sekali. Tidak ekonomis untuk dialirkan melalui pipa ke pembangkit listrik yang jauh. Diekspor pun tidak mungkin. Akhirnya lebih 10 tahun gas itu tidak dimanfaatkan.
Ada ide cemerlang waktu itu: gas tersebut dipadatkan untuk ditampung dalam sebuah tangki CNG. Tapi belum ada teknologi CNG seperti itu di Indonesia. Yang ada baru CNG dalam tabung-tabung. Akhirnya kami nekat mengadakannya. Hanya karena kami ingin agar gas tersebut tidak mubazir. Daripada PLN pakai genset yang BBM-nya begitu mahal. Akhirnya gas tersebut bisa dimanfaatkan untuk membangkitkan listrik 40 MW. Sangat membantu mengatasi krisis listrik.
Travo 500 kva dan CNG hanyalah contoh rintisan sekaligus terobosan. Dan beberapa lagi. Semua bisa terlaksana. Memang ada resikonya.
Tapi beranikah kini sebuah perusahaan BUMN merealisasikan teknologi baru smelter nickel seperti yang ditemukan Dr.Ir. Sungging Pintowantoro dari ITS itu? Padahal teknologi baru itu sudah melalui penelitian dan ujicoba yang dibiayai negara? Padahal kalau teknologi baru itu diterapkan kita tidak perlu impor coking coal lagi?
Beranikah panitia tendernya? Beranikah menanggung resikonya?
Tentu ada jalan lain yang tidak harus ada resiko itu. Saya bisa mengusulkan rumusan konkritnya. Rumusan itulah yang harus menjadi peraturan. Yakni peraturan yang dijiwai nasionalisme modern.
Memang mengatasi persoalan-persoalan riel seperti inilah yang kini memerlukan perjuangan nasional. Juga perlu kecerdikan. Terobosan. Resiko. Inilah perjuangan nasionalisme modern (Nasmod) yang saya maksud dalam New Hope bulan lalu.
Yang seperti ini tidak bisa diselesaikan dengan slogan. Juga tidak bisa dengan cara dan model perjuangan nasionalisme sempit.
Kita harus punya Nasmod –yang modern itu. (*)