26 C
Medan
Sunday, June 30, 2024

Ada Bali di Serdang Bedagai

Ada Bali di Kabupaten Serdang Bedagai (Sergai). Tidak percaya? Silakan Anda kunjungi Dusun Harapan II (2B), Desa Pegajahan, Kecamatan Pegajahan, Kabupaten Sergai. Di kawasan itu kan terlihat pura dan tata cara layaknya yang ada di Pulau Dewata.

Desa Pegajahan Kecamatan Pegajahan Serdang Bedagai
Desa Pegajahan Kecamatan Pegajahan Serdang Bedagai

Sebagai informasi, di kawasan ini bermukim komunitas etnis Bali yang masih taat pada tradisi. Pura pun megah berdiri, dirawat dan dijaga sedemikian rupa. Bedanya, Pegajahan tidak memiliki pantai. Jadi, Bali yang dimaksud hanya sebatas tata kehidupan. Jadi, jangan bayangkan ada semacam Pantai Kuta maupun Pantai Sanur di tempat itu.

Lalu, bagaimana mencapai daerah Pegajahan? Gampang. Melalui jalur darat, perjalanan ke sana bisa ditempuh kurang lebih dalam tiga jam dari Medan. Pertama-tama Anda harus melewati Deliserdang dulu untuk mencapai Kecamatan Perbaungan Sergai. Dari ekcamatan inilah ada pertigaan menuju Pegajahan. Jangan takut tersesat karena di sisi persimpangan tertulis plang: Desa Pegajahan. Dari persimpangan Jalan Lintas Sumatera di Perbaungan, jarak terbentang ke desa yang dimaksud sepanjang 12 hingga 15 kilometer. Dan, bagi Anda yang tidak menggunakan kendaraan pribadi, Anda akan dilayani becak bermotor (betor) dari persimpangan hingga ke Pegajahan dengan tarif Rp20 ribu-Rp30 ribu.

Menuju Desa Pegajahan sejatinya tak berbeda dengan desa lain yang ada di Sumatera Utara. Anda akan dimanjakan dengan hamparan kebun sawit. Namun, saat memasuki wilayah Dusun Harapan II (2B) disini lah perbedaan muncul. Tampak sebuah pura berwarna hitam dan oranye yang bertuliskan Pura Panataran Dharmaraksaka.

Tidak itu saja, di sisi depan rumah warga tampak tempat sembahyang yang mirip di Bali. Juru Kunci Pura Panataran Dharmaraksaka, I Made Widiya (83), menerangkan asal mula warga Bali ada di Pegajahan karena meletusnya Gunung Agung pada 1960-an lalu. Saking dahsyatnya letusan itu, banyak warga yang eksodus ke luar Pulau Bali. Istilah sederhananya, mereka bertransmigrasi. Nah, sekelompok warga Bali itu memilih Desa Pegajahan Sergai ini. “Saat itu ada 50 kk (Kepala keluarga) yang ditransmgrasikan di tempat ini,” ucapnya.Nah, dari perpindaan itu, kata Made, mereka diberi kesempatan untuk bekerja di perkebunan sawit yang dimiliki PTPN 4 Adolina. Kebanyakan dari mereka dikontrak selama enam tahun dan sebagian diperpanjang. Dari lamanya kontrak yang dibuat oleh PTPN  kala itu, mereka menetap dan membuat rumah di daerah tersebut.

Akhirnya, lama kelamaan dengan semakin banyak penduduk mereka di tempat ini, banyak masyarakat setempat menjuluki Kampung Bali atau juga ada yang menyebutkan Pondok Bali. “Dulu, kami belum mempunyai Pura yang sebesar ini, masih melakukan peribadatan di masing-masing rumah,” jelas Made.

Singkat cerita, sekitar 1989 ada warga Bali yang menghibakan tanahnya dengan luas 3 rantai.. “Dari situ kita sama-sama membangun pura. Setelah selesai Pura ini langsung diresmikan Pemkab Sergai dan menjadi objek wisata,” tambah Made.

