26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Curhat Dr Suyoto setelah Gagal di Putra Petir

Saat itu Suyoto sudah mengidolakan Prof Dr B.J. Habibie. Bahkan sudah sejak masih SD. Maka ketika mendengar ada beasiswa dari BPPT yang dipimpin Habibie, Suyoto ikut tes. Lulus. Dia pun berangkat ke Jepang. Menyelesaikan S-1. Lalu mendapat beasiswa dari Jepang untuk S-2, bahkan sampai S-3.

Beasiswa Habibie itulah yang terus menghantui jiwanya. Dr Suyoto tidak ingin dianggap sebagai anak durhaka.

Saya tegaskan kepadanya bahwa mengabdi bisa di mana saja. Tidak harus seperti Ricky atau R.J. Lino yang dulu juga sangat dikagumi di luar negeri. Bisa pun menjadi idola anak muda Indonesia itu sudah merupakan pengabdian yang luar biasa. Kita semua, waktu muda, memerlukan inspirasi dari tokoh idola.

Saya melihat anak-anak muda Indonesia yang hebat, yang kini berdiaspora di mana-mana, sebagai kekayaan nasional juga. Bukan pengabai nasionalisme. Mereka adalah kekayaan networks kita.

Di zaman modern, ”network” adalah kekayaan nasional yang tidak tepermanai. Bisa-bisa mengalahkan kekayaan alam. Maka orang seperti Dr Suyoto harus kita lihat sebagai kekayaan networks nasionalisme kita. Ini termasuk dalam nasmod yang saya maksud: nasionalisme modern.

Pengabdian itu begitu luas medannya. Apalagi, Dr Suyoto sudah memutuskan untuk mendirikan wadah perjuangan atas fasilitas perusahaannya. Namanya: Formasi-G. Kependekan dari Forum Komunikasi Masyarakat Indonesia Berwawasan Global.

Dia himpun anak-anak muda kita di berbagai keahlian. Dia himpun apa pun yang jadi unggulan Indonesia. Agar tidak jadi bangsa kalah. Saya hadir waktu Formasi-G dideklarasikan pekan lalu di Universitas Indonesia Jakarta.

Setidaknya Dr Suyoto kini sudah bisa tinggal di Jakarta. Dan berhasil menyekolahkan anak-anaknya yang semula hanya bisa berbahasa Jepang itu di Al Azhar Jakarta. (*)

Saat itu Suyoto sudah mengidolakan Prof Dr B.J. Habibie. Bahkan sudah sejak masih SD. Maka ketika mendengar ada beasiswa dari BPPT yang dipimpin Habibie, Suyoto ikut tes. Lulus. Dia pun berangkat ke Jepang. Menyelesaikan S-1. Lalu mendapat beasiswa dari Jepang untuk S-2, bahkan sampai S-3.

Beasiswa Habibie itulah yang terus menghantui jiwanya. Dr Suyoto tidak ingin dianggap sebagai anak durhaka.

Saya tegaskan kepadanya bahwa mengabdi bisa di mana saja. Tidak harus seperti Ricky atau R.J. Lino yang dulu juga sangat dikagumi di luar negeri. Bisa pun menjadi idola anak muda Indonesia itu sudah merupakan pengabdian yang luar biasa. Kita semua, waktu muda, memerlukan inspirasi dari tokoh idola.

Saya melihat anak-anak muda Indonesia yang hebat, yang kini berdiaspora di mana-mana, sebagai kekayaan nasional juga. Bukan pengabai nasionalisme. Mereka adalah kekayaan networks kita.

Di zaman modern, ”network” adalah kekayaan nasional yang tidak tepermanai. Bisa-bisa mengalahkan kekayaan alam. Maka orang seperti Dr Suyoto harus kita lihat sebagai kekayaan networks nasionalisme kita. Ini termasuk dalam nasmod yang saya maksud: nasionalisme modern.

Pengabdian itu begitu luas medannya. Apalagi, Dr Suyoto sudah memutuskan untuk mendirikan wadah perjuangan atas fasilitas perusahaannya. Namanya: Formasi-G. Kependekan dari Forum Komunikasi Masyarakat Indonesia Berwawasan Global.

Dia himpun anak-anak muda kita di berbagai keahlian. Dia himpun apa pun yang jadi unggulan Indonesia. Agar tidak jadi bangsa kalah. Saya hadir waktu Formasi-G dideklarasikan pekan lalu di Universitas Indonesia Jakarta.

Setidaknya Dr Suyoto kini sudah bisa tinggal di Jakarta. Dan berhasil menyekolahkan anak-anaknya yang semula hanya bisa berbahasa Jepang itu di Al Azhar Jakarta. (*)

Artikel Terkait

Debat

Kisah Ikan Eka

Guo Nian

Sarah’s Bag Itu

Freeport

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/