25 C
Medan
Tuesday, November 26, 2024
spot_img

DPR Berdebat Dualisme Partai, Pilkada Terhambat Aturan Pencalonan

JAKARTA, SUMUTPOS.CO- Konsultasi peraturan KPU (PKPU) di Komisi II DPR hingga kemarin (23/4) masih menyisakan satu persoalan. DPR belum menyepakati rekomendasi terkait dengan persoalan dualisme partai politik. Hingga tadi malam pukul 19.30, forum konsultasi PKPU di DPR masih diwarnai perdebatan untuk menyikapi hal tersebut.

Persoalan dualisme parpol masuk dalam draf PKPU tentang pencalonan. Usul KPU untuk menentukan kubu yang berhak mengajukan calon kepala daerah ditentang komisi II. Pembahasan mengenai pencalonan tersebut berlangsung alot sejak Rabu (22/4).

Pembahasan hari pertama hanya menyepakati rekomendasi untuk menghilangkan batas waktu penyelesaian dualisme parpol. Awalnya, KPU mengatur waktu koordinasi dengan Kementerian Hukum dan HAM dua bulan sebelum pendaftaran. Kemudian, mendapatkan informasi dari Kemenkum HAM soal kubu yang berhak mencalonkan kepala daerah satu bulan sebelum masa pendaftaran. “Diputuskan limitasinya dihapus dan KPU boleh bertanya kepada Kemenkum HAM kapan pun,” ujar Ketua KPU Husni Kamil Manik di KPU kemarin.

Sementara itu, konsultasi kemarin membahas cara untuk menentukan kubu yang berhak mencalonkan kepala daerah. Rapat konsultasi sejak pukul 13.30 itu berlangsung tertutup. Samar-samar terdengar perdebatan yang seru di antara sesama anggota DPR. Sekitar pukul 17.00, rapat diskors dua jam dalam kondisi belum tercapai titik temu.

Ketua Komisi II DPR Rambe Kamarul Zaman menjelaskan, awalnya dewan nyaris sepakat untuk menunggu putusan soal dualisme kepengurusan itu inkracht di pengadilan. Namun, apabila hingga menjelang pendaftaran belum ada putusan inkracht, ada dua alternatif yang diusulkan.

Pertama, melihat putusan terakhir PTUN sebelum masa pendaftaran. “Putusan apa pun dari PTUN yang paling akhir, itu yang dipakai,” terangnya. Opsi kedua adalah islah parpol. Dua opsi tersebut belum disepakati anggota komisi II.

Sementara itu, Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay menjelaskan bahwa bagaimanapun itu adalah forum konsultasi. Semua anggota panitia kerja di komisi II telah menyampaikan pandangan yang berbeda-beda. “Ya sudah, serahkan kepada KPU (untuk memutuskan),” ujarnya. Namun, sebagian anggota panja menilai rekomendasi yang disampaikan harus diikuti. “Kami tadi belum bicara apa-apa, masih mendengarkan saja,” lanjutnya.

Banyak opsi yang disampaikan anggota panja. Bukan hanya satu atau dua. Sementara itu, KPU awalnya mendasarkan pada putusan Kemenkum HAM. Dasar yang dipakai adalah UU Parpol.

Hadar menuturkan, konsultasi tersebut semakin mengarah pada sesuatu yang wajib diikuti KPU. Menurut dia, hal itu kurang tepat. Bagaimanapun, forum tersebut adalah konsultasi. DPR menyampaikan berbagai pendapat dalam bentuk rekomendasi. Rekomendasi itu tentu tidak wajib untuk diikuti. “Kalau tidak, itu namanya satu intervensi,” ucapnya.

Sedangkan Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Nasrullah mengakui, konflik internal di tubuh Partai Golkar dan PPP, membawa problem tersendiri dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak tahap pertama yang akan digelar 9 Desember mendatang.

Contohnya seperti Partai Golkar, di satu sisia ada kubu yang tekah diakui kepengurusannya dengan terbitnya Surat Keputusan (SK) Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly. Namun di sisi lain, Pengadilan Tinggi Usaha Negara (PTUN) Jakarta menerbitkan putusan sela, menunda pengesahan kubu Agung Laksono yang diakui Menkumham tersebut.

“Kondisi ini tentu membawa problem tersendiri. Tapi menurut saya, kalau satu parpol memiliki dua kepengurusan, itu artinya mereka sendiri yang membuat hak konstitusionalnya terganggu. Jadi jangan disalahkan (aturan,Red), karena hak konstitusional sudah diberikan,” ujarnya saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (23/4).

Nasrullah menilai, ketika parpol melanggengkan konflik, sama artinya menjauhkan hak konstitusional yang telah diatur dalam undang-undang. Artinya kalau itu yang terjadi, kata Nasrullah, harus juga dihormati sebagai langkah parpol yang tidak ingin menggunakan hak konstitusionalnya dalam pelaksanaan pilkada. “Jadi harapannya, islah. Itu yang paling enak,” ujarnya.

