Novel itu berkembang menjadi trilogi. Sastrawan Montpellier memberinya penghargaan sastra. Juga menulis rekomendasi: agar novel itu dibaca oleh semua anak sekolah.
Walikota Montpellier ikut bersandar padanya. Saat klub baseball kebanggaan kota itu terancam kesulitan keuangan, sang walikota merayunya untuk menyelamatkannya. Jadilah Mohed yang tidak pernah berolahraga itu bos pemiliknya. Namanya pun banyak ditempelkan di prasasti gedung itu.
“Biasanya, untuk orang Badui, seumur hidup namanya hanya ditulis satu kali di prasasti,” katanya. “Yakni saat meninggal dunia. Di tulis di batu nisan.”
Mohed mengungkapkan semua itu saat berpidato di Monaco tahun lalu. Saat dia menerima penghargaan dari Ernst & Young sebagai Enterpreneur of the Year.
Saya pernah menghadiri forum itu, di situ, di hotel itu, tapi bukan tahun itu. Yakni saat saya terpilih menjadi Enterpreneur of the Year Indonesia. Oleh Ernst & Young. Untuk diadu di tingkat internasional di Monaco. Sekalian nonton F1 yang balapannya lewat jalan di depan hotel.
Saya tidak terpilih. Yang terpilih adalah pengusaha alat kesehatan dari Jerman. Bukan dokter. Bukan sarjana. Tapi bisnis alat kesehatannya mendunia. Bahkan dia menemukan alat perekam otak. Sangat pantas dia terpilih. Saya bukan apa-apanya.
Tahun lalu Mohed yang terpilih. Juga sangat pantas.
Apalagi Mohed sangat unik: Islam, Arab, minoritas, lagi terpojok isyu imigran, terorisme dan kebencian.
Maka suara Mohed sangat pantas didengar. Sebab itu pidatonya dikutip media secara luas. Termasuk yang saya jadikan referensi ini.
Ke luar, ke pemerintah Prancis, dia menyarankan banyak hal untuk mengatasi kekerasan, kemiskinan para imigran dan terorisme. Dia sampai diundang Presiden Prancis, Francois Hollande, untuk mendiskusikannya.
Kepada para imigran sendiri dia menyerukan untuk menghapus kebencian. Kepada siapa saja dan apa saja.
Saya ini, katanya, sejak kecil sudah diajari kebencian. Di mana saja ketemu orang Yahudi, saya diajari harus membunuhnya. Sejak kecil terus diajari itu. (*)