26.7 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Jual Rokok Ketengan Bakal Dilarang, Pengusaha Menolak, YLKI Apresiasi Pemerintah

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Penjualan rokok batangan atau ketengan akan dilarang pemerintah, tahun depan. Larangan itu ditetapkan dalan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 25 Tahun 2022 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah Tahun 2023.

DI dalam lampiran Keppres yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 23 Desember 2022 ini, memuat Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.

“Pelarangan penjualan rokok batangan,” dikutip dari pokok materi muatan aturan itu, Senin (26/12).

Pemrakarsa aturan ini adalah Kementerian Kesehatan. Selain poin pelarangan penjualan rokok batangan, pokok materi muatan RPP itu juga berisi penambahan luas prosentase gambar dan tulisan peringatan kesehatan pada n kemasan produk tembakau; hingga ketentuan rokok elektronik.

Selain itu juga ditetapkan pelarangan iklan, promosi, dan sponsorship produk tembakau di media teknologi informasi; pengawasan iklan, promosi, sponsorship produk tembakau di media penyiaran, media dalam dan luar ruang, dan media teknologi informasi; Penegakan dan penindakan; dan media teknologi informasi serta penerapan Kawasan tanpa rokok (KTR).

Belum ada alasan khusus dari Kepala Negara terkait kebijakan pelarangan rokok batangan ini. Namun, Jokowi juga telah menetapkan untuk menaikkan tarif cukai hasil tembakau atau CHT rata-rata 10 persen pada 2023-2024.

Jika kebijakan di dalam Kepres akan mulai berlaku tahun depan, maka 2023 akan menjadi tahun berat bagi industri tembakau Tanah Air. Kementerian Keuangan telah menegaskan, kenaikan cukai rokok akan membuat harga rokok tidak terjangkau bagi masyarakat dan pada akhirnya, konsumsi akan turun.

“Kita menaikkan cukai rokok yang menyebabkan harga rokok meningkat, sehingga affordability atau keterjangkauan terhadap rokok juga akan makin menurun. Dengan demikian diharapkan konsumsinya akan menurun,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani ketika mengumumkan kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) beberapa waktu lalu.

Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wahyudi tidak setuju dengan rencana pemerintah terkait larangan penjualan rokok batangan mulai 2023 mendatang. “Kami dari Industri Hasil Tembakau (IHT) tidak sependapat terkait larangan penjualan ketengan ini,” ujar Benny.

Menurut Benny, aturan pelarangan yang digagas oleh Kementerian Kesehatan ini belum tentu bisa sejalan dengan tujuan pemerintah untuk menurunkan prevalensi merokok di usia remaja. Sebab, pembelian rokok bisa dilakukan anak di bawah umur dengan patungan bersama teman. “Kalau hal ini ditujukan untuk mencegah anak di bawah umur, beberapa anak dapat bergabung untuk membeli sebungkus rokok,” imbuhnya.

Selain itu, aturan ini dinilai justru secara tidak langsung memaksa orang dewasa yang bisanya merokok sedikit menjadi banyak. Pasalnya, konsumen harus membeli rokok sebungkus. “Selain itu larangan penjualan eceran ini justru akan ‘memaksa’ orang dewasa yang hanya merokok sehabis makan atau mau ke kamar mandi untuk membeli sebungkus rokok. Padahal, mereka biasanya hanya menghabiskan 2-3 batang saja per hari,” jelasnya.

Sementara YLKI mengapreasiasi kebijakan Presiden Jokowi tersebut. Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menjelaskan larangan penjualan rokok secara ketengan. “Ini kebijakan yang patut diapresiasi, karena merupakan salah satu cara pengendalian yang efektif untuk menurunkan prevalensi merokok di Indonesia khususnya di kalangan rumah tangga miskin, anak-anak dan remaja,” kata dia.

Dia mengungkapkan larangan penjualan ketengan juga efektif untuk efektivitas kenaikan cukai rokok. Sebab selama ini kenaikan cukai tidak efektif untuk menurunkan prevalensi dan konsumsi rokok, karena rokok masih dijual secara ketengan, diobral seperti permen, sehingga harganya terjangkau.

Larangan penjualan rokok secara ketengan juga sejalan dengan spirit yang diatur dalam UU No. 39 Tahun 2007 tentang Cukai.

Dalam UU Cukai disebutkan bahwa barang yang menimbulkan kecanduan dan berdampak negatif terhadap penggunanya dan lingkungan, maka distribusinya dibatasi. “Sementara itu, yang harus diawasi adalah praktik di lapangan seperti apa, dan apa sanksinya bagi yang melanggar. Jangan sampai larangan penjualan ketengan ini menjadi macan ompong,” ujar dia.

Menanggapi Keppres tersebut, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia sekaligus spesialis paru Prof Tjandra Yoga Aditama SpP mengatakan, pelarangan penjualan rokok batangan akan sejalan dengan penurunan prevalensi perokok. “Yang jelas kalau ada larangan penjualan batangan maka akan berdampak banyak bagi turunnya angka perokok remaja,” katanya.

