Pilgub Diwacanakan Tidak Langsