Bintuni minggu ini sudah akan berbeda dengan Bintuni minggu lalu. Berbeda pula dengan Bintuni dua tahun silam, saat saya masih menjabat Dirut PLN. Minggu ini Bintuni adalah Bintuni yang berlistrik.
Bukan lagi Bintuni yang gelap gulita, yang dari kegelapannya itu bisa melihat gemerlap cahaya listrik LNG Tangguh di seberang laut sana.
Waktu itu saya bersafari keliling Papua dan bermalam di beberapa kota seperti Sorong, Manokwari, Kaimana, dan Bintuni. Kota Bintuni terletak di tepi pantai utara Teluk Bintuni. Kota itu gelap gulita karena memang tidak berlistrik. Di sepanjang jalan yang terdengar adalah bunyi bising genset-genset kecil milik tiap-tiap toko atau rumah.
Padahal, kota tersebut adalah kota terbesar di kawasan Teluk Bintuni. Padahal, kawasan itu kaya akan minyak dan gas. Padahal, di jarak 70 km dari Bintuni berdiri proyek LNG Tangguh yang gasnya menerangi kota-kota besar di pantai timur Tiongkok.
Dari Kota Bintuni malam itu saya bisa melihat begitu terangnya gemerlap lampu di kompleks LNG Tangguh. Saya langsung berpikir bahwa ini tidak adil. Saya pun terpikir untuk mengetuk hati Tangguh agar bisa mengalokasikan sedikit gasnya untuk Bintuni.
Lima sendok pun sudah cukup. Begitu istilah saya waktu itu. Untuk menggambarkan tidak berartinya jumlah gas yang diperlukan Bintuni jika dibandingkan dengan jumlah gas yang dijadikan LNG di Tangguh.
Kalau saja permintaan “lima sendok gas” itu dikabulkan, saya bermaksud mengalirkannya ke Bintuni melalui pipa kecil bawah laut yang melintasi Teluk Bintuni. Atau menjadikannya listrik di dekat proyek LNG.
Listriknya yang diseberangkan dengan kabel listrik bawah laut. Kebetulan, waktu itu PLN lagi menggalakkan pemasangan kabel bawah laut di berbagai pulau.
Begitu kembali ke Jakarta, saya langsung menghubungi pimpinan tertinggi LNG Tangguh yang berkantor di Jakarta. Saya kemukakan ide itu. Ternyata langsung disambut dengan baik. Pimpinan LNG Tangguh langsung menyanggupi. Boleh dalam bentuk gas maupun listrik. Toh, memang ada sedikit kelebihan listrik di Tangguh.
Kami langsung pilih dalam bentuk listrik saja. Tinggal bangun jaringan kabel bawah laut sejauh 70 km. PLN sudah punya pengalaman membangunnya. Ketika proyek itu akan dilaksanakan, saya harus meninggalkan PLN. Tapi, direksi PLN yang menggantikan saya meneruskan proyek itu. Dan minggu ini proyek itu sudah jadi. Listrik sudah bisa mengalir ke Bintuni.
Saya membayangkan alangkah senangnya pemkab dan rakyat Bintuni. Dari gelap gulita menjadi yang paling terang di kawasan itu. Semoga uji coba kabel yang sudah selesai dipasang itu tidak mengalami banyak masalah. Agar listrik sudah bisa mengalir minggu ini.
Agar inilah Natal pertama dengan listrik. Agar inilah old and new pertama dengan gembira.
Kelak, bayangan saya, jaringan kabel itu bisa diteruskan ke arah Manokwari. Semoga cita-cita itu juga bisa diteruskan oleh direksi PLN sekarang. Dengan demikian, kota-kota kecil yang dilewati jaringan dari Bintuni ke Manokwari itu bisa ikut berlistrik.
Kabel bawah laut yang juga dilanjutkan pembangunannya adalah kabel dari Sembakung di daratan Kalimantan Utara menuju Pulau Nunukan dan terus ke Pulau Sebatik. Sebelum tahun baru juga sudah selesai dipasang. Maka, tidak perlu lagi genset di Nunukan dan Sebatik.
Bahkan, Pulau Sebatik yang separonya adalah wilayah Malaysia itu tidak perlu lagi minder di mata negara tetangga. Saya minta justru kita harus menawarkan kelebihan listrik di Sebatik nanti untuk melistriki Sebatik-nya Malaysia.
Di Sembakung itu memang sudah lama ditemukan sumber gas. Tapi kecil sekali. Hanya 2 mmbtud. Tidak bisa diapa-apakan. Tidak bisa juga dikirim ke mana-mana. Maka, ketika ide membawa listrik lewat kabel bawah laut itu saya kemukakan, pemilik gasnya bersukaria.
Sudah lama perusahaan itu kesulitan menjual gas. Tidak ada yang mau beli. Tidak bisa dimanfaatkan. Terlalu kecil dan terlalu jauh. Padahal, biaya untuk menemukan dan menggali gas itu sangat besar. Kini biaya tersebut bisa diharapkan kembali. Pelan-pelan.
Kabar baik juga datang dari Sumatera Utara (Sumut). Bukan saja krisis listrik di wilayah itu sudah berakhir, tapi tower-tower listrik menuju pembangkit listrik besar di Pangkalan Susu juga bisa berdiri semua.
Itulah salah satu proyek yang paling sulit untuk mengatasi krisis listrik di Sumut. Begitu sulitnya mendirikan tiang-tiang listrik di sepanjang jalur tersebut.
Setidaknya ada sembilan tower yang sulit berdiri karena selalu digergaji orang. Ada yang sampai roboh. Ada yang harus dirobohkan karena berbahaya.
Saya jadi ingin ke Bintuni. Juga ke Nunukan. Juga ingin melihat sendiri tower-tower yang berhasil berdiri di Pangkalansusu itu.
Waktu di PLN saya pernah canangkan moto “jangan mau jadi ban belakang”. Nanti cepat gundul. Mengapa ban belakang cepat gundul” Secara bergurau saya mengemukakan, ban belakang itu cepat gundul karena mikir terus bagaimana cara bisa mengejar ban depan!
Intinya, PLN harus jadi ban depan! Jangan sampai kesibukan utamanya terus-menerus memikirkan krisis listrik. Jadilah ban depan. Listrik harus terus ditambah. Mengimbangi naiknya permintaan listrik dari masyarakat.
Jangan telat menambah listrik di suatu daerah. Jangan sempat krisis lagi dan krisis lagi. Jangan berhenti menambah listrik. Tiap hari, tiap daerah! (*)