Banyak pertanyaan yang diajukan ke saya. Khususnya dari golongan Tionghoa. Tetap amankah kami di Indonesia? Apakah benar Indonesia akan jadi Syria? Dan seterusnya.
Kalau kita ikuti media sosial, memang gawat. Seolah-olah. Serba-serem. Seolah-olah. Misalnya, sampai soal kuburan ayahanda Ahok di Belitung. Kuburan itu dirusak warga. Seolah-olah. Seperti pasti dan nyata. Disertai foto kaca pecah di bingkai foto ayah Ahok di batu nisannya. Lalu, saudara kandung Ahok digambarkan merasa terkucil. Pindah ke NTT. Yang mayoritas Kristen.
’’Sudah Anda cek kebenarannya?’’ tanya saya.
’’Tolong jangan percaya dulu. Mungkin memang betul. Tapi mungkin saja tidak betul,’’ jawab saya.
’’Saya akan kirim wartawan ke kuburan tersebut segera. Sabar ya,’’ pinta saya.
Golongan Tionghoa dan saya memang seperti sudah tidak berjarak. Apa saja biasa dicurhatkan kepada saya. Termasuk soal-soal yang sensitif seperti itu. Yang ngeri-ngeri. Kuburan orang tua termasuk bagian yang bisa membakar emosi.
Celoteh kebencian di media sosial (medsos) pun juga di-forward ke saya. Misalnya, soal kafir itu harus dibunuh. Soal meme gambar monyet. Dan banyak lagi.
Mereka tahu saya pribumi. Jawa. Islam. Dari pesantren. Bahkan pimpinan Pesantren Sabilil Muttaqin. Yang mengelola 120 madrasah. Yang pada tahun 1948 sangat menderita. Seluruh kiai pesantren kami dibunuh PKI. Korban PKI itu adalah pakde-pakde saya. Dimasukkan sumur. Hidup-hidup. Mereka juga tahu istri saya pribumi. Suku Banjar. Dari Kalimantan. Berjilbab.
Tapi, mereka juga tahu bahwa saya adalah ketua umum Barongsai Indonesia. Sudah aktif di barongsai sejak Orde Baru. Sejak barongsai masih dilarang. Saat itu saya juga belum tahu politik. Salah satu doa saya masih angudzubillahiminapolitikkotor.
Saya juga ikut di Yayasan Chengho. Istri saya anggota paduan suaranya. Saya sering tersenyum melihat istri manggung bersama para wanita Tionghoa. Kadang istri saya berbaju cheongsam. Menyanyikan lagu wo ai ni. Kadang yang Tionghoa berkerudung. Melantunkan salawat badar.
Diketahui juga bahwa saya sering ikut misa saat perayaan Natal. Ikut Imlek-nya Matakin. Ikut Waisak-nya Buddha. Buddha aliran apa saja. Termasuk ikut Buddha Tzu Chi.
Suatu saat saya diminta memberi sambutan atas nama umat Buddha. Di depan Presiden SBY. Yang belum jadi atasan saya. ’’Sampeyan ini memang Buddh-Is,’’ celetuk menteri agama saat itu, Maftuh Basyuni. ’’Singkatan Buddha Islam,’’ tambahnya, lantas tersenyum.
Merasa tidak ada jarak, curhat personal seperti berikut ini pun bisa terjadi. Yang awalnya membuat perasaan saya risi. Lalu saya sadari. Oh… iya. Agama kami tidak sama. Kultur kami berbeda. Ya sudah. Saya dengarkan saja. Dengan perasaan biasa. Inilah kisahnya:
’’Untung lho Pak, ibu saya itu suka judi,’’ katanya penuh semangat. Wajahnya penuh rasa bahagia. Aneh, pikir saya. Ibunya suka judi kok untung. Ibunya itu sudah tua. Sudah 76 tahun. Janda. Sendirian.
’’Kenapa beruntung?’’ tanya saya.
’’Saya tidak perlu menemani ibu terus. Saya bisa kerja. Tiap hari saya tinggal memberi uang sekian juta. Ibu saya bisa sibuk sehari penuh. Bersenang-senang. Berjudi dengan teman-teman seusianya,’’ katanya. Dia gembira. Sudah merasa bisa berbakti kepada ibunya. Membahagiakannya.