Dua hari setelah sidang DPR sang adik masih bikin tanggapan. Tujuh halaman. Di-upload ke Facebook. Disertai beberapa bukti. Berupa kopi dokumen. Termasuk yang ditandatangani mendiang ayahanda mereka. Heboh lagi.
Klir?
Ternyata tidak. Tambah lebar tuduhan sang adik. Tambah dalam lubang pertengkaran. Begitulah kalau yang bertengkar adalah orang-orang pinter semua. Tiga anak Lee Kuan Yew ini memang terkenal hebat-hebat. Cerdas otaknya. Kuat karakternya. Dan keras sikapnya.
Persis seperti mendiang bapak mereka.
Sang adik menilai sidang pleno DPR itu justru lebih banyak menimbulkan pertanyaan daripada jawaban. Bahwa DPR mendukung sang kakak, ya begitulah.
Mana ada anggota DPR yang berani mengajukan pertanyaan kritis? DPR dikontrol penuh partai penguasa. Pastilah banyak anggota DPR yang bicaranya membeo perdana menteri.
Begitulah tanggapan sang adik. Lebih keras.
Sang adik juga menceritakan riwayat pertengkaran. Lebih dramatis. Lebih rinci. Pertengkaran itu, tulis sang adik, mulai meledak tanggal 12 April 2015. Berarti hanya 20 hari setelah sang ayah meninggal.
Hari itu untuk pertama kalinya wasiat mendiang ayahanda dibacakan. Khususnya pada bab bahwa rumah keluarga itu harus dirobohkan. Segera. Setelah sang ayah meninggal. Atau begitu si anak wanita tidak mau lagi tinggal di situ.
Setelah pembacaan wasiat selesai, si kakak sulung mengatakan bahwa ayahanda sudah berubah pikiran. Rumah keluarga di Jalan Oxley 38 itu tidak harus dirobohkan. Sang ayah, katanya, pernah setuju untuk direnovasi. Ada bukti tertulisnya.
Sang adik keberatan. Rumah harus dirobohkan. Sesuai wasiat terakhir.
Persetujuan untuk renovasi itu tidak bisa ditafsirkan sebagai persetujuan untuk tidak dibongkar. Persetujuan itu sifatnya darurat. Misalnya kalau pemerintah melarang. Kata sang adik: ”Misalnya ada pernyataan ’asuransikanlah buku ini agar kalau terbakar bisa diganti’, itu bukan berarti setuju buku itu dibakar.”