MEDAN, SUMUTPOS.CO – Sempat mendapat penolakan dari warga, pembangunan fasilitas objek wisata di lahan seluas 279 hektar di tiga Desa Kecamatan Ajibata, Kabupaten Toba Samosir, dilanjutkan kembali. Hal ini dilakukan setelah adanya kesepakatan antara Badan Otoritas Pariwisata Danau Toba (BOPDT) dengan masyarakat dalam pertemuan yang digelar Minggu (15/9) lalu.
Direktur Utama (Dirut) BOPDT, Arie Prasetyo menyebutkan, pengerjaan dimulai dengan pembangunan jalan dari The Nomadic Kaldera Toba Escape menuju Batu Silali sepanjang 1.900 meter dan lebar 18 meter. “Pengerjaan dilanjutkan Senin, 16 September 2019n
Setelah sempat terhenti akibat munculnya aksi protes dari masyarakat dari Desa Sigapiton pada awal pengerjaan pada Kamis, 12 September 2019 lalu,” ungkap Arie dalam jumpa pers di Kantor BOPDT di Medan, Selasa (17/9) sore.
Arie juga mengungkapkan, untuk ganti rugi tanaman warga yang terkena dampak pembangunan, tengah dilakukan penghitungan oleh tim terpadu yang dibentuk Pemkab Tobasa. Dengan begitu, keseluruhan tanaman warga akan diberikan ganti rugi. “Kita mendapatkan hak pengelolaan lahan otorita dari Negera. Dalam penyelesaian ini, kami mengacu kepada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 62 tahun 2018 tentang penanganan dampak sosial dari proyek strategis nasional,” jelas Arie.
Dalam Perpres itu, kata Arie, segela bentuk ganti rugi akan diberikan kepada masyarakat yang memiliki tanaman, setelah dilakukan penghitungan keseluruhannya. “Dalam Perpres ini, dampak sosial diselesaikan oleh gubernur. Tapi boleh didelegasikan kepada bupati dimana lokasinya. Karena, bupati yang paham siapa masyarakatnya, siapa menduduk lahan itu. Disepakati didalamnya, penyelesaian dilakukan oleh bupati dengan membentuk tim terpadu untuk merekomendai berapa santunan ganti rugi yang akan diberikan,” bebernya.
Arie memperkirakan, estimasi perhitungan seluruh ganti rugi sekitar Rp180 juta. Untuk proses pembayaran akan dilakukan oleh pihak ketiga.”Kita juga memberikan MoU ganti rugi dalam pinjaman. Bila mana uang tersebut sudah cair, akan dikembalikan,” ungkap Arie.
Kembali pada persoalan pembangunan jalan, BOPDT berharap pembangunan jalan yang pada tahap awal direncanakan sepanjang 1,9 km tersebut dapat berjalan lancar. Mereka menargetkan pembangunan jalan terseubut akan selesai akhir bulan ini. “Pembangunan ini juga akan memberikan dampak baik bagi pertumbuhan ekonomi masyarakat sekitar. Makanya, pembangunan harus segera dilaksanakan,” tegasnya.
Tak Ganggu Permukiman
Selain itu, Arie juga memastikan, pembangunan kawasan pariwisata terintegrasi di lahan seluas 279 hektare tak akan mengganggu permukiman warga. Begitu pula dengan pembangunan jalan pariwisata dari The Nomadic Kaldera Toba Escape menuju Batu Silali sepanjang 1.900 meter dan lebar 18 meter. “Badan Otorita tidak pernah menghancurkan rumah. Tidak mengganggu permukiman masyarakat,” jelas Arie.
Lahan milik Badan Otorita yang akan dibangun, memang berdekatan dengan lima desa. Namun, dari lima desa itu, hanya tiga yang berbatasan langsung seperti Desa Sigapiton, Motung dan Pardamean Sibisa. Sedangkan dua desa lainnya tidak berbatasan langsung yakni, Desa Parsaoran Sibisa dan Horsik. “Pembangunan yang tengah dikerjakan, tidak ada berhubungan fisik dengan Desa Sigapiton. Karena posisinya berada di bawah, diapit dua tebing,” terang Arie.
Hanya saja, di lahan Badan Otorita itu ada tanaman yang merupakan usaha rakyat. Pertemuan sudah digelar untuk menyelesaikan persoalan tersebut pada Jumat (13/9) pekan lalu. “Bekas kawasan hutan, tidak ada yang tinggal di situ. Sudah dilakukan antisipasi untuk hindari adanya longsor, karena wilayah tebing,” imbuhnya.
Sebelumnya, BOPDT sudah mensosialisaikan kepada masyarakat. Dalam sosialisasi itu, masyarakat diberi tahu di lahan Badan Otorita itu akan dibangun perhotelan dan lainnya.
Lebih lanjut dikatakannya, nantinya mereka akan melibatkan masyarakat setempat. Tujuannya, agar masyarakat sekitar dapat ikut merasakan pembangunan kawasan pariwisata terintegrasi di yang berada di wilayah Kabupaten Toba Samsosir (Tobasa).
