27 C
Medan
Wednesday, July 3, 2024

Film Mata Tertutup

Menolak Radikalisme Agama

Salah satu ilmu pelajaran yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari diantaranya ialah melalui layar lebar alias film, dengan cara inilah SET Film dan MAARIF Production mempersembahkan Mata Tertutup, sebuah film karya Garin Nugroho.

Film ini merupakan salah satu bentuk dari rentetan Program Pendidikan Kewarganegaraan untuk memperkuat Karakter Bangsa yang dipersiapkan oleh MAARIF Institut.

Mata Tertutup merupakan rangkaian dari Tiga kisah dalam satu film yang dirangkai menjadi satu cerita panjang. Tentang wajah kehidupan beragama masyarakat Indonesia yang ditafsirkan sedang galau. Potret abu-abu tentang kehidupan agamis yang abangan sampai memetamorfosa pemeluknya menjadi fundamentalis yang salah arah. Mengajak kita yang merasa beragama mempertanyakan lagi, “Sudah benarkah saya memahami agama yang saya anut?”

Alfin (Kiki The Potters), Momon (Bryan McKenzie), Farhan (Zacky Zimah), dan Juned (Ajun Perwira) adalah empat sekawan yang hidup bersama di satu rumah kontrakan. Mereka sama-sama anak rantau dan berkuliah di kampus yang sama. Masing-masing punya sifat dan kelakuan yang berlainan. Meskipun begitu mereka selalu tolong-menolong tanpa pamrih (kecuali kepepet). Selain Farhan yang alim, tiga yang penghuni yang lain adalah sekelompok playboy yang ingin mendapatkan cewek cantik dan kaya.

Farhan mencoba mendekati Aisyah, gadis berkerudung di kampusnya. Mendengar ayah Aisyah sakit, Farhan lantas ingin memberi bantuan finansial. Sayangnya, untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri Farhan sering kesusahan. Ia pun jadi makin putus asa setelah tahu Aisyah dipersunting seorang tua untuk menjadi istri kelimanya dengan imbalan biaya operasi ayahnya ditanggung sepenuhnya.

Sedang Juned, playboy yang sok kaya, mengejar gadis model di kampus. Setelah berbohong tentang kekayaan orangtuanya, Juned pun diterima sebagai pacar gadis model tersebut. Namun, biaya pacaran yang melambung tinggi, membuat Juned akhirnya menyerah.

Satu ketika, empat sekawan ini menolong wanita cantik dan seksi bernama Sheila (Tya Restyana) yang sedang diganggu preman. Sheila malam itu memohon tinggal sementara di rumah mereka. Sheila pun bercerita tentang nasibnya yang malang. Ia merasa telah ditipu oleh orang yang menjanjikan pekerjaan setibanya di kota. Sewaktu di desa, Sheila dijanjikan akan bekerja jadi karyawan pertokoan, tapi malah didesak-desak bekerja sebagai pelacur. Padahal, Sheila bertekad mengumpulkan uang demi membantu panti asuhan tempatnya dibesarkan. Farhan, Juned, Momon dan Alfin pun tersentuh. Mereka sepakat untuk mendapatkan uang sebanyak mungkin guna membantu tujuan Sheila.

Meskipun masih berstatus mahasiswa, dan karakterisasi Farhan yang alim, pemilihan jalan keluar untuk mendapat uang dalam waktu singkat dengan cara menggandakan uang terasa janggal dan dipaksakan. Hal tersebut bertolak belakang dengan yang telah mereka lakukan di awal cerita. Untuk bertemu dengan dukun pengganda uang, mereka harus menempuh perjalanan menantang. Dan sekali lagi, ketemu pocong.

Satu celah besar kegagalan film ini dalam menyajikan sajian yang menarik adalah karena penggarapannya yang dipaksakan meniru format Warkop DKI, namun hasilnya tak selucu yang diharapkan. Komedi satir yang dihadirkan adalah komedi yang membahas kekurangan fisik, sehingga terkesan garing dalam beberapa adegan. Beberapa adegan malah diletakkan tanpa tujuan yang jelas dan jadinya kurang menyatu dengan keseluruhan cerita. (net/jpnn)

Satu Lagi dari Garin

Film Mata Tertutup, sebuah film Indonesia yang paling tegas menyuarakan sikap anti fundamentalisme agama, beredar di jaringan Bioskop 21/XXI mulai Kamis (15/3) lalu.