Meski begitu Nasrullah menilai meski konflik Golkar dan PPP terus mengalir, dapat saja tidak berimbas di tingkat bawah. Apalagi jika pengurus yang ada di tingkat provinsi, kabupaten maupun kota, tak terdapat dualisme kepengurusan. Karena itu tetap terbuka kemungkinan usulan calon kepala daerah dari kedua parpol tak akan bermasalah.

“Sepanjang tidak ada dualisme kepengurusaan tingkat bawah, silakan saja, boleh (mengajukan calon,red). Tapi memang problemnya secara hukum, maka penyelenggara tetap harus berpegang pada hak konstitusional. Nah kalau ditanya bolehkah minta persetujuan dua-duanya (dua kubu dalam satu parpol), saya kira karena kondisi abnormal, bisa saja persetujuan pun abnormal,” katanya.

Meski begitu aturan terkait boleh tidaknya dua kubu dalam internal parpol bersengketa mengajukan calon kada, menurut Nasrullah kini masih dibahas. Rancangan Paraturan KPU tentang pencalonan kepala daerah masih alot dibahas di Komisi II DPR, sebelum akhirnya ditetapkan menjadi pedoman pelaksanaan pilkada.

“Pembahasan PKPU soal pencalonan alot, karena banyak kepentingan juga, tapi ini kan namanya konsultasi. Menurut saya DPR kan sudah diberi porsi oleh negara untuk membuat undang-undang, jadi tidak perlu lagi merendahkan diri untuk membuat peraturan pelaksana undang-undang. Ngapain mengurus masalah teknis. Masa wilayah teknis mau buat lagi,” ujarnya.

Nasrullah mengungkapkan pandangannya karena dalam sistem aturan yang berlaku di Indonesia, salah satu kewenangan DPR adalah membuat undang-undang. Dalam aturan juga diatur adanya delegasi legislasi yang diberikan pada kewenangan atributif yang diberikan pada pelaksana teknis.

“Siapa pelaksana teknis, itu bisa pemerintah. Misalnya untuk menyusun paraturan pemerintah, atau aturan pelaksanaan pilkada, pelaksana teknisnya KPU dan Bawaslu. Jadi kalau DPR juga mau membuat aturan teknis, secara teori itu bertentangan. Jadi biarlah KPU yang membuat itu. Posisi DPR mengontrol sisi original content dari undang-undang terhadap PKPU,” katanya. (byu/c6/fat/jpnn/gir/rbb)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO- Konsultasi peraturan KPU (PKPU) di Komisi II DPR hingga kemarin (23/4) masih menyisakan satu persoalan. DPR belum menyepakati rekomendasi terkait dengan persoalan dualisme partai politik. Hingga tadi malam pukul 19.30, forum konsultasi PKPU di DPR masih diwarnai perdebatan untuk menyikapi hal tersebut.

Persoalan dualisme parpol masuk dalam draf PKPU tentang pencalonan. Usul KPU untuk menentukan kubu yang berhak mengajukan calon kepala daerah ditentang komisi II. Pembahasan mengenai pencalonan tersebut berlangsung alot sejak Rabu (22/4).

Pembahasan hari pertama hanya menyepakati rekomendasi untuk menghilangkan batas waktu penyelesaian dualisme parpol. Awalnya, KPU mengatur waktu koordinasi dengan Kementerian Hukum dan HAM dua bulan sebelum pendaftaran. Kemudian, mendapatkan informasi dari Kemenkum HAM soal kubu yang berhak mencalonkan kepala daerah satu bulan sebelum masa pendaftaran. “Diputuskan limitasinya dihapus dan KPU boleh bertanya kepada Kemenkum HAM kapan pun,” ujar Ketua KPU Husni Kamil Manik di KPU kemarin.

Sementara itu, konsultasi kemarin membahas cara untuk menentukan kubu yang berhak mencalonkan kepala daerah. Rapat konsultasi sejak pukul 13.30 itu berlangsung tertutup. Samar-samar terdengar perdebatan yang seru di antara sesama anggota DPR. Sekitar pukul 17.00, rapat diskors dua jam dalam kondisi belum tercapai titik temu.

Ketua Komisi II DPR Rambe Kamarul Zaman menjelaskan, awalnya dewan nyaris sepakat untuk menunggu putusan soal dualisme kepengurusan itu inkracht di pengadilan. Namun, apabila hingga menjelang pendaftaran belum ada putusan inkracht, ada dua alternatif yang diusulkan.

Pertama, melihat putusan terakhir PTUN sebelum masa pendaftaran. “Putusan apa pun dari PTUN yang paling akhir, itu yang dipakai,” terangnya. Opsi kedua adalah islah parpol. Dua opsi tersebut belum disepakati anggota komisi II.