Made menjelaskan, warga Bali yang menganut agama Hindu semakin sedikit. Psalnya, sudah banyak yang kembali ke Bali begitu kontrak dengan PTPN selesai. Ada juga yang pindah agama. “Sekarang Umat Hindu Bali di Pegajahaan yang tersisa sekitar  16 KK. Tapi, yang asli dari pertamanya tinggal 7 KK lagi,” ungkapnya.

Nah, kembali lagi ke Pura Penataran Dharmaraksaka ini, dengan keunikannya tempat ini menjadi salah satu objek wisata budaya yang ada di Sergai. Untuk memasuki area ini, tak ada persyaratan tertentu hanya saja bagi wanita yang lagi datang bulan tidak dianjurkan masuk ke tempat peribadatan. Selain itu, setiap pengunjung diusahakan membuka alas kaki.

Di dalam pura yang luasnya 1 rantai ini, terbagi menjadi tiga bagian bangunan. Pertama, nista yakni kaki. Madya atau pinggang. Dan terakhir utama atau kepala. Di area utama terdapat beberapa bangunan-bangunan tempat persembahan umat Hindu Bali ini. Antaranya Patung Saraswati, Anmasana, dan sebagainya.

Sedikit mencerita fungsi bangunan-bangunan ini. Beberapa bangunan tersebut mempunyai arti dan makna tersendiri. Misalkan saja, kata Made, Patung Saraswati yang diyakini Umat Hindu ini adalah yang menerima  turunnya ilmu pengetahuan, jadinya memohon kepadanya untuk mendapatkan ilmu pengetahuan.

Sedangkan Anmasana adalah bangunan yang dilambangkan sebuah gunung, namun dengan adanya naga yang mengikat gunung tersebut. Dari ikatan tersebut, gunung itu berpusing terus dan mengeluarkan air, dan dari situlah munculnya sumber air dan makanan.
Terpisah, Kepala Desa Pegajahan, Muhammad Yamin (47) mengatakan tidak ada perbedaan antara wraga ‘biasa’ dengan yang berasal dari Bali. “Hampir 80 persennya bekerja menjadi petani atau berladang, selebihnya pekerja,” ucapnya.(ban)

Di Langkat Juga Ada Kampung Bali

Di Kabupaten Langkat, ternyata terdapat Kampung Bali juga. Kampung Bali ini letaknya tepat di Desa Paya Tusam, Kecamatan Sei Wampu, Kabupaten Langkat. Untuk menuju ke Kampung Bali ini, jarak yang ditempuh dari Kota Binjai sekitar 30 km.

Pada Nyepi tahun lalu, dengan menggunakan sepeda motor dan melalui jalan berbatu serta terjal, Sumut Pos yang berangkat sekitar pukul 09.30 WIB, akhirnya tiba di Kampung Bali sekitar 12.00 WIB. Sebelum masuk ke lokasi perkampungan itu, terlihat dua gapura yang ukirannya khas dengan bangunan umat Hindu Bali. Bahkan, bunga-bunga bekas sesajen umat Hindu Bali saat melaksanakan sembayang Hari Raya Nyepi masih terlihat di depan gapura.
Melihat hal tersebut, hati serasa tak sabar untuk segera melihat perkampungan Bali itu. Berjarak sekitar 100 meter dari gapura, akhirnya Sumut Pos sampai di Kampung Bali. Namun, saat berada di lokasi pemukiman umat Hindu Bali tersebut, tidak ada terlihat aktivitas, yang terdengar hanya suara hewan peliharan seperti ayam dan suara burung liar.

Karena suasana sangat hening, Sumut Pos keliling sejenak di perkampungan itu untuk mencari seseorang agar dapat memandu. Setelah beberapa menit mencari warga setempat, barulah Sumut Pos bertemu dengan seorang pemuda bernama Ketut Budiman yang hendak keluar dari rumah untuk berkunjung ke rumah tetangganya. Ketika pertama kali bertemu, pemuda itu menyambut dengan ramah, seakan sudah berkenalan lama.

Selanjutnya, Sumut Pos dibawa ke rumah Kepala Dusun, Nyoman Sumandro. Di sana, Sumut Pos dijelaskan, terkait asal muasal Kampung Bali di Kabupaten Langkat tersebut. Menurut Nyoman Sumandro, Kampung Bali pertama kali berdiri di Langkat sekitar tahun 1970. Ketika itu, Sebanyak 15 Kepala Keluarga (KK) dari Bali, dikontrak untuk mengelola sebuah kebun di daerah Kecamatan Wampu, Kabupaten Langkat.

“Kontrak itu dilakukan hanya selama 6 tahun. Ketika masa kontrak sudah mulai berakhir, para orangtua kami berpikir mau tinggal di mana. Akhirnya, dicarilah lahan kosong yang disebut sebagai Tanah Negara Bebas (TNB). Sehingga, ditemukanlah tempat ini dan sekarang terus berkembang,” jelas Nyoman Sumandro.

Setelah kampung ini berkembang, sambungnya jumlah penduduknya juga semakin banyak. Sehingga, sebahagian penduduknya memilih untuk meninggalkan Kampung Bali tersebut. “Sekarang ini sudah ada 40-an KK, dengan jumlah penduduk ditaksir mencapai 160 jiwa. Kalau warga yang lain tidak berangkat dari kampung ini, saya rasa lebih banyak lagi. Mereka pergi karena areal pemukiman di sini dikhawatirkan tidak dapat menampung jumlah pennduduk jika terlalu banyak,” ungkapnya, seraya menambahkan, warga yang pergi ada yang kembali ke Bali dan juga memilih ke Pekanbaru, Riau.

Kalau dahulu, kenang Sumandro, Kampung Bali masih terlihat asri. “Dulu belum ada pura seperti saat ini. Orangtua kami sembahyang dengan pura yang dibuat dengan daun dedep yang dipancang dengan empat sudut. Semakin berkembangnya zaman, pada 1976 pura baru dibangun,” terangnya, seraya menambahkan, ketika Nyepi tiba, keluarga dari Kuta Bali sering datang berkunjung ke kampung mereka. (red)

Ada Bali di Kabupaten Serdang Bedagai (Sergai). Tidak percaya? Silakan Anda kunjungi Dusun Harapan II (2B), Desa Pegajahan, Kecamatan Pegajahan, Kabupaten Sergai. Di kawasan itu kan terlihat pura dan tata cara layaknya yang ada di Pulau Dewata.

Desa Pegajahan Kecamatan Pegajahan Serdang Bedagai
Desa Pegajahan Kecamatan Pegajahan Serdang Bedagai

Sebagai informasi, di kawasan ini bermukim komunitas etnis Bali yang masih taat pada tradisi. Pura pun megah berdiri, dirawat dan dijaga sedemikian rupa. Bedanya, Pegajahan tidak memiliki pantai. Jadi, Bali yang dimaksud hanya sebatas tata kehidupan. Jadi, jangan bayangkan ada semacam Pantai Kuta maupun Pantai Sanur di tempat itu.

Lalu, bagaimana mencapai daerah Pegajahan? Gampang. Melalui jalur darat, perjalanan ke sana bisa ditempuh kurang lebih dalam tiga jam dari Medan. Pertama-tama Anda harus melewati Deliserdang dulu untuk mencapai Kecamatan Perbaungan Sergai. Dari ekcamatan inilah ada pertigaan menuju Pegajahan. Jangan takut tersesat karena di sisi persimpangan tertulis plang: Desa Pegajahan. Dari persimpangan Jalan Lintas Sumatera di Perbaungan, jarak terbentang ke desa yang dimaksud sepanjang 12 hingga 15 kilometer. Dan, bagi Anda yang tidak menggunakan kendaraan pribadi, Anda akan dilayani becak bermotor (betor) dari persimpangan hingga ke Pegajahan dengan tarif Rp20 ribu-Rp30 ribu.

Menuju Desa Pegajahan sejatinya tak berbeda dengan desa lain yang ada di Sumatera Utara. Anda akan dimanjakan dengan hamparan kebun sawit. Namun, saat memasuki wilayah Dusun Harapan II (2B) disini lah perbedaan muncul. Tampak sebuah pura berwarna hitam dan oranye yang bertuliskan Pura Panataran Dharmaraksaka.

Tidak itu saja, di sisi depan rumah warga tampak tempat sembahyang yang mirip di Bali. Juru Kunci Pura Panataran Dharmaraksaka, I Made Widiya (83), menerangkan asal mula warga Bali ada di Pegajahan karena meletusnya Gunung Agung pada 1960-an lalu. Saking dahsyatnya letusan itu, banyak warga yang eksodus ke luar Pulau Bali. Istilah sederhananya, mereka bertransmigrasi. Nah, sekelompok warga Bali itu memilih Desa Pegajahan Sergai ini. “Saat itu ada 50 kk (Kepala keluarga) yang ditransmgrasikan di tempat ini,” ucapnya.Nah, dari perpindaan itu, kata Made, mereka diberi kesempatan untuk bekerja di perkebunan sawit yang dimiliki PTPN 4 Adolina. Kebanyakan dari mereka dikontrak selama enam tahun dan sebagian diperpanjang. Dari lamanya kontrak yang dibuat oleh PTPN  kala itu, mereka menetap dan membuat rumah di daerah tersebut.

Akhirnya, lama kelamaan dengan semakin banyak penduduk mereka di tempat ini, banyak masyarakat setempat menjuluki Kampung Bali atau juga ada yang menyebutkan Pondok Bali. “Dulu, kami belum mempunyai Pura yang sebesar ini, masih melakukan peribadatan di masing-masing rumah,” jelas Made.

Singkat cerita, sekitar 1989 ada warga Bali yang menghibakan tanahnya dengan luas 3 rantai.. “Dari situ kita sama-sama membangun pura. Setelah selesai Pura ini langsung diresmikan Pemkab Sergai dan menjadi objek wisata,” tambah Made.

Made menjelaskan, warga Bali yang menganut agama Hindu semakin sedikit. Psalnya, sudah banyak yang kembali ke Bali begitu kontrak dengan PTPN selesai. Ada juga yang pindah agama. “Sekarang Umat Hindu Bali di Pegajahaan yang tersisa sekitar  16 KK. Tapi, yang asli dari pertamanya tinggal 7 KK lagi,” ungkapnya.

Nah, kembali lagi ke Pura Penataran Dharmaraksaka ini, dengan keunikannya tempat ini menjadi salah satu objek wisata budaya yang ada di Sergai. Untuk memasuki area ini, tak ada persyaratan tertentu hanya saja bagi wanita yang lagi datang bulan tidak dianjurkan masuk ke tempat peribadatan. Selain itu, setiap pengunjung diusahakan membuka alas kaki.

Di dalam pura yang luasnya 1 rantai ini, terbagi menjadi tiga bagian bangunan. Pertama, nista yakni kaki. Madya atau pinggang. Dan terakhir utama atau kepala. Di area utama terdapat beberapa bangunan-bangunan tempat persembahan umat Hindu Bali ini. Antaranya Patung Saraswati, Anmasana, dan sebagainya.

Sedikit mencerita fungsi bangunan-bangunan ini. Beberapa bangunan tersebut mempunyai arti dan makna tersendiri. Misalkan saja, kata Made, Patung Saraswati yang diyakini Umat Hindu ini adalah yang menerima  turunnya ilmu pengetahuan, jadinya memohon kepadanya untuk mendapatkan ilmu pengetahuan.

Sedangkan Anmasana adalah bangunan yang dilambangkan sebuah gunung, namun dengan adanya naga yang mengikat gunung tersebut. Dari ikatan tersebut, gunung itu berpusing terus dan mengeluarkan air, dan dari situlah munculnya sumber air dan makanan.
Terpisah, Kepala Desa Pegajahan, Muhammad Yamin (47) mengatakan tidak ada perbedaan antara wraga ‘biasa’ dengan yang berasal dari Bali. “Hampir 80 persennya bekerja menjadi petani atau berladang, selebihnya pekerja,” ucapnya.(ban)

Di Langkat Juga Ada Kampung Bali

Di Kabupaten Langkat, ternyata terdapat Kampung Bali juga. Kampung Bali ini letaknya tepat di Desa Paya Tusam, Kecamatan Sei Wampu, Kabupaten Langkat. Untuk menuju ke Kampung Bali ini, jarak yang ditempuh dari Kota Binjai sekitar 30 km.

Pada Nyepi tahun lalu, dengan menggunakan sepeda motor dan melalui jalan berbatu serta terjal, Sumut Pos yang berangkat sekitar pukul 09.30 WIB, akhirnya tiba di Kampung Bali sekitar 12.00 WIB. Sebelum masuk ke lokasi perkampungan itu, terlihat dua gapura yang ukirannya khas dengan bangunan umat Hindu Bali. Bahkan, bunga-bunga bekas sesajen umat Hindu Bali saat melaksanakan sembayang Hari Raya Nyepi masih terlihat di depan gapura.
Melihat hal tersebut, hati serasa tak sabar untuk segera melihat perkampungan Bali itu. Berjarak sekitar 100 meter dari gapura, akhirnya Sumut Pos sampai di Kampung Bali. Namun, saat berada di lokasi pemukiman umat Hindu Bali tersebut, tidak ada terlihat aktivitas, yang terdengar hanya suara hewan peliharan seperti ayam dan suara burung liar.

Karena suasana sangat hening, Sumut Pos keliling sejenak di perkampungan itu untuk mencari seseorang agar dapat memandu. Setelah beberapa menit mencari warga setempat, barulah Sumut Pos bertemu dengan seorang pemuda bernama Ketut Budiman yang hendak keluar dari rumah untuk berkunjung ke rumah tetangganya. Ketika pertama kali bertemu, pemuda itu menyambut dengan ramah, seakan sudah berkenalan lama.

Selanjutnya, Sumut Pos dibawa ke rumah Kepala Dusun, Nyoman Sumandro. Di sana, Sumut Pos dijelaskan, terkait asal muasal Kampung Bali di Kabupaten Langkat tersebut. Menurut Nyoman Sumandro, Kampung Bali pertama kali berdiri di Langkat sekitar tahun 1970. Ketika itu, Sebanyak 15 Kepala Keluarga (KK) dari Bali, dikontrak untuk mengelola sebuah kebun di daerah Kecamatan Wampu, Kabupaten Langkat.

“Kontrak itu dilakukan hanya selama 6 tahun. Ketika masa kontrak sudah mulai berakhir, para orangtua kami berpikir mau tinggal di mana. Akhirnya, dicarilah lahan kosong yang disebut sebagai Tanah Negara Bebas (TNB). Sehingga, ditemukanlah tempat ini dan sekarang terus berkembang,” jelas Nyoman Sumandro.

Setelah kampung ini berkembang, sambungnya jumlah penduduknya juga semakin banyak. Sehingga, sebahagian penduduknya memilih untuk meninggalkan Kampung Bali tersebut. “Sekarang ini sudah ada 40-an KK, dengan jumlah penduduk ditaksir mencapai 160 jiwa. Kalau warga yang lain tidak berangkat dari kampung ini, saya rasa lebih banyak lagi. Mereka pergi karena areal pemukiman di sini dikhawatirkan tidak dapat menampung jumlah pennduduk jika terlalu banyak,” ungkapnya, seraya menambahkan, warga yang pergi ada yang kembali ke Bali dan juga memilih ke Pekanbaru, Riau.

Kalau dahulu, kenang Sumandro, Kampung Bali masih terlihat asri. “Dulu belum ada pura seperti saat ini. Orangtua kami sembahyang dengan pura yang dibuat dengan daun dedep yang dipancang dengan empat sudut. Semakin berkembangnya zaman, pada 1976 pura baru dibangun,” terangnya, seraya menambahkan, ketika Nyepi tiba, keluarga dari Kuta Bali sering datang berkunjung ke kampung mereka. (red)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/