Lengkaplah sudah gelar tradisional kampung ini berpuluh tahun: kumuh, penuh kejahatan, tempat persembunyian, dan pusat kebodohan. Secara singkat sering disimpulkan secara berlebihan: siapa yang masuk ke sana tidak akan keluar dengan selamat.
Situasi seperti itulah yang juga dimanfaatkan oleh jaringan kartel narkotik di zaman Pablo Escobar dulu. Jadi tempat bersembunyi yang ideal. Escobar sendiri mati disergap tidak jauh dari kampung ini.
Ide baru yang inovatif tersebut tidak akan bisa diterapkan kalau Escobar masih eksis. Maka setelah Escobar tewas dan jaringan kartelnya dibasmi ide ini bisa dilaksanakan: membangun alat transpor yang tidak biasa bagi warga kampung termiskin di sana.
Alat angkut yang jadi buah bibir itu adalah: cable car.
Cable car? Untuk angkutan umum? Untuk kampung miskin?
Selama ini kita hanya mengenal cable car hanya untuk turis. Dan hanya bisa dibangun oleh negara yang mampu.
Di Medellin cable car dibangun untuk angkutan umum warga miskin.
Saya tentu tergiur untuk ikut merasakan cable car yang istimewa ini. Pemda kota Medellin menamakannya Metrocable.
“Harus naik Metrocable,” pesan duta besar Indonesia untuk Colombia, Nien xxx saat saya dijamu makan arepa di resto tradisional di Bogota, ibukota Colombia.
Lokasi resto ini di puncak bukit. Dari sini bisa memandang seluruh kota Bogota yang terhampar di bawah sana. Udara 16 derajat Bogota di sore yang cerah itu membuat saya teringat suasana di lereng danau Toba. Udaranya, awannya, bukit-bukitnya, hijaunya, seperti diimpor dari Balige. Hanya di sini danaunya adalah pusat kota Bogota.
Karcis Metrocable di Medellin ini tentu dibuat murah: setara 9.000 rupiah. Ini sudah termasuk seandainya Anda ingin menyambung perjalanan dengan kereta Metro menuju pusat kota Medellin.
Dari stasiun Metrocable terbawah sampai ke kampung paling atas terdapat tiga stasiun. Jarak tempuh 2 km yang dulu 2,5 jam itu cukup diganti Metrocable 20 menit. Kecepatan kereta gantung ini 16 km/jam.
Belakangan Pemkot Medellin membangun sambungan cable car dari stasiun teratas itu ke puncak gunung yang tidak ada kampungnya. Untuk turisme. Dengan jarak lebih pendek tapi dengan tarip dua kali lebih mahal.
Inilah untuk pertama kalinya saya naik kereta gantung dengan pemandangan lautan rumah kumuh di bawahnya.
Kadang-kadang kereta gantung yang saya naiki ini seperi hendak menyenggol atap rumah petak. Tapi saya tidak takut. Kalau pun senggolan itu terjadi tidak akan membahayakan kereta gantung. Pasti atap rumahnya yang copot. Dengan mudah. Atap seng itu kelihatannya tidak dipaku. Hanya ditindih bata. Mungkin, dulunya, tidak mampu membeli paku.
Ternyata bukan hanya saya yang baru pertama naik Metrocable ini. Dua orang di depan saya (satu kereta gantung bisa untuk 8 penumpang) juga baru sekali itu. Padahal dia orang Medellin. Rupanya dia tinggal di bagian kota Medellin yang lebih kaya.
Hari itu hari Minggu. Rekreasinya ke kampung miskin. (*)