LUPAKAN sejenak Yunani yang ternyata masih ruwet. Mari bicara krisis yang lain. Yang letaknya lebih dekat dan skalanya lebih besar: krisis saham di Tiongkok.
Meski sudah begitu hebat janji-janji Yunani, ternyata belum tentu utang tahap tiganya disetujui Uni Eropa. Persoalannya ada pada kepercayaan: apakah Yunani bisa menjalankan janji-janjinya itu. Apalagi, rakyat Jerman kian marah. ”Masak kita-kita yang bayaran pensiunnya lebih kecil harus ngutangi Yunani untuk membayar pensiunan mereka yang gila-gilaan.”
Ini ada masalah yang lebih besar: Tiongkok.
Belum pernah ada orang marah sebanyak Kamis lalu. Dalam waktu bersamaan, 90 juta orang kecewa, marah, dan panik di Tiongkok. Itu terjadi pada Kamis, 9 Juli lalu. Saat harga saham di pasar modalnya anjlok 30 persen. Jumlah penduduk Yunani hanya 10 juta.
Hari itu dunia seperti mau runtuh. ”Bahaya besar bukan datang dari Yunani, tapi dari Tiongkok,” komentar ahli dari Eropa. Dia mengingatkan agar Eropa lebih mewaspadai anjloknya ekonomi Tiongkok daripada sekadar Yunani. ”Kalau Eropa tidak bisa menyelesaikan Yunani dan Amerika tidak bisa menyelesaikan krisis Puerto Rico, biarlah Yunani diserahkan ke AS agar menggunakan dolar dan Puerto Rico diserahkan ke Eropa untuk menggunakan euro,” guyon para ahli saat ini.
Krisis di dua negara itu dianggap terlalu sepele. Tapi, jangan sampai krisis di Tiongkok tidak diperhatikan.
Amerika melihat anjloknya saham di Tiongkok itu dengan pandangan yang amat serius. ”Kejadian ini sama buruknya dengan yang menimpa Amerika Serikat pada 1929,” komentar ahli dari AS. Mengapa orang Amerika sangat trauma dengan jatuhnya harga saham pada 1929? Itulah awal mula depresi besar ekonomi yang melanda AS sampai pertengahan 1935-an.
Sebagian ahli dari Barat pun memperkirakan kepanikan Kamis lalu itu akan menjadi awal dari depresi ekonomi Tiongkok. Apalagi, sudah dua tahun terakhir ini ekonomi Tiongkok melemah.