Suatu saat Crystal diajak lari pagi berdua. Di sebuah lapangan golf yang aturannya ketat: tidak boleh dimasuki orang Yahudi.
“Ali,” kata Crystal, “anda kan tahu saya Yahudi.”
“Tenang saja. Saya kan Islam,” jawab Ali.
Setelah tepuk tangan gemuruh hadirin reda, Crystal berubah wajah menjadi haru. “Sejak itu Ali tidak pernah lagi mau lari di lapangan golf tersebut,” katanya.
Ali juga bersedia diajak acara pengumpulan dana untuk perdamaian. Aktivisnya para tokoh kesenian, olahragawan dan ilmuwan. Bahkan Ali adalah bagian dari upaya perdamaian itu sendiri.
Dia menentang perang Vietnam dengan penuh resiko: gelarnya dicopot. Lalu ditambah pula hukumannya: empat tahun tidak boleh naik ring.
Selama menjalani masa sulit itu Ali terus keliling dunia. Ke universitas-universitas. Dari ceramah ke pidato. Untuk kampanye perdamaian.
Ali juga terus memperjuangkan hak-hak orang kulit hitam. Justru di saat posisi orang kulit hitam sangat sulit. Dia memanfaatkan ketenarannya untuk perjuangan menaikkan harkat warga kulit hitam. Yang begitu rendah diri.
“Saya hitam dan saya cantik,” itulah kata-kata Ali yang amat terkenal. Dia tidak segan mengatakan “Saya ini orang kulit hitam”.
“Postur Ali,” ujar Crystal, “memang gabungan antara keperkasaan dan kecantikan.”
Crystal lantas menampilkan gambar-gambar Ali di atas ring. Berbeda dengan bentuk tubuh umumnya petinju.
Ali itu, kata Crystal, juga humoris. Suatu saat “kakak-adik” ini menghadiri upacara pemakaman seorang selebriti yang dikenal sebagai MC terkemuka. Begitu terkenalnya orang sudah langsung tahu siapa dia dari jenis suaranya. Tidak perlu lihat wajahnya.
Selebriti itu sebenarnya botak. Tapi tidak ada yang tahu. Kecuali teman-teman dekatnya seperti Ali dan Crystal.
Sang MC selalu mengenakan rambut palsu yang amat sempurna. Konsisten. Publik tidak ada yang mengira kalau itu rambut palsu.
Di saat “adik-kakak” ini melayat sang MC duduknya berjajar di depan peti mayat.
Saat itulah, kata Crystal, Ali sempat-sempatnya bertanya pada Crystal secara berbisik.
“Apakah mayatnya juga mengenakan rambut palsu,” tanya Ali.
“Saya kira tidak perlu,” jawab Crystal.
“Apakah Tuhan nanti kenal dia?”
“Begitu dia ngomong Tuhan akan langsung tahu siapa dia.”
Crystal heran bagaimana pertanyaan yang dianggap dosa oleh gereja seperti itu sempat-sempatnya terpikir di saat yang suasananya mestinya begitu duka.
Kini, di depan jenazahnya sendiri Ali tidak bisa lagi melucu.
Tapi jutaan orang tertawa-tawa mendengar kisah kelucuannya.
Mungkin kalau Gus Dur meninggal di Amerika, cak Lontong yang akan menggantikan Crystal.(*)