27 C
Medan
Monday, October 21, 2024
spot_img

Ini Dampak Ekonomi dari Fremantle-Bali Yacht Race 2017

Peserta Fremantle-Bali Yacht Race 2017ada 70 orang, plus keluarga 52 orang.

Peningkatan pelayanan memang menjadi nyawa dari wisata yacht. Clearance in and out, Custom, Immigation Stamp Passport, karantina dan Syahbandar harus all out memback up ini bila ingin wisata yacht Indonesia berkompetisi dengan global player lainnya. Dan hal ini ikut diamini Bernie Kaaks, Principal Race Officer. “Saya lihat pelayanan sudah jauh lebih bagus. Tinggal klik http://yachters-indonesia.id dan mengisi form yang tersedia, yachter sudah bisa masuk ke Indonesia. Sudah jauh lebih simpel,” katanya.

Tapi, itu saja rupanya belum cukup. Setelah sandar, yachter butuh layanan satu atap. Custom, Imigrasi, karantina dan Syahbandar, harus ada di satu marina untuk mempermudah mobilisasi yachter saat ingin berwisata di darat. “Sekarang itu belum ada. Kantor pelayanan masih terpisah-pisah. Tidak dalam satu lokasi. Kami jadi harus mengeluarkan ekstra cost untuk mengurus perizinan setelah sandar di marina,” ungkapnya.

Robbie Hearse, pemilik kapal layar Kondili juga senada. Layanan untuk yachter menurutnya harus stand by 7 x 24 jam lantaran dalam race, tiap peserta tidak finish dalam rentang periode waktu yang sama. “Ada yang finish pagi, siang, sore, malam, malah ada yang beda hari. Jadi harus full 7 x 24 jam. Hari ini, Minggu 21 Mei 2017, saya tidak bisa keluar Indonesia karena tidak ada layanan karantina,” ungkapnya.

Sementara Garth Curran, pemilik Walk on The Wildside, berharap ada revisi zona exit point. Terutama bagi kapal layar yang datang dari Bali Marina. “Saya dan beberapa kawan awalnya ingin ke Labuan Bajo melihat Komodo. Tapi tidak ada exit point di sana. Yang ada di Kupang. Di perahu layar yang tidak mengandalkan mesin, ini jadi persoalan besar karena untuk menuju Kupang, kami dipaksa harus melawan angin. Ini sangat tidak mungkin. Satu lagi, Indonesia perlu jalur wisata kapal layar nasional. Kalau ini ada, yachter dunia jadi punya panduan berlayar di jalur yang sangat aman,” ungkapnya.

Mendengar ini, Menpar Arief Yahya langsung memerintahkan seluruh jajarannya untuk segera berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga terkait. Misinya, memperbaiki semua pelayanan yang terkait dengan wisata yacht.

“Ini masukan bagus. Akan segera saya tindaklanjuti dengan kementerian dan lembaga terkait. Semua marina di Indonesia haus bisa menaikkan level service of excellent-nya. Marina itu membangun kesan pertama. Semua orang tahu, kesan pertama itu harus menggoda! Selanjutnya: harus sangat hebat dengan menggunakan global standart,” ungkap dia. (rel)

Peserta Fremantle-Bali Yacht Race 2017ada 70 orang, plus keluarga 52 orang.

Peningkatan pelayanan memang menjadi nyawa dari wisata yacht. Clearance in and out, Custom, Immigation Stamp Passport, karantina dan Syahbandar harus all out memback up ini bila ingin wisata yacht Indonesia berkompetisi dengan global player lainnya. Dan hal ini ikut diamini Bernie Kaaks, Principal Race Officer. “Saya lihat pelayanan sudah jauh lebih bagus. Tinggal klik http://yachters-indonesia.id dan mengisi form yang tersedia, yachter sudah bisa masuk ke Indonesia. Sudah jauh lebih simpel,” katanya.

Tapi, itu saja rupanya belum cukup. Setelah sandar, yachter butuh layanan satu atap. Custom, Imigrasi, karantina dan Syahbandar, harus ada di satu marina untuk mempermudah mobilisasi yachter saat ingin berwisata di darat. “Sekarang itu belum ada. Kantor pelayanan masih terpisah-pisah. Tidak dalam satu lokasi. Kami jadi harus mengeluarkan ekstra cost untuk mengurus perizinan setelah sandar di marina,” ungkapnya.

Robbie Hearse, pemilik kapal layar Kondili juga senada. Layanan untuk yachter menurutnya harus stand by 7 x 24 jam lantaran dalam race, tiap peserta tidak finish dalam rentang periode waktu yang sama. “Ada yang finish pagi, siang, sore, malam, malah ada yang beda hari. Jadi harus full 7 x 24 jam. Hari ini, Minggu 21 Mei 2017, saya tidak bisa keluar Indonesia karena tidak ada layanan karantina,” ungkapnya.

Sementara Garth Curran, pemilik Walk on The Wildside, berharap ada revisi zona exit point. Terutama bagi kapal layar yang datang dari Bali Marina. “Saya dan beberapa kawan awalnya ingin ke Labuan Bajo melihat Komodo. Tapi tidak ada exit point di sana. Yang ada di Kupang. Di perahu layar yang tidak mengandalkan mesin, ini jadi persoalan besar karena untuk menuju Kupang, kami dipaksa harus melawan angin. Ini sangat tidak mungkin. Satu lagi, Indonesia perlu jalur wisata kapal layar nasional. Kalau ini ada, yachter dunia jadi punya panduan berlayar di jalur yang sangat aman,” ungkapnya.

Mendengar ini, Menpar Arief Yahya langsung memerintahkan seluruh jajarannya untuk segera berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga terkait. Misinya, memperbaiki semua pelayanan yang terkait dengan wisata yacht.

“Ini masukan bagus. Akan segera saya tindaklanjuti dengan kementerian dan lembaga terkait. Semua marina di Indonesia haus bisa menaikkan level service of excellent-nya. Marina itu membangun kesan pertama. Semua orang tahu, kesan pertama itu harus menggoda! Selanjutnya: harus sangat hebat dengan menggunakan global standart,” ungkap dia. (rel)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/