Film karya terbaru garapan Sutradara Garin Nugroho ini, akan menyapa penggemar film di tanah air setelah melakukan “world premiere” di Festival Film Internasional Rotterdam (IFFR) di Belanda, pada akhir Januari lalu dan diputar dalam peringatan Hari HAM Se-Dunia, pada awal Desember lalu di Pusat Kebudayaan Erasmus Huis oleh Kedutaan Belanda.

“Penayangan film Mata Tertutup ini, dilakukan dua minggu lebih awal dari pemutaran di Museum Nasional Singapura yang akan dilakukan tanggal 31 Maret mendatang. Kami bersyukur film ini mendapat sambutan menggembirakan dari penikmat film di mancanegera. Kami berharap mendapatkan apresiasi serupa dari masyarakat Indonesia,” ujar Fajar Riza Ul Haq, Direktur Eksekutif MAARIF Institute yang menjadi produser dalam produksi film ini di Jakarta.

Selain di Jakarta, film Mata Tertutup juga diputar di Tangerang, Bekasi, Surabaya, Yogyakarta, Bandung, Makasar, Pekan Baru, Batam, Medan, Malang, Bogor dan Solo. Film Mata Tertutup, menurut Fajar, mengangkat persoalan fundamental dalam kehidupan keindonesiaan hari ini, yaitu nasionalisme di kalangan generasi muda yang kian terkikis.

Film yang diangkat dari hasil penelitian MAARIF Institute ini, menceritakan remaja yang menjadi korban Negara Islam Indonesia (NII), Jemaah Islamiyah, dan seorang ibu yang harus kehilangan anaknya. “Film ini ingin menyadarkan bangsa ini bahwa persoalan negara dan agama tidak bisa dilihat secara hitam dan putih. Anak muda harus cerdas dalam memahami realitas. Jika tidak, mereka bisa menggali kubur masa depannya bahkan atas nama agama,” ujar Buya Syafii Ma’arif saat dihubungi.

Bagi Garin sendiri, ini merupakan film yang tidak biasa dengan proses produksi tidak biasa. “Kami ingin melihat masa depan Pancasila dan Kebhinekaan Indonesia dengan menyodorkan fakta-fakta yang justru mencemaskan,” ujarnya. (net/jpnn)

Menolak Radikalisme Agama

Salah satu ilmu pelajaran yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari diantaranya ialah melalui layar lebar alias film, dengan cara inilah SET Film dan MAARIF Production mempersembahkan Mata Tertutup, sebuah film karya Garin Nugroho.

Film ini merupakan salah satu bentuk dari rentetan Program Pendidikan Kewarganegaraan untuk memperkuat Karakter Bangsa yang dipersiapkan oleh MAARIF Institut.

Mata Tertutup merupakan rangkaian dari Tiga kisah dalam satu film yang dirangkai menjadi satu cerita panjang. Tentang wajah kehidupan beragama masyarakat Indonesia yang ditafsirkan sedang galau. Potret abu-abu tentang kehidupan agamis yang abangan sampai memetamorfosa pemeluknya menjadi fundamentalis yang salah arah. Mengajak kita yang merasa beragama mempertanyakan lagi, “Sudah benarkah saya memahami agama yang saya anut?”

Alfin (Kiki The Potters), Momon (Bryan McKenzie), Farhan (Zacky Zimah), dan Juned (Ajun Perwira) adalah empat sekawan yang hidup bersama di satu rumah kontrakan. Mereka sama-sama anak rantau dan berkuliah di kampus yang sama. Masing-masing punya sifat dan kelakuan yang berlainan. Meskipun begitu mereka selalu tolong-menolong tanpa pamrih (kecuali kepepet). Selain Farhan yang alim, tiga yang penghuni yang lain adalah sekelompok playboy yang ingin mendapatkan cewek cantik dan kaya.

Farhan mencoba mendekati Aisyah, gadis berkerudung di kampusnya. Mendengar ayah Aisyah sakit, Farhan lantas ingin memberi bantuan finansial. Sayangnya, untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri Farhan sering kesusahan. Ia pun jadi makin putus asa setelah tahu Aisyah dipersunting seorang tua untuk menjadi istri kelimanya dengan imbalan biaya operasi ayahnya ditanggung sepenuhnya.

Sedang Juned, playboy yang sok kaya, mengejar gadis model di kampus. Setelah berbohong tentang kekayaan orangtuanya, Juned pun diterima sebagai pacar gadis model tersebut. Namun, biaya pacaran yang melambung tinggi, membuat Juned akhirnya menyerah.

