29 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

Inilah 10 Negara Terketat Membatasi Media

Logo Komisi Perlindungan Wartawan atau CPJ.
Logo Komisi Perlindungan Wartawan atau CPJ.

SUMUTPOS.CO – Komisi Perlindungan Wartawan (CPJ) telah memasukkan sepuluh negara dalam daftar negara yang paling ketat membatasi kerja media. Eritrea dan Korea Utara adalah dua negara teratas dalam daftar yang dikeluarkan oleh CPJ hari Selasa (21/4).

Kesepuluh negara tersebut adalah Eritrea, Korea Utara, Arab Saudi, Ethiopia, Azerbaijan, Vietnam, Iran, China, Myanmar, dan Kuba. Daftar 10 negara yang paling ketat membatasi pers ini merupakan bagian dari laporan tahunan Komite Perlindungan Wartawan yang akan disampaikan selengkapnya hari Senin 27 April 2015. Laporan tahunan kali ini berjudul “Attacks on the Press”.

CPJ mengatakan negara-negara ini melecehkan dan memenjarakan wartawan serta menyensor internet untuk membungkam mereka.

Menjalani hukuman penjara adalah yang dialami wartawan-wartawan di sepuluh negara yang disebut dalam laporan Komisi Perlindungan Wartawan CPJ.

China adalah negara yang paling banyak memenjarakan wartawan yaitu sebanyak 44 orang. CPJ juga melaporkan tentang Iran yang menggunakan penangkapan tanpa landasan hukum dan secara massal untuk membungkam pembangkang atau mengasingkan mereka secara paksa.

Courtney Radsch dari CPJ mengatakan tahun ini saja lebih dari 200 wartawan telah dihukum penjara, dan ini merupakan tahun yang berbahaya untuk melaporkan hal itu.

“Tiga tahun terakhir ini adalah masa yang paling berbahaya bagi wartawan, dimana jumlah wartawan yang dibunuh dan dipenjara mencapai rekor. Berdasarkan data CPJ, lebih dari 400 wartawan dibuang ke pengasingan dalam lima tahun terakhir ini,” papar Courtney.

Penyensoran internet juga menjadi kunci penting untuk membungkam kritik. Di Korea Utara, hanya elit politik yang memiliki akses ke Internet. Di Kuba, para blogger harus mengunggah informasi dari kedutaan-kedutaan asing atau hotel supaya bisa menggunakan koneksi internet yang tidak disensor.

Enam ratus empat puluh dua juta pengguna internet di China menghadapi apa yang disebut sebagai “Great Firewall” yang memblokir situs-situs dan sosial media yang membangkang terhadap pemerintah.

“Penyensoran merupakan piranti yang sangat luar biasa, yang membatasi arus informasi. Untuk memintas sensor kita seringkali harus memiliki keahlian teknis, piranti, teknik-teknik yang canggih dan juga bagaimana menjaga agar narasumber dan informasi diri mereka aman,” tambahnya.

Gerakan “Arab Spring (Musim Semi Arab)” – atau pergolakan di negara-negara Timur Tengah – juga memicu penumpasan di Eritrea dimana pemerintah menghapus rencana untuk memberi “mobile-internet” bagi warganya. Sejak dimulainya gerakan “Arab Spring (Musim Semi Arab)”, Arab Saudi telah melakukan amandemen atas UU pers guna mencegah penerbitan materi yang bertentangan dengan hukum Islam atau merongrong ketertiban umum.

Media yang dikelola pemerintah kerap menjadi sumberi informasi satu-satunya di sepuluh negara yang ada dalam daftar CPJ itu. Radsch mengatakan penerbitan laporan itu membuat wartawan dan warga di negara-negara tersebut tahu bahwa dunia mengamati dan peduli pada mereka. (VOA)

Logo Komisi Perlindungan Wartawan atau CPJ.
Logo Komisi Perlindungan Wartawan atau CPJ.

SUMUTPOS.CO – Komisi Perlindungan Wartawan (CPJ) telah memasukkan sepuluh negara dalam daftar negara yang paling ketat membatasi kerja media. Eritrea dan Korea Utara adalah dua negara teratas dalam daftar yang dikeluarkan oleh CPJ hari Selasa (21/4).

Kesepuluh negara tersebut adalah Eritrea, Korea Utara, Arab Saudi, Ethiopia, Azerbaijan, Vietnam, Iran, China, Myanmar, dan Kuba. Daftar 10 negara yang paling ketat membatasi pers ini merupakan bagian dari laporan tahunan Komite Perlindungan Wartawan yang akan disampaikan selengkapnya hari Senin 27 April 2015. Laporan tahunan kali ini berjudul “Attacks on the Press”.

CPJ mengatakan negara-negara ini melecehkan dan memenjarakan wartawan serta menyensor internet untuk membungkam mereka.

Menjalani hukuman penjara adalah yang dialami wartawan-wartawan di sepuluh negara yang disebut dalam laporan Komisi Perlindungan Wartawan CPJ.

China adalah negara yang paling banyak memenjarakan wartawan yaitu sebanyak 44 orang. CPJ juga melaporkan tentang Iran yang menggunakan penangkapan tanpa landasan hukum dan secara massal untuk membungkam pembangkang atau mengasingkan mereka secara paksa.

Courtney Radsch dari CPJ mengatakan tahun ini saja lebih dari 200 wartawan telah dihukum penjara, dan ini merupakan tahun yang berbahaya untuk melaporkan hal itu.

“Tiga tahun terakhir ini adalah masa yang paling berbahaya bagi wartawan, dimana jumlah wartawan yang dibunuh dan dipenjara mencapai rekor. Berdasarkan data CPJ, lebih dari 400 wartawan dibuang ke pengasingan dalam lima tahun terakhir ini,” papar Courtney.

Penyensoran internet juga menjadi kunci penting untuk membungkam kritik. Di Korea Utara, hanya elit politik yang memiliki akses ke Internet. Di Kuba, para blogger harus mengunggah informasi dari kedutaan-kedutaan asing atau hotel supaya bisa menggunakan koneksi internet yang tidak disensor.

Enam ratus empat puluh dua juta pengguna internet di China menghadapi apa yang disebut sebagai “Great Firewall” yang memblokir situs-situs dan sosial media yang membangkang terhadap pemerintah.

“Penyensoran merupakan piranti yang sangat luar biasa, yang membatasi arus informasi. Untuk memintas sensor kita seringkali harus memiliki keahlian teknis, piranti, teknik-teknik yang canggih dan juga bagaimana menjaga agar narasumber dan informasi diri mereka aman,” tambahnya.

Gerakan “Arab Spring (Musim Semi Arab)” – atau pergolakan di negara-negara Timur Tengah – juga memicu penumpasan di Eritrea dimana pemerintah menghapus rencana untuk memberi “mobile-internet” bagi warganya. Sejak dimulainya gerakan “Arab Spring (Musim Semi Arab)”, Arab Saudi telah melakukan amandemen atas UU pers guna mencegah penerbitan materi yang bertentangan dengan hukum Islam atau merongrong ketertiban umum.

Media yang dikelola pemerintah kerap menjadi sumberi informasi satu-satunya di sepuluh negara yang ada dalam daftar CPJ itu. Radsch mengatakan penerbitan laporan itu membuat wartawan dan warga di negara-negara tersebut tahu bahwa dunia mengamati dan peduli pada mereka. (VOA)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/