Sejumlah ahli kesehatan mengatakan tingginya jumlah perokok anak disebut karena adanya aturan yang belum tegas pada pembatasan konsumsi rokok. Padahal kebiasaan merokok menyumbang pembiayaan kesehatan terbanyak karena terkait dengan risiko penyakit katastropik.

Menanggapi fenomena ini, pakar sosiologi ekonomi Universitas Airlangga (Unair) Prof Dr Bagong Suyanto Drs MSi memberikan tanggapannya. “Memang menjadi masalah yang sering dikeluhkan, dimana uang yang seharusnya bisa untuk kebutuhan positif lain seperti memenuhi kebutuhan gizi keluarga, justru dialokasikan untuk membeli rokok,” ucap Prof Bagong dalam laman Unair, Rabu (21/12).

Bagong mengungkapkan, rokok dan kemiskinan memiliki hubungan yang erat. Dalam keluarga miskin, menurutnya telah terjadi proses pembelajaran tentang budaya merokok. Akhirnya, pembelajaran ini menjadi kebiasaan yang didukung juga oleh zat-zat adiktif dalam kandungan rokok. “Bahkan tingkatannya bisa makin berat, tidak hanya rokok putih namun akhirnya bisa meningkat pada rokok kretek,” jelasnya.

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unair itu menyatakan, kenaikan harga rokok bukanlah solusi yang dapat menuntaskan masalah. Akan tetapi, menurutnya hal ini adalah salah satu keputusan yang baik. “Karena akan membuat masyarakat miskin utamanya, berpikir ulang untuk memanfaatkan uang pembelian rokok untuk kepentingan yang lebih positif,” sebutnya.

Prof Bagong menjelaskan, kemungkinan perokok pada kalangan miskin akan mencari pengganti aktivitas selain merokok. Namun, guru besar bidang sosiologi ekonomi itu menyebutkan bahwa kebijakan ini harus dapat dimanfaatkan sebagai momentum untuk berhenti merokok.

Dosen senior FISIP Unair itu menjelaskan, inti dari permasalahan ini adalah cara mengubah perspektif masyarakat miskin terhadap aktivitas merokok. Selama ini, rokok sudah dianggap sebagai sebuah kebiasaan, sehingga sulit dihilangkan. “Perlu diberikan pemahaman yang lebih baik tentang bahaya yang ditanggung keluarga bila orang tua meneruskan kebiasaan merokoknya. Memang diperlukan berbagai upaya untuk menyadarkan,” pungkasnya. (bbs/adz)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Penjualan rokok batangan atau ketengan akan dilarang pemerintah, tahun depan. Larangan itu ditetapkan dalan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 25 Tahun 2022 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah Tahun 2023.

DI dalam lampiran Keppres yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 23 Desember 2022 ini, memuat Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.

“Pelarangan penjualan rokok batangan,” dikutip dari pokok materi muatan aturan itu, Senin (26/12).

Pemrakarsa aturan ini adalah Kementerian Kesehatan. Selain poin pelarangan penjualan rokok batangan, pokok materi muatan RPP itu juga berisi penambahan luas prosentase gambar dan tulisan peringatan kesehatan pada n kemasan produk tembakau; hingga ketentuan rokok elektronik.

Selain itu juga ditetapkan pelarangan iklan, promosi, dan sponsorship produk tembakau di media teknologi informasi; pengawasan iklan, promosi, sponsorship produk tembakau di media penyiaran, media dalam dan luar ruang, dan media teknologi informasi; Penegakan dan penindakan; dan media teknologi informasi serta penerapan Kawasan tanpa rokok (KTR).

Belum ada alasan khusus dari Kepala Negara terkait kebijakan pelarangan rokok batangan ini. Namun, Jokowi juga telah menetapkan untuk menaikkan tarif cukai hasil tembakau atau CHT rata-rata 10 persen pada 2023-2024.

Jika kebijakan di dalam Kepres akan mulai berlaku tahun depan, maka 2023 akan menjadi tahun berat bagi industri tembakau Tanah Air. Kementerian Keuangan telah menegaskan, kenaikan cukai rokok akan membuat harga rokok tidak terjangkau bagi masyarakat dan pada akhirnya, konsumsi akan turun.

“Kita menaikkan cukai rokok yang menyebabkan harga rokok meningkat, sehingga affordability atau keterjangkauan terhadap rokok juga akan makin menurun. Dengan demikian diharapkan konsumsinya akan menurun,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani ketika mengumumkan kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) beberapa waktu lalu.

Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wahyudi tidak setuju dengan rencana pemerintah terkait larangan penjualan rokok batangan mulai 2023 mendatang. “Kami dari Industri Hasil Tembakau (IHT) tidak sependapat terkait larangan penjualan ketengan ini,” ujar Benny.

Menurut Benny, aturan pelarangan yang digagas oleh Kementerian Kesehatan ini belum tentu bisa sejalan dengan tujuan pemerintah untuk menurunkan prevalensi merokok di usia remaja. Sebab, pembelian rokok bisa dilakukan anak di bawah umur dengan patungan bersama teman. “Kalau hal ini ditujukan untuk mencegah anak di bawah umur, beberapa anak dapat bergabung untuk membeli sebungkus rokok,” imbuhnya.

Selain itu, aturan ini dinilai justru secara tidak langsung memaksa orang dewasa yang bisanya merokok sedikit menjadi banyak. Pasalnya, konsumen harus membeli rokok sebungkus. “Selain itu larangan penjualan eceran ini justru akan ‘memaksa’ orang dewasa yang hanya merokok sehabis makan atau mau ke kamar mandi untuk membeli sebungkus rokok. Padahal, mereka biasanya hanya menghabiskan 2-3 batang saja per hari,” jelasnya.

Sementara YLKI mengapreasiasi kebijakan Presiden Jokowi tersebut. Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menjelaskan larangan penjualan rokok secara ketengan. “Ini kebijakan yang patut diapresiasi, karena merupakan salah satu cara pengendalian yang efektif untuk menurunkan prevalensi merokok di Indonesia khususnya di kalangan rumah tangga miskin, anak-anak dan remaja,” kata dia.

Dia mengungkapkan larangan penjualan ketengan juga efektif untuk efektivitas kenaikan cukai rokok. Sebab selama ini kenaikan cukai tidak efektif untuk menurunkan prevalensi dan konsumsi rokok, karena rokok masih dijual secara ketengan, diobral seperti permen, sehingga harganya terjangkau.

Larangan penjualan rokok secara ketengan juga sejalan dengan spirit yang diatur dalam UU No. 39 Tahun 2007 tentang Cukai.

Dalam UU Cukai disebutkan bahwa barang yang menimbulkan kecanduan dan berdampak negatif terhadap penggunanya dan lingkungan, maka distribusinya dibatasi. “Sementara itu, yang harus diawasi adalah praktik di lapangan seperti apa, dan apa sanksinya bagi yang melanggar. Jangan sampai larangan penjualan ketengan ini menjadi macan ompong,” ujar dia.

Menanggapi Keppres tersebut, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia sekaligus spesialis paru Prof Tjandra Yoga Aditama SpP mengatakan, pelarangan penjualan rokok batangan akan sejalan dengan penurunan prevalensi perokok. “Yang jelas kalau ada larangan penjualan batangan maka akan berdampak banyak bagi turunnya angka perokok remaja,” katanya.

Sejumlah ahli kesehatan mengatakan tingginya jumlah perokok anak disebut karena adanya aturan yang belum tegas pada pembatasan konsumsi rokok. Padahal kebiasaan merokok menyumbang pembiayaan kesehatan terbanyak karena terkait dengan risiko penyakit katastropik.

Menanggapi fenomena ini, pakar sosiologi ekonomi Universitas Airlangga (Unair) Prof Dr Bagong Suyanto Drs MSi memberikan tanggapannya. “Memang menjadi masalah yang sering dikeluhkan, dimana uang yang seharusnya bisa untuk kebutuhan positif lain seperti memenuhi kebutuhan gizi keluarga, justru dialokasikan untuk membeli rokok,” ucap Prof Bagong dalam laman Unair, Rabu (21/12).

Bagong mengungkapkan, rokok dan kemiskinan memiliki hubungan yang erat. Dalam keluarga miskin, menurutnya telah terjadi proses pembelajaran tentang budaya merokok. Akhirnya, pembelajaran ini menjadi kebiasaan yang didukung juga oleh zat-zat adiktif dalam kandungan rokok. “Bahkan tingkatannya bisa makin berat, tidak hanya rokok putih namun akhirnya bisa meningkat pada rokok kretek,” jelasnya.

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unair itu menyatakan, kenaikan harga rokok bukanlah solusi yang dapat menuntaskan masalah. Akan tetapi, menurutnya hal ini adalah salah satu keputusan yang baik. “Karena akan membuat masyarakat miskin utamanya, berpikir ulang untuk memanfaatkan uang pembelian rokok untuk kepentingan yang lebih positif,” sebutnya.

Prof Bagong menjelaskan, kemungkinan perokok pada kalangan miskin akan mencari pengganti aktivitas selain merokok. Namun, guru besar bidang sosiologi ekonomi itu menyebutkan bahwa kebijakan ini harus dapat dimanfaatkan sebagai momentum untuk berhenti merokok.

Dosen senior FISIP Unair itu menjelaskan, inti dari permasalahan ini adalah cara mengubah perspektif masyarakat miskin terhadap aktivitas merokok. Selama ini, rokok sudah dianggap sebagai sebuah kebiasaan, sehingga sulit dihilangkan. “Perlu diberikan pemahaman yang lebih baik tentang bahaya yang ditanggung keluarga bila orang tua meneruskan kebiasaan merokoknya. Memang diperlukan berbagai upaya untuk menyadarkan,” pungkasnya. (bbs/adz)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/