Apa alat ukur kesuksesan second generation? Mungkin bukan perusahaan yang membesar, juga bukan mengalahkan orangtua.
Saat ini, teman saya satu generasi, Mas Iwan Lukminto, sedang berada di Monaco. Bos muda Sritex Solo itu menjadi wakil Indonesia dalam ajang Ernst & Young World Entrepreneur of the Year 2015.
Bangga rasanya melihat ada teman sesama second generation mencapai prestasi itu. Apalagi saya tahu betul acaranya, karena pada 2002 dulu ikut mengantarkan ayah saya mengikuti ajang yang sama.
Mas Iwan dan saya kurang lebih satu angkatan. Beberapa kali dulu saling sharing, ruwetnya jadi generasi kedua, apalagi yang memiliki orangtua superhebat dengan bayangan superbesar.
Mas Iwan pernah mengumpamakan perjalanannya seperti “memelihara kambing”.
Kurang lebih begini: Dulu, ayah memelihara kambing kecil sambil membangun sebuah rumah yang terus membesar. Setiap hari, kambing itu semakin besar, dan rumahnya semakin bertingkat. Selama bertahun-tahun, sang ayah mampu menggendong kambing yang terus membesar menaiki tangga yang terus semakin tinggi. Dia tidak merasakannya, karena dia terus menekuninya.
Tiba-tiba, sang anak sekarang harus langsung menggendong kambing yang besar, berjalan menaiki tangga tinggi ke lantai teratas.
Kalau anaknya tidak kuat, jangankan berjalan naik tangga. Dikasih kambingnya sudah nggeblak.
***
Berkali-kali sudah saya bicara kepada orang, dan akan berkali-kali lagi saya bicara kepada orang: Jadi second generation itu tidak seenak yang dibayangkan.
Kami ini kaum minoritas, dan orang sering memandang kami dengan filter yang bisa bikin salah persepsi. Repotnya lagi, kami kadang juga tidak bisa dengan mudah bicara kepada orang lain.
Hanya sesama second generation (atau third, atau fourth, mungkin) bisa memahami satu sama lain.
Pada intinya, second generation selalu menghadapi risiko persepsi ini: Kalau sukses, yang dipuji orangtuanya. Kalau gagal, yang disalahkan anaknya!
Sekarang, pada usia mendekati 40, saya “dan teman-teman seangkatan” memang sudah bukan second generation yang muda lagi. Tapi, ke mana-mana pergi, saya sering bertemu generasi-generasi baru second generation.
Khususnya mereka yang baru lulus kuliah, usia masih early twenties, dan mulai menghadapi apa yang saya dan teman-teman seangkatan hadapi sekitar 10-15 tahun lalu.
Panjangnya selisih waktu tidak mengubah sumber permasalahan (kalau mau dianggap sebagai masalah) para second generation. Satu, orangtua sendiri. Dua, orang-orang di sekeliling orangtua.
Dan saya rasa, sampai ke depan pun akan sama.
Dan untuk mengatasinya, juga tidak ada pilihan. Harus dihadapi dan dijalani. Mau kuliah di universitas terbaik di Indonesia, terbaik di Australia, terbaik di Amerika, belum tentu ada kelas khusus untuk mengatasinya.
Orangtua, menurut saya, merupakan kendala utama. Mari fokus ke yang satu ini.
Kadang lucu juga dengar atau lihat banyak contoh: Orangtua ingin menggantikan, tapi orangtua tidak memberikan ruang gerak untuk membuat keputusan. Lebih penting lagi, tidak memberikan ruang gerak untuk membuat kesalahan.
Ada teman saya misalnya, punya rangkaian bisnis keluarga yang luar biasa banyak. Dia memegang satu unit misalnya, kalau gagal dan hancur pun, kekayaan keluarga tidak akan terganggu. Eh, tetap saja dia kesulitan punya ruang gerak untuk berkreasi atau memutuskan.
Sering, saya diminta jadi pembicara. Khususnya kalau temanya anak muda atau second generation seperti ini. Sering saya menolak, karena memang tidak hobi jadi pembicara.
Kadang ketika hadir ke acara-acara itu, berkali-kali saya ditanya tip atau trik “menyiasati” orangtua. Khususnya ketika ingin berbuat sesuatu, tapi dilarang atau dihalangi orangtua.
Saya biasanya tanya balik kepada penanya, “Kamu yakin apa yang ingin kamu lakukan itu benar dan baik?”
Kalau dia bilang yakin, maka saya akan bilang: “Ya jalani saja terus. Cuek saja sama larangan orangtua. Kalau perlu, bohongi saja dulu sementara, hahaha. Asal dalam hati yakin itu benar, dan yakin akan meraih hasil yang baik.”
Nanti, lanjut saya, kalau benar-benar baik, orangtua tentu akan bangga, kan? Akan senang, kan? Dan akan lebih percaya kepada kita.
Lha kalau gagal” Ya sudah. Paling dimarahi. Emangnya mau dipecat jadi anak” Gak gampang lho mengurus perubahan kartu keluarga”
Apakah ayah saya marah saya cerita seperti ini? Dia berkali-kali kok saya bohongi. Toh, jadinya perusahaan juga tidak bangkrut. Dan saya sampai sekarang baik-baik saja, kan?
Asal niatnya baik. Dan yakin hasilnya baik. Dan kita menunjukkan kerja keras dan niat untuk meraih hasil yang baik itu. Plus siap menghadapi konsekuensi kalau gagal.
Bohong no problem. Orangtua kita tidak selalu benar.
***
Satu hal yang tidak bisa kami elakkan sebagai second generation: Keluar dari bayang-bayang orangtua. Sampai kapan pun, kami adalah anak mereka. Kami berhasil, kami gagal, kami adalah anak mereka.
Kami harus bangga dengan bayang-bayang yang mereka buat, karena bayang-bayang itulah yang melindungi kami dari kesusahan primer (dan sekunder).
Pak Irwan Hidayat, bos Sido Muncul, pernah mengingatkan saya: “Azrul, kamu boleh bilang apa saja tentang orangtua kamu. Tapi, kamu tidak pernah boleh melupakan kamu datang dari mana.”
Lalu, apa alat ukur kesuksesan second generation? Mau perusahaan makin besar? Bisa saja begitu. Mau bikin sesuatu yang mengalahkan buatan orangtua? Bisa juga begitu. Berkarya untuk nusa dan bangsa? Wuih abstrak sekali!
Saya rasa, semua second generation punya keinginan yang sama. Keinginan yang mungkin melebihi segala pencapaian. Dan itu keinginan yang sangat manusiawi, yang sama dengan kebanyakan orang lain, apa pun situasi kehidupan dan latar belakangnya.
Keinginan itu adalah: Membuat orangtua bangga (Ya, kadang-kadang orangtua saya bohongi, tapi saya tetap ingin mereka bangga, hehehe).
Pekan ini, Mas Iwan mewakili Indonesia dalam sebuah kontes dunia di Monaco. Acara puncaknya 6 Juni nanti. Trenyuh rasanya mengetahui bahwa 1 Juni, yang jatuh minggu ini pula, adalah hari ulang tahun almarhum ayahnya, Pak Lukminto.
Saya dan teman-teman lain sangat bangga ada sesama second generation yang mencapai prestasi luar biasa. Tapi, yang lebih hebat, dan mungkin belum tentu bisa kami lakukan sebagai sesama second generation: Mas Iwan mampu membuat keluarga bangga! (*)