30 C
Medan
Monday, May 6, 2024

Indonesia Toleransi Beragamanya Tinggi …

Foto: M Idris/Sumut Pos Para pengungsi Rohingya yang tinggal di pengungsian Hotel Beraspati, Medan, berfoto bersama dengan salah satu perusahaan yang memberikan bantuan.
Foto: M Idris/Sumut Pos
Para pengungsi Rohingya yang tinggal di pengungsian Hotel Beraspati, Medan, berfoto bersama dengan salah satu perusahaan yang memberikan bantuan.

Hujan batu di negeri sendiri, hujan emas di negeri orang.Pribahasa ini tampaknya sangat sesuai dengan pengungsi Rohingya yang berada di Medan. Sesuai karena di negeri mereka sendiri memang ada ‘hujan batu’ atau kesusahan, sementara di Indonesia mereka mendapat ‘hujan emas’ alias kemudahan.

M Idris, Medan

Padahal, kalau merunut arti atau makna pribahasa itu, harusnya seenak-enaknya negeri orang masih enak negeri sendiri. Tapi begitulah keadaannya, warga Rohingya yang sekarang berada di Medan memang merasakan nikmat berada di negeri orang. Sementara, jika di negeri sendiri, yang mereka dapati adalah ketakutan hingga ketidaknyamanan.

Dan ini semakin terlihat ketika mereka menjalani bulan puasa. Segala ibadah mereka jalani dengan nyaman. Khusus sahur, mereka pun tak begitu sulit mendapatinya. Dan, Sumut Pos berusaha mendapakan kesempatan untuk sahur bersama para pengungsi tersebut. Namun, niat itu tak segampang membalikkan telapak tangan. Dan, Sumut Pos sadar untuk tak memaksakan diri. Sebagai gantinya, dengan rubrik sahur bersama ini, Sumut Pos menggambarkan seperti apa Ramadan di kamp pungungsian di Hotel Beraspati yang berada di Jalan Jamin Ginting Medan tersebut.

Saat itu, waktu menunjukkan pukul 12.15 WIB. Kamis (24/6) yang panas. Meski begitu, lantunan ayat-ayat suci Alquran terdengar dari sekelompok pria dan wanita yang tengah khusyuk mengaji di hampir setiap sudut kamar. Sebagian lagi tampak berdzikir. Ada juga beberapa pemuda memilih bercengkrama dan bercerita di halaman sambil berteduh di bawah pohon dari teriknya panas matahari.

Ketika tiba di tempat itu, usai memarkirkan kendaraan dan berjalan menuju salah satu kamar pria, seorang pemuda yang tampak berdiri dan memperhatikan langsung menyapa. “Assalammualaikum,” ucap pemuda yang mengenakan sarung dan kaos oblong. Pemuda ini kemudian menyodorkan tangan untuk bersalaman.

Setelah salam terjawab, pria itu terdiam dan hanya memandangi saja. Rupa-rupanya tak fasih berbahasa Indonesia maupun Inggris. Dia kemudian memanggil temannya, yang berada di dalam kamar. “Darasu, Darasu,” teriaknya yang dilanjutkan dengan percakapan berbahasa tertentu.

Tak lama, teman pemuda itu datang menghampiri Sumut Pos hingga akhirnya saling berkenalan. Muhamad Darasu (22) namanya. Meski tak mahir, namun Darasu sedikit bisa berbahasa Indonesia.

Darasu menuturkan, ia bersama pengungsian lainnya di Hotel Beraspati sudah tinggal hampir dua bulan lamanya. “Kami di sini jumlahnya ada 118 orang, 110 laki-laki dan 8 wanita. Ada yang dari Myanmar dan juga Bangladesh,” tuturnya.

Diutarakannya, pada bulan Ramadan para pengungsi berusaha khusyuk menjalankan ibadah puasa. Untuk makan sahur dan berbuka, menunggu katering yang biasa datang mengantar. “Sebelum bulan Ramadan, di sini makan sehari tiga kali. Ketika puasa sehari dua kali, sahur dan berbuka. Kalau tidak puasa kami terkadang memasak sendiri. Namun, ketika puasa kami menunggu makanan diantar. Tapi, terkadang kami juga memasak sendiri seadanya karena tidak ada dapur umum,” ungkap Darasu.

Khusus sahur, Darasu, menjelaskan dengan bahasa yang terbata kalau makanan katering datang kurang lebih satu jam sebelum waktu imsak, kira-kira pukul 03.30 WIB. Makanan itu diangkut sebuah mobil pikap. Ketika mobil pikap yang mengangkut ratusan paket makanan datang, beberapa orang dari pengungsi bergegas mengambilnya. Kemudian, membagi-bagikan ke seluruh pengungsi yang ada di setiap kamar.  “Begitulah setiap harinya selama bulan Ramadan. Kami mensyukuri dengan menikmatinya,” ungkap Darasu.

“Setelah bersantap sahur, kami merapikan bungkusan makanan katering dan membuangnya di tempat sampah. Kemudian, bergegas melaksanakan salat subuh,” tambahnya.

Foto: M Idris/Sumut Pos Para pengungsi Rohingya yang tinggal di pengungsian Hotel Beraspati, Medan, berfoto bersama dengan salah satu perusahaan yang memberikan bantuan.
Foto: M Idris/Sumut Pos
Para pengungsi Rohingya yang tinggal di pengungsian Hotel Beraspati, Medan, berfoto bersama dengan salah satu perusahaan yang memberikan bantuan.

Hujan batu di negeri sendiri, hujan emas di negeri orang.Pribahasa ini tampaknya sangat sesuai dengan pengungsi Rohingya yang berada di Medan. Sesuai karena di negeri mereka sendiri memang ada ‘hujan batu’ atau kesusahan, sementara di Indonesia mereka mendapat ‘hujan emas’ alias kemudahan.

M Idris, Medan

Padahal, kalau merunut arti atau makna pribahasa itu, harusnya seenak-enaknya negeri orang masih enak negeri sendiri. Tapi begitulah keadaannya, warga Rohingya yang sekarang berada di Medan memang merasakan nikmat berada di negeri orang. Sementara, jika di negeri sendiri, yang mereka dapati adalah ketakutan hingga ketidaknyamanan.

Dan ini semakin terlihat ketika mereka menjalani bulan puasa. Segala ibadah mereka jalani dengan nyaman. Khusus sahur, mereka pun tak begitu sulit mendapatinya. Dan, Sumut Pos berusaha mendapakan kesempatan untuk sahur bersama para pengungsi tersebut. Namun, niat itu tak segampang membalikkan telapak tangan. Dan, Sumut Pos sadar untuk tak memaksakan diri. Sebagai gantinya, dengan rubrik sahur bersama ini, Sumut Pos menggambarkan seperti apa Ramadan di kamp pungungsian di Hotel Beraspati yang berada di Jalan Jamin Ginting Medan tersebut.

Saat itu, waktu menunjukkan pukul 12.15 WIB. Kamis (24/6) yang panas. Meski begitu, lantunan ayat-ayat suci Alquran terdengar dari sekelompok pria dan wanita yang tengah khusyuk mengaji di hampir setiap sudut kamar. Sebagian lagi tampak berdzikir. Ada juga beberapa pemuda memilih bercengkrama dan bercerita di halaman sambil berteduh di bawah pohon dari teriknya panas matahari.

Ketika tiba di tempat itu, usai memarkirkan kendaraan dan berjalan menuju salah satu kamar pria, seorang pemuda yang tampak berdiri dan memperhatikan langsung menyapa. “Assalammualaikum,” ucap pemuda yang mengenakan sarung dan kaos oblong. Pemuda ini kemudian menyodorkan tangan untuk bersalaman.

Setelah salam terjawab, pria itu terdiam dan hanya memandangi saja. Rupa-rupanya tak fasih berbahasa Indonesia maupun Inggris. Dia kemudian memanggil temannya, yang berada di dalam kamar. “Darasu, Darasu,” teriaknya yang dilanjutkan dengan percakapan berbahasa tertentu.

Tak lama, teman pemuda itu datang menghampiri Sumut Pos hingga akhirnya saling berkenalan. Muhamad Darasu (22) namanya. Meski tak mahir, namun Darasu sedikit bisa berbahasa Indonesia.

Darasu menuturkan, ia bersama pengungsian lainnya di Hotel Beraspati sudah tinggal hampir dua bulan lamanya. “Kami di sini jumlahnya ada 118 orang, 110 laki-laki dan 8 wanita. Ada yang dari Myanmar dan juga Bangladesh,” tuturnya.

Diutarakannya, pada bulan Ramadan para pengungsi berusaha khusyuk menjalankan ibadah puasa. Untuk makan sahur dan berbuka, menunggu katering yang biasa datang mengantar. “Sebelum bulan Ramadan, di sini makan sehari tiga kali. Ketika puasa sehari dua kali, sahur dan berbuka. Kalau tidak puasa kami terkadang memasak sendiri. Namun, ketika puasa kami menunggu makanan diantar. Tapi, terkadang kami juga memasak sendiri seadanya karena tidak ada dapur umum,” ungkap Darasu.

Khusus sahur, Darasu, menjelaskan dengan bahasa yang terbata kalau makanan katering datang kurang lebih satu jam sebelum waktu imsak, kira-kira pukul 03.30 WIB. Makanan itu diangkut sebuah mobil pikap. Ketika mobil pikap yang mengangkut ratusan paket makanan datang, beberapa orang dari pengungsi bergegas mengambilnya. Kemudian, membagi-bagikan ke seluruh pengungsi yang ada di setiap kamar.  “Begitulah setiap harinya selama bulan Ramadan. Kami mensyukuri dengan menikmatinya,” ungkap Darasu.

“Setelah bersantap sahur, kami merapikan bungkusan makanan katering dan membuangnya di tempat sampah. Kemudian, bergegas melaksanakan salat subuh,” tambahnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/