JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Baru saja Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Andrinof Chaniago menyebut Presiden Jokowi menolak dana aspirasi DPR sebesar Rp11,2 triliun, tiba-tiba penolakan itu disebutkan belum final. Alasannya, belum disuarakan secara terang-terangan, bahkan belum dibicarakan dengan menteri terkait.
Saat ini Jokowi menunggu masukan dari Menteri Keuangan, tapi di sisi lain, Wapres Jusuf Kalla ikut mementahkan argumentasi menterinya. Istana mulai kelimpungan.
Anggota Tim Komunikasi Presiden Teten Masduki membantah Jokowi sudah final menolak pengajuan dana tersebut. “Belum (menolak). Presiden akan minta pendapat Menteri Keuangan dulu,” kata dia di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (25/6).
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro punya sikap berbeda soal dana aspirasi dengan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Andrinof Chaniago. Bambang mengaku belum dapat menentukan nasib disetujui tidaknya program tersebut.
“Pokoknya sampai saat ini, itu baru aturan internal di DPR yang kemarin dibahas. Kita belum terima apa-apa. Jadi kita belum bahas apa-apa,” kata Menteri Bambang di Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Kamis (25/6).
Dia belum dapat memastikan apakah dana usulan program pengembangan daerah aspirasi akan dianggarkan dalam APBN 2016. Dia menyebut, pihaknya menunggu proposal dari Dewan.
“Ya nanti kalau ada proposal, baru kita bicarakan. Saya belum ngasih komentar mengenai itu,” ujar dia.
Meski begitu, Bambang mengisyaratkan dia menyetujui soal dana aspirasi asalkan masuk dalam APBN. “Presiden kan intinya menolak kalau itu di luar mekanisme ketentuan APBN. Jadi semua itu harus dalam mekanisme APBN,” tukas Bambang.
Berbicara di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (25/6), Andrinof Chaniago menilai dana aspirasi tak sesuai dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional karena diminta dengan jumlah besaran tertentu, yakni Rp11,2 triliun atau Rp20 miliar untuk satu anggota DPR.
Dalam sistem perencanaan pembangunan nasional, kata Andrinof, kebijakan pembangunan berasal dari visi misi presiden sebagai kepala pemerintah. Artinya, arah pembangunan pada satu periode pemerintahan berasal dari visi misi presiden yang kemudian dituangkan menjadi prioritas pembangunan dari sisi pembangunan manusia dan pembangunan wilayah.
“Untuk menguatkan itu, undang-undang juga mengatur cara penyerapan aspirasi melalui Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan), mulai dari Musrenbang desa, kelurahan, kabupaten, kota, provinsi, sampai nasional,” ujarnya.
Dengan proses itulah aspirasi masyarakat ditampung untuk kemudian disusunkan arah atau prioritas pembangunan nasional.
Dana aspirasi yang dimintakan DPR untuk membiayai proyek atau program pembangunan masing-masing anggota DPR di daerah pemilihan mereka, berpotensi mengubah arah pembangunan dan karenanya berpotensi tak sejalan dengan UU.
“(Presiden Jokowi) secara khusus belum membahas (dana aspirasi), tapi Presiden mengimbau kita semua menjalankan kebijakan sesuai Undang-Undang. Kalau kami (eksekutif) ikuti undang-undang dan Presiden berpegang pada Undang-Undang. Itu (dana aspirasi) tidak sesuai Undang-Undang, tentu kami keberatan,” kata Andrinof.
Menurut Andrinof, secara logis proses perencanaan pembangunan yang benar dimulai dengan perencanaan program, baru diikuti alokasi anggaran. “Bukan dibalik, penetapan anggaran sejumlah tertentu dulu, baru ditetapkan perencanaannya,” ujar dia.
Aspirasi masyarakat di daerah pemilihan sesungguhnya bisa dibawa ke anggota DPR ke pusat dengan menyampaikannya ke dalam Musrenbang atau Bappenas.
“Kami sudah meletakkan prioritas pembangunan daerah, dari wilayah pedesaan, perbatasan, luar Jawa, kepulauan, dan kawasan timur,” ujar Andrinof.