26.7 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Dana Aspirasi Dibawa ke MK

Wakil rakyat tampaknya tidak akan bisa tidur tenang. Pasalnya, dana aspirasi yang totalnya mencapai Rp11,2 triliun per tahun mendapatkan penolakan dari publik. Yang terbaru, kemarin (14/6) sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) akan melakukan judicial review UU MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) yang mengatur dana aspirasi tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK).

FOTO-FOTO: Presiden Jokowi asyik berfoto saat meninjau pembangunan Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS) di Lampung Selatan, Sabtu (13/6). Jokowi dan jajarannya diminta tegas untuk menolak dana aspirasi bagi anggota DPR RI.
FOTO-FOTO: Presiden Jokowi asyik berfoto saat meninjau pembangunan Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS) di Lampung Selatan, Sabtu (13/6). Jokowi dan jajarannya diminta tegas untuk menolak dana aspirasi bagi anggota DPR RI.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO- Peninjauan ulang itu diajukan oleh lima LSM. Yakni Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Indonesia Budget Center (IBC), Indonesia Legal Roundtable (ILR) dan Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA). Mereka akan mengajukan gugatan pada pasal 80 huruf J UU nomor 17 tahun 2014 tentang UU MD3. “Kami akan mengajukan judicial review ke MK satu minggu lagi,” papar Apung Widadi Koordinator Advokasi dan Investigasi FITRA kemarin.

Menurut dia, sebenarnya di dalam draf UU MD3 sebelum disahkan awalnya tidak ada pasal 80 J itu. Namun, ketika disahkan, pasal yang berbunyi mengusulkan dan memperjuangkan daerah pemilihan itu tiba-tiba masuk. “Dimasukkan ke UU agar lebih kuat,” jelasnya.Awalnya dana aspirasi ini sudah diajukan dua periode yang lalu. Pada periode 2004-2009 dana yang diusulkan Rp3-10 miliar per anggota dewan. Namun ditolak pemerintah. Dana itu kembali diusulkan pada periode 2009-2014. Kali ini jumlahnya bertambah besar yakni Rp10 miliar per anggota dewan. Namun kembali ditolak.

Ternyata penolakan tak membuat jera wakil rakyat. Periode DPR saat ini anggarannya kembali diusulkan. Besarannya kembali bertambah. Yakni Rp20 miliar per kepala. Supaya terlegitimasi dan tidak mendapatkan penolakan lagi dari pemerintah, usulan itu dimasukkan ke UU MD3. “Jadi ini pasal selundupan,” ujarnya.

Pria yang juga menjadi aktivis save our soccer itu mengaku, selain mengajukan peninjauan kembali pasal 80 J, FITRA juga telah mengeluarkan alasan mengapa menolak dana aspirasi itu. Ada sembilan alasan. Yaitu, dana aspirasi tidak mempunyai landasan yang kuat. Sebab tidak masuk dalam sistem penganggaran keuangan negara.

Hal tersebut dijelaskan pada pasal 12 ayat 2 UU No 17/2003 tentang keuangan negara yang menyatakan RAPBN disusun berpedoman pada rencana kerja pemerintah. “Tidak berdasar dapil,” ucapnya.

Alasan yang kedua yakni, DPR tidak memiliki hak budget. Sebab, DPR hanya memiliki kewenangan untuk melakukan pembahasan atau menolak dan menyetujui RAPBN. Selain itu dana aspirasi bertolak belakang dengan sistem perencanaan penganggaran.

Keempat tidak mempunyai tujuan yang jelas dan tidak sesuai dengan pendekatan anggaran, kelima dana aspirasi memperparah dana perimbangan keuangan pusat dan daerah. Karena bantuan Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Alokasi Umum (DAU) akan lebih kecil. “Bisa saja nanti dana aspirasi itu memotong bantuan dana pendidikan dan kesehatan dari pemerintah ke daerah,” ucapnya.

Yang tak kalah pentingnya, dana aspirasi berpotensi korupsi. Pasalnya dana itu mirip dana hibah dan bansos yang kinis sudah dihapus oleh pemerintah karena sudah memakan banyak korban. Ratusan anggota dewan pernah masuk bui gara-gara hibah dan bansos.

Ketujuh, DPR belum mempunyai mekanisme pelembagaan akuntabilitas. Selain itu dana aspirasi memiskinkan rakyat di luar Pulau Jawa karena pembangunan tidak merata dan yang terakhir dana dapil itu hanya bernuansa politis. “Balas budi saja ke konstituen,” jelasnya.

Lebih lanjut, Apung mengatakan tahun depan, dana aspirasi ini bisa bertambah. Anggota DPR bisa beralasan bahwa anggaran sebesar Rp20 miliar itu tidak cukup untuk pembangunan. Apalagi di daerah pedalaman.

Bagaimana cara untuk menggagalkan dana itu? Apung mengaku pemerintah harus berani menolak. Menurut dia pada saat pembahasan pemerintahan yang dipimpin Presiden Jokowi harus tegas menolak. Untuk mengawasi dana aspirasi itu FITRA akan membangun posko pengaduan. “Kami akan tampung pengaduan masyarakat yang menolak dana aspirasi,” ucapnya.

Senada dengan Apung, Direktur Eksekutif LIMA, Ray Rangkuti juga menolak pemberlakuan dana aspirasi. Menurut dia ada beberapa kejanggalan. Misalnya terkait status anggota DPR. Jika diberikan kewenangan mengatur anggaran, maka DPR bukan lagi sebagai pengawas pemerintah. Statusnya berubah menjadi Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). “KPA hanya eksekutif. DPR gak bisa,”ujarnya.

Selain itu, tidak ada yang bisa memastikan proyek tersebut berguna bagi masyarakat. Pasalnya tidak ada lembaga yang memverivikasi usulan anggota DPR itu. Menurut dia, bisa saja anggota DPR lewat ada jalan rusak dikit lalu difoto dan diusulkan. “Dia minta anggaran pembenahan Rp1 miliar. Padahal cuma tambal jalan saja,” ucapnya.

Sementara itu, anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan TB Hasanuddin menilai, rencana digulirkannya dana aspirasi bisa berpotensi memunculkan ketidakadilan. Menurut Hasanuddin, bisa terjadi diskriminasi pembangunan bila dana itu dikucurkan. Ini karena, setiap anggota dewan dipatok bisa mengeluarkan dana aspirasi sebesar Rp20 miliar.

“Daerah yang dapil dan anggota dewannya sedikit, dapat sedikit dana. Daerah yang dapilnya banyak, dan anggota DPR banyak, akan mendapat banyak dana,” kata dia.

Menurut Hasanuddin, daerah yang belum disentuh pembangunan, biasanya anggota DPR-nya tidak sebanyak wilayah padat penduduk seperti Jawa dan Sumatera. Kalau acuan Dana Aspirasi hanya jumlah anggota dewan yang ujungnya jumlah penduduk, akan ada diskriminasi.”Daerah timur yang jumlah anggota dewannya lebih sedikit, akan semakin ketinggalan dengan Jawa atau bagian barat,” ujarnya. Contoh gampang, kata Hasanuddin, jika dana aspirasi digulirkan, Jawa Barat dengan 20 anggota dewan akan mendapat Rp400 miliar. Jumlah itu jomplang dengan perolehan di Papua, yang hanya mendapatkan Rp60 miliar dari tiga anggota dewan.

“Itu kan jelas diskriminasi,” ujar anggota DPR dari dapil Jawa Barat I itu.

