25 C
Medan
Sunday, September 29, 2024

Care Giver Bukan Care Provider

Ini adalah cerita dari seorang aktivis Tzu Chi tentang gerakan kemanusiaan dengan dasar Buddhisme yang dirintis pendirinya dari Taiwan. Salah satu aktivitasnya adalah penyaluran bantuan kemanusiaan kepada siapapun tanpa melihat suku, agama, ras, maupun golongan.

Ketika membantu korban gempa bumi besar di Aceh pada 2004, para aktivis itu justru diminta mengatakan terima kasih setiap kali selesai mendistribusikan sumbangan kepada para korban bencana.

“Aneh, kenapa kok begitu?” tanya saya penuh rasa heran. Ternyata, mereka harus berterima kasih karena telah diberi kesempatan untuk ikut membantu saudara-saudara yang sedang dilanda derita di Aceh.

Saya teringat saat saya berusaha menolong seorang nenek yang terjatuh di sebuah stasiun bawah tanah di New York City. Dia membawa tongkat putih yang biasa dipakai para tunanetra. Tapi, ketika saya ulurkan tangan untuk membantu, dia menolak. Alasannya, si nenek ternyata ingin menunjukkan bahwa dirinya bisa mandiri.

Karena itu, saya yang lantas minta maaf karena ingin menolong tanpa bertanya terlebih dahulu apakah dia butuh bantuan atau tidak. Dua ilustrasi tentang pertolongan itu adalah hal yang beda, tapi saling berkaitan. Yang pertama, ketika bantuan diterima, si pemberi mengucapkan terima kasih. Sedangkan yang kedua, saya justru harus minta maaf tatkala bantuan ditolak.

Dua hal tersebut merupakan transaksi kemanusiaan, bukan transaksi penjualan. Suatu transaksi penjualan yang termasuk service guarantee di dalamnya adalah sesuatu yang bersifat bisnis.

I scratch your back, and you scratch my back. Ada maunya! Artinya, service diberikan supaya customer puas dan akhirnya berujung loyalitas. Karena itulah, pemberi service disebut service provider. Selalu ada hitung-hitungan return on investment karena service memang harus diartikan sebagai investment, bukan cost.

Tapi, pada saat ini muncul tren baru di dunia pelayanan. Tidak ada bukti adanya korelasi positif antara service dan loyalty. Service sering dianggap sebagai sesuatu yang taken for granted “sesuatu yang memang harus ada. Apalagi, semua perusahaan sudah sadar dan meningkatkan service secara terus-menerus. Sebab, customer menuntut pelayanan yang makin tinggi sampai suatu titik yang tidak masuk akal.

Padahal, tidak semua permintaan customer harus dituruti. Service sekarang hanya jadi hygiene element. Harus ada, tapi bukan competitive element. Sedang care yang dijalankan secara spontan dalam sebuah transaksi kemanusiaan akan benar-benar dirasakan otentik oleh customer. Karena itulah, pemberi care disebut care giver, bukan care provider. Disebut begitu karena pemberi care memang tidak boleh jadi sekadar caretaker. Apalagi hanya berbasa-basi mengatakan take care kepada pelanggan.
Bagaimana pendapat Anda? (*)

Ini adalah cerita dari seorang aktivis Tzu Chi tentang gerakan kemanusiaan dengan dasar Buddhisme yang dirintis pendirinya dari Taiwan. Salah satu aktivitasnya adalah penyaluran bantuan kemanusiaan kepada siapapun tanpa melihat suku, agama, ras, maupun golongan.

Ketika membantu korban gempa bumi besar di Aceh pada 2004, para aktivis itu justru diminta mengatakan terima kasih setiap kali selesai mendistribusikan sumbangan kepada para korban bencana.

“Aneh, kenapa kok begitu?” tanya saya penuh rasa heran. Ternyata, mereka harus berterima kasih karena telah diberi kesempatan untuk ikut membantu saudara-saudara yang sedang dilanda derita di Aceh.

Saya teringat saat saya berusaha menolong seorang nenek yang terjatuh di sebuah stasiun bawah tanah di New York City. Dia membawa tongkat putih yang biasa dipakai para tunanetra. Tapi, ketika saya ulurkan tangan untuk membantu, dia menolak. Alasannya, si nenek ternyata ingin menunjukkan bahwa dirinya bisa mandiri.

Karena itu, saya yang lantas minta maaf karena ingin menolong tanpa bertanya terlebih dahulu apakah dia butuh bantuan atau tidak. Dua ilustrasi tentang pertolongan itu adalah hal yang beda, tapi saling berkaitan. Yang pertama, ketika bantuan diterima, si pemberi mengucapkan terima kasih. Sedangkan yang kedua, saya justru harus minta maaf tatkala bantuan ditolak.

Dua hal tersebut merupakan transaksi kemanusiaan, bukan transaksi penjualan. Suatu transaksi penjualan yang termasuk service guarantee di dalamnya adalah sesuatu yang bersifat bisnis.

I scratch your back, and you scratch my back. Ada maunya! Artinya, service diberikan supaya customer puas dan akhirnya berujung loyalitas. Karena itulah, pemberi service disebut service provider. Selalu ada hitung-hitungan return on investment karena service memang harus diartikan sebagai investment, bukan cost.

Tapi, pada saat ini muncul tren baru di dunia pelayanan. Tidak ada bukti adanya korelasi positif antara service dan loyalty. Service sering dianggap sebagai sesuatu yang taken for granted “sesuatu yang memang harus ada. Apalagi, semua perusahaan sudah sadar dan meningkatkan service secara terus-menerus. Sebab, customer menuntut pelayanan yang makin tinggi sampai suatu titik yang tidak masuk akal.

Padahal, tidak semua permintaan customer harus dituruti. Service sekarang hanya jadi hygiene element. Harus ada, tapi bukan competitive element. Sedang care yang dijalankan secara spontan dalam sebuah transaksi kemanusiaan akan benar-benar dirasakan otentik oleh customer. Karena itulah, pemberi care disebut care giver, bukan care provider. Disebut begitu karena pemberi care memang tidak boleh jadi sekadar caretaker. Apalagi hanya berbasa-basi mengatakan take care kepada pelanggan.
Bagaimana pendapat Anda? (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/