Sementara itu, Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay menjelaskan bahwa bagaimanapun itu adalah forum konsultasi. Semua anggota panitia kerja di komisi II telah menyampaikan pandangan yang berbeda-beda. “Ya sudah, serahkan kepada KPU (untuk memutuskan),” ujarnya. Namun, sebagian anggota panja menilai rekomendasi yang disampaikan harus diikuti. “Kami tadi belum bicara apa-apa, masih mendengarkan saja,” lanjutnya.

Banyak opsi yang disampaikan anggota panja. Bukan hanya satu atau dua. Sementara itu, KPU awalnya mendasarkan pada putusan Kemenkum HAM. Dasar yang dipakai adalah UU Parpol.

Hadar menuturkan, konsultasi tersebut semakin mengarah pada sesuatu yang wajib diikuti KPU. Menurut dia, hal itu kurang tepat. Bagaimanapun, forum tersebut adalah konsultasi. DPR menyampaikan berbagai pendapat dalam bentuk rekomendasi. Rekomendasi itu tentu tidak wajib untuk diikuti. “Kalau tidak, itu namanya satu intervensi,” ucapnya.

Sedangkan Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Nasrullah mengakui, konflik internal di tubuh Partai Golkar dan PPP, membawa problem tersendiri dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak tahap pertama yang akan digelar 9 Desember mendatang.

Contohnya seperti Partai Golkar, di satu sisia ada kubu yang tekah diakui kepengurusannya dengan terbitnya Surat Keputusan (SK) Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly. Namun di sisi lain, Pengadilan Tinggi Usaha Negara (PTUN) Jakarta menerbitkan putusan sela, menunda pengesahan kubu Agung Laksono yang diakui Menkumham tersebut.

“Kondisi ini tentu membawa problem tersendiri. Tapi menurut saya, kalau satu parpol memiliki dua kepengurusan, itu artinya mereka sendiri yang membuat hak konstitusionalnya terganggu. Jadi jangan disalahkan (aturan,Red), karena hak konstitusional sudah diberikan,” ujarnya saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (23/4).

Nasrullah menilai, ketika parpol melanggengkan konflik, sama artinya menjauhkan hak konstitusional yang telah diatur dalam undang-undang. Artinya kalau itu yang terjadi, kata Nasrullah, harus juga dihormati sebagai langkah parpol yang tidak ingin menggunakan hak konstitusionalnya dalam pelaksanaan pilkada. “Jadi harapannya, islah. Itu yang paling enak,” ujarnya.

Meski begitu Nasrullah menilai meski konflik Golkar dan PPP terus mengalir, dapat saja tidak berimbas di tingkat bawah. Apalagi jika pengurus yang ada di tingkat provinsi, kabupaten maupun kota, tak terdapat dualisme kepengurusan. Karena itu tetap terbuka kemungkinan usulan calon kepala daerah dari kedua parpol tak akan bermasalah.

“Sepanjang tidak ada dualisme kepengurusaan tingkat bawah, silakan saja, boleh (mengajukan calon,red). Tapi memang problemnya secara hukum, maka penyelenggara tetap harus berpegang pada hak konstitusional. Nah kalau ditanya bolehkah minta persetujuan dua-duanya (dua kubu dalam satu parpol), saya kira karena kondisi abnormal, bisa saja persetujuan pun abnormal,” katanya.

Meski begitu aturan terkait boleh tidaknya dua kubu dalam internal parpol bersengketa mengajukan calon kada, menurut Nasrullah kini masih dibahas. Rancangan Paraturan KPU tentang pencalonan kepala daerah masih alot dibahas di Komisi II DPR, sebelum akhirnya ditetapkan menjadi pedoman pelaksanaan pilkada.

“Pembahasan PKPU soal pencalonan alot, karena banyak kepentingan juga, tapi ini kan namanya konsultasi. Menurut saya DPR kan sudah diberi porsi oleh negara untuk membuat undang-undang, jadi tidak perlu lagi merendahkan diri untuk membuat peraturan pelaksana undang-undang. Ngapain mengurus masalah teknis. Masa wilayah teknis mau buat lagi,” ujarnya.

Nasrullah mengungkapkan pandangannya karena dalam sistem aturan yang berlaku di Indonesia, salah satu kewenangan DPR adalah membuat undang-undang. Dalam aturan juga diatur adanya delegasi legislasi yang diberikan pada kewenangan atributif yang diberikan pada pelaksana teknis.

“Siapa pelaksana teknis, itu bisa pemerintah. Misalnya untuk menyusun paraturan pemerintah, atau aturan pelaksanaan pilkada, pelaksana teknisnya KPU dan Bawaslu. Jadi kalau DPR juga mau membuat aturan teknis, secara teori itu bertentangan. Jadi biarlah KPU yang membuat itu. Posisi DPR mengontrol sisi original content dari undang-undang terhadap PKPU,” katanya. (byu/c6/fat/jpnn/gir/rbb)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/