Masyarakat Tolak Kesepakatan
Namun, pernyataan Dirut BPODT soal sudah adanya kesepakatan dengan masyarakat, dibantah masyarakat adat Bius Raja Naopat. Mereka dengan tegas menolak kesepakatan pada pertemuan yang digelar di Kantor Camat Ajibata, pada Minggu (15/9) lalu tersebut.
Sebagaimana disampaikan masyarakat dalam rapat yang dihadiri Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), poin-poin kesepakatan yang tertera dalam lembar kesepakatan, selain mengecewakan juga sarat keganjilan. Awalnya sebagaimana dijanjikan Kapolres Toba Samosir AKBP Agus Waluyo kepada masyarakat pada Jumat 13 Septembar 2019 lalu, bahwa pada Minggu 15 September akan diadakan mediasi untuk mencari solusi.
Namun menurut masyarakat adat, justru poin kesepakatan sama sekali tidak menampung apa yang menjadi tuntutan masyarakat. Masyarakat adat juga membantah bahwa sudah terjadi kesepakatan seperti yang disampaikan.
Karena pada hasil kesepakatan, tiga marga Raja Bius tidak mau menandatangani kesepakatan tersebut. Kesepakatan hanya ditandatangani oleh satu marga bius yakni Mangatas Butar-butar.
Mangatas sebagai perwakilan Raja Bius Butar-butar mengatakan, dia menandatangani kesepakatan itu dalam keadaan tertekan, proses negosiasi yang tidak tenang dan berjalan tujuh jam membuatnya tidak bisa konsentrasi memahami butir-butir kesepakatan tersebut. Selain itu Mangatas menambahkan, merasa tertekan karena dalam proses negosiasi Kapolres menyatakan akan segera menurunkan dua kompi Brimob untuk mengamankan pembukaan jalan.
Sedangkan tiga marga Raja Bius lainnya, Sirait, Manurung, dan Nadapdap dengan tegas menolak menandatangani kesepakatan itu. Adapun alasan mereka tidak menandatangani karena poin-poin tuntutan yang disampaikan masyarakat tidak ditampung dalam poin kesepakatan akhir yang berisi “Bahwa setiap pembangunan yang akan dilaksanakan di wilayah adat mereka harus terlebih dahulu didiskusikan dan mendapat persetujuan dari masyarakat adat Sigapiton”.
Ke dua, menurut Raja Bius Manurung, bahwa kekuatan para pihak sangat timpang. Di satu sisi pihak BPODT didampingi oleh kapolres, bupati, sekda dan camat. Sementara masyarakat dipaksa berunding tanpa melibatkan lembaga pendamping yang dirasa lebih memahami hokum perundang-undangan dan konsekuensi dari setiap poin kesepakatan.
Ke tiga, waktu negosiasi yang dipaksakan harus selesai dan sampai malam membuat masyarakat adat tidak lagi bisa konsentrasi, di samping itu membatasi keterlibatan kaum perempuan karena waktu yang sampai larut malam, sementara transportasi ke desa sangat terbatas.
Ke empat, butir-butir kesepakatan yang tidak tepat seperti penyebutan “lahan otorita” yang tidak pernah mereka sepakati. “Empat alasan itu menjadi dasar bagi tiga Marga Bius lainnya menolak menandatangani kesepakatan tersebut,” kata Rocky Pasaribu dari KSPPM saat memberikan siaran pers, Senin (16/9) malam.
Sementara dikutip dari laman Facebook Bupati Toba Samosir, Darwin Siagian menyebut, setelah sempat terhenti, pembangunan jalan di lokasi The Kaldera Toba Nomadic Escape Sigapiton, Senin 16 September 2019 resmi dilanjutkan. Disebutkan, pada hari Minggu (15/9) kemarin, bersama Kapolres Toba Samosir telah memediasi antara Badan Pengelola Otorita Danau Toba (BPODT) dengan Bius Raja Paropat Sigapiton. Rapat dilakukan berjalan cukup alot, hampir enam jam, dari sore hingga tengah malam.
“Patut disyukuri, kita akhirnya menemukan kata sepakat, pembangunan jalan bisa dilanjutkan kembali. Dan pada malam itu juga, dilakukan penandatanganan Berita Acara Kesepakatan Bersama oleh ke dua belah pihak. Pagi ini, kita ke lokasi untuk meninjau pelaksanaan pekerjaan seraya memastikan bahwa pekerjaan yang dilakukan tidak melanggar ketentuan dalam Nota Kesepakatan Bersama,” tulis Darwin.
Diketahui sebelumnya, masyarakat Kecamatan Ajibata, Kabupaten Toba Samosir bentrok dengan aparat keamanan di Desa Sigapiton, Kamis 12 September 2019, menyusul rencana pembukaan jalan sejauh 1,9 kilometer dan lebar 18 meter oleh BPODT. Masyarakat protes lahan yang disebut sebagai tanah adat mereka telah dikuasai oleh BPODT. (gus/bbs)