Satu ketika, empat sekawan ini menolong wanita cantik dan seksi bernama Sheila (Tya Restyana) yang sedang diganggu preman. Sheila malam itu memohon tinggal sementara di rumah mereka. Sheila pun bercerita tentang nasibnya yang malang. Ia merasa telah ditipu oleh orang yang menjanjikan pekerjaan setibanya di kota. Sewaktu di desa, Sheila dijanjikan akan bekerja jadi karyawan pertokoan, tapi malah didesak-desak bekerja sebagai pelacur. Padahal, Sheila bertekad mengumpulkan uang demi membantu panti asuhan tempatnya dibesarkan. Farhan, Juned, Momon dan Alfin pun tersentuh. Mereka sepakat untuk mendapatkan uang sebanyak mungkin guna membantu tujuan Sheila.

Meskipun masih berstatus mahasiswa, dan karakterisasi Farhan yang alim, pemilihan jalan keluar untuk mendapat uang dalam waktu singkat dengan cara menggandakan uang terasa janggal dan dipaksakan. Hal tersebut bertolak belakang dengan yang telah mereka lakukan di awal cerita. Untuk bertemu dengan dukun pengganda uang, mereka harus menempuh perjalanan menantang. Dan sekali lagi, ketemu pocong.

Satu celah besar kegagalan film ini dalam menyajikan sajian yang menarik adalah karena penggarapannya yang dipaksakan meniru format Warkop DKI, namun hasilnya tak selucu yang diharapkan. Komedi satir yang dihadirkan adalah komedi yang membahas kekurangan fisik, sehingga terkesan garing dalam beberapa adegan. Beberapa adegan malah diletakkan tanpa tujuan yang jelas dan jadinya kurang menyatu dengan keseluruhan cerita. (net/jpnn)

Satu Lagi dari Garin

Film Mata Tertutup, sebuah film Indonesia yang paling tegas menyuarakan sikap anti fundamentalisme agama, beredar di jaringan Bioskop 21/XXI mulai Kamis (15/3) lalu.

Film karya terbaru garapan Sutradara Garin Nugroho ini, akan menyapa penggemar film di tanah air setelah melakukan “world premiere” di Festival Film Internasional Rotterdam (IFFR) di Belanda, pada akhir Januari lalu dan diputar dalam peringatan Hari HAM Se-Dunia, pada awal Desember lalu di Pusat Kebudayaan Erasmus Huis oleh Kedutaan Belanda.

“Penayangan film Mata Tertutup ini, dilakukan dua minggu lebih awal dari pemutaran di Museum Nasional Singapura yang akan dilakukan tanggal 31 Maret mendatang. Kami bersyukur film ini mendapat sambutan menggembirakan dari penikmat film di mancanegera. Kami berharap mendapatkan apresiasi serupa dari masyarakat Indonesia,” ujar Fajar Riza Ul Haq, Direktur Eksekutif MAARIF Institute yang menjadi produser dalam produksi film ini di Jakarta.

Selain di Jakarta, film Mata Tertutup juga diputar di Tangerang, Bekasi, Surabaya, Yogyakarta, Bandung, Makasar, Pekan Baru, Batam, Medan, Malang, Bogor dan Solo. Film Mata Tertutup, menurut Fajar, mengangkat persoalan fundamental dalam kehidupan keindonesiaan hari ini, yaitu nasionalisme di kalangan generasi muda yang kian terkikis.

Film yang diangkat dari hasil penelitian MAARIF Institute ini, menceritakan remaja yang menjadi korban Negara Islam Indonesia (NII), Jemaah Islamiyah, dan seorang ibu yang harus kehilangan anaknya. “Film ini ingin menyadarkan bangsa ini bahwa persoalan negara dan agama tidak bisa dilihat secara hitam dan putih. Anak muda harus cerdas dalam memahami realitas. Jika tidak, mereka bisa menggali kubur masa depannya bahkan atas nama agama,” ujar Buya Syafii Ma’arif saat dihubungi.

Bagi Garin sendiri, ini merupakan film yang tidak biasa dengan proses produksi tidak biasa. “Kami ingin melihat masa depan Pancasila dan Kebhinekaan Indonesia dengan menyodorkan fakta-fakta yang justru mencemaskan,” ujarnya. (net/jpnn)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/