Menurut Hasanuddin, pembangunan sebuah wilayah itu tak melulu menyangkut jumlah penduduk, tapi juga semua aspek seperti demografi, ekonomi, dan sebagainya. Semua aspirasi dari rakyat, kata Hasanuddin, tidak harus selalu diterjemahkan dengan uang. (aph/bay/end/jpnn/rbb)

Wakil rakyat tampaknya tidak akan bisa tidur tenang. Pasalnya, dana aspirasi yang totalnya mencapai Rp11,2 triliun per tahun mendapatkan penolakan dari publik. Yang terbaru, kemarin (14/6) sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) akan melakukan judicial review UU MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) yang mengatur dana aspirasi tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK).

FOTO-FOTO: Presiden Jokowi asyik berfoto saat meninjau pembangunan Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS) di Lampung Selatan, Sabtu (13/6). Jokowi dan jajarannya diminta tegas untuk menolak dana aspirasi bagi anggota DPR RI.
FOTO-FOTO: Presiden Jokowi asyik berfoto saat meninjau pembangunan Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS) di Lampung Selatan, Sabtu (13/6). Jokowi dan jajarannya diminta tegas untuk menolak dana aspirasi bagi anggota DPR RI.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO- Peninjauan ulang itu diajukan oleh lima LSM. Yakni Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Indonesia Budget Center (IBC), Indonesia Legal Roundtable (ILR) dan Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA). Mereka akan mengajukan gugatan pada pasal 80 huruf J UU nomor 17 tahun 2014 tentang UU MD3. “Kami akan mengajukan judicial review ke MK satu minggu lagi,” papar Apung Widadi Koordinator Advokasi dan Investigasi FITRA kemarin.

Menurut dia, sebenarnya di dalam draf UU MD3 sebelum disahkan awalnya tidak ada pasal 80 J itu. Namun, ketika disahkan, pasal yang berbunyi mengusulkan dan memperjuangkan daerah pemilihan itu tiba-tiba masuk. “Dimasukkan ke UU agar lebih kuat,” jelasnya.Awalnya dana aspirasi ini sudah diajukan dua periode yang lalu. Pada periode 2004-2009 dana yang diusulkan Rp3-10 miliar per anggota dewan. Namun ditolak pemerintah. Dana itu kembali diusulkan pada periode 2009-2014. Kali ini jumlahnya bertambah besar yakni Rp10 miliar per anggota dewan. Namun kembali ditolak.

Ternyata penolakan tak membuat jera wakil rakyat. Periode DPR saat ini anggarannya kembali diusulkan. Besarannya kembali bertambah. Yakni Rp20 miliar per kepala. Supaya terlegitimasi dan tidak mendapatkan penolakan lagi dari pemerintah, usulan itu dimasukkan ke UU MD3. “Jadi ini pasal selundupan,” ujarnya.

Pria yang juga menjadi aktivis save our soccer itu mengaku, selain mengajukan peninjauan kembali pasal 80 J, FITRA juga telah mengeluarkan alasan mengapa menolak dana aspirasi itu. Ada sembilan alasan. Yaitu, dana aspirasi tidak mempunyai landasan yang kuat. Sebab tidak masuk dalam sistem penganggaran keuangan negara.

Hal tersebut dijelaskan pada pasal 12 ayat 2 UU No 17/2003 tentang keuangan negara yang menyatakan RAPBN disusun berpedoman pada rencana kerja pemerintah. “Tidak berdasar dapil,” ucapnya.

Alasan yang kedua yakni, DPR tidak memiliki hak budget. Sebab, DPR hanya memiliki kewenangan untuk melakukan pembahasan atau menolak dan menyetujui RAPBN. Selain itu dana aspirasi bertolak belakang dengan sistem perencanaan penganggaran.

Keempat tidak mempunyai tujuan yang jelas dan tidak sesuai dengan pendekatan anggaran, kelima dana aspirasi memperparah dana perimbangan keuangan pusat dan daerah. Karena bantuan Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Alokasi Umum (DAU) akan lebih kecil. “Bisa saja nanti dana aspirasi itu memotong bantuan dana pendidikan dan kesehatan dari pemerintah ke daerah,” ucapnya.

