Dan memang sudah mulai banyak pengusaha yang membangun smelter. Tapi pabrik yang dibangun itu jenis yang memerlukan bahan bakar cooking coal. Batubara jenis khusus dengan kalori di atas 7.000. Batubara itu pun harus memiliki kandungan yang sangat khusus: sulfurnya maupun ashnya.
Ternyata kita tidak punya jenis batubara ini. Indonesia memang penghasil utama batubara dunia, tapi tidak memiliki tambang cooking coal. Saya dengar ada sedikit di Kalteng namun belum ekonomis ditambang.
Walhasil kalau semua smelter nickel itu nanti mulai berproduksi kita harus impor batubara jenis cooking coal dalam jumlah besar. Dari Tiongkok atau dari Australia. Sekali lagi kita terbelit dolar. Mau ekspor untuk mendapat dolar namun harus impor yang memakan dolar.
Padahal biaya bahan bakar tersebut mencapai sedikitnya 40% dalam struktur biaya smelter nickel. Dari komposisi seperti itu terlihat bahwa pada dasarnya bahan baku smelter ternyata bukan ore. Melainkan cooking coal. Ini yang kurang kita pikirkan. Dan kini menggelisahkan.
Karena itu, lewat tulisan ini saya mengundang lima orang ahli konversi energi. Atau siapa saja yang memiliki kemampuan “menciptakan” cooking coal ini. Mari kita membuat dan memproduksi cooking coal di dalam negeri. Hubungi saya di disiskan@gmail.com. Maafkan, tolong, hanya yang merasa memiliki kemampuan di bidang ini yang mengirim email ke alamat itu. Mari kita diskusi. Kita pecahkan persoalan ini. Kita rancang sebuah pabrik pembuat cooking coal. Untuk mencukupi kebutuhan smelter kita.
Kalau kita bisa pecahkan persoalan cooking coal ini, kita akan memiliki kenangan yang bersejarah. Berkat kesulitan ekonomi kita melahirkan terobosan yang bermanfaat.
Adakah ide lain untuk membuat terobosan di bidang lain di masa sulit ini? (*)