Yang tak kalah pentingnya, dana aspirasi berpotensi korupsi. Pasalnya dana itu mirip dana hibah dan bansos yang kinis sudah dihapus oleh pemerintah karena sudah memakan banyak korban. Ratusan anggota dewan pernah masuk bui gara-gara hibah dan bansos.

Ketujuh, DPR belum mempunyai mekanisme pelembagaan akuntabilitas. Selain itu dana aspirasi memiskinkan rakyat di luar Pulau Jawa karena pembangunan tidak merata dan yang terakhir dana dapil itu hanya bernuansa politis. “Balas budi saja ke konstituen,” jelasnya.

Lebih lanjut, Apung mengatakan tahun depan, dana aspirasi ini bisa bertambah. Anggota DPR bisa beralasan bahwa anggaran sebesar Rp20 miliar itu tidak cukup untuk pembangunan. Apalagi di daerah pedalaman.

Bagaimana cara untuk menggagalkan dana itu? Apung mengaku pemerintah harus berani menolak. Menurut dia pada saat pembahasan pemerintahan yang dipimpin Presiden Jokowi harus tegas menolak. Untuk mengawasi dana aspirasi itu FITRA akan membangun posko pengaduan. “Kami akan tampung pengaduan masyarakat yang menolak dana aspirasi,” ucapnya.

Senada dengan Apung, Direktur Eksekutif LIMA, Ray Rangkuti juga menolak pemberlakuan dana aspirasi. Menurut dia ada beberapa kejanggalan. Misalnya terkait status anggota DPR. Jika diberikan kewenangan mengatur anggaran, maka DPR bukan lagi sebagai pengawas pemerintah. Statusnya berubah menjadi Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). “KPA hanya eksekutif. DPR gak bisa,”ujarnya.

Selain itu, tidak ada yang bisa memastikan proyek tersebut berguna bagi masyarakat. Pasalnya tidak ada lembaga yang memverivikasi usulan anggota DPR itu. Menurut dia, bisa saja anggota DPR lewat ada jalan rusak dikit lalu difoto dan diusulkan. “Dia minta anggaran pembenahan Rp1 miliar. Padahal cuma tambal jalan saja,” ucapnya.

Sementara itu, anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan TB Hasanuddin menilai, rencana digulirkannya dana aspirasi bisa berpotensi memunculkan ketidakadilan. Menurut Hasanuddin, bisa terjadi diskriminasi pembangunan bila dana itu dikucurkan. Ini karena, setiap anggota dewan dipatok bisa mengeluarkan dana aspirasi sebesar Rp20 miliar.

“Daerah yang dapil dan anggota dewannya sedikit, dapat sedikit dana. Daerah yang dapilnya banyak, dan anggota DPR banyak, akan mendapat banyak dana,” kata dia.

Menurut Hasanuddin, daerah yang belum disentuh pembangunan, biasanya anggota DPR-nya tidak sebanyak wilayah padat penduduk seperti Jawa dan Sumatera. Kalau acuan Dana Aspirasi hanya jumlah anggota dewan yang ujungnya jumlah penduduk, akan ada diskriminasi.”Daerah timur yang jumlah anggota dewannya lebih sedikit, akan semakin ketinggalan dengan Jawa atau bagian barat,” ujarnya. Contoh gampang, kata Hasanuddin, jika dana aspirasi digulirkan, Jawa Barat dengan 20 anggota dewan akan mendapat Rp400 miliar. Jumlah itu jomplang dengan perolehan di Papua, yang hanya mendapatkan Rp60 miliar dari tiga anggota dewan.

“Itu kan jelas diskriminasi,” ujar anggota DPR dari dapil Jawa Barat I itu.

Menurut Hasanuddin, pembangunan sebuah wilayah itu tak melulu menyangkut jumlah penduduk, tapi juga semua aspek seperti demografi, ekonomi, dan sebagainya. Semua aspirasi dari rakyat, kata Hasanuddin, tidak harus selalu diterjemahkan dengan uang. (aph/bay/end/jpnn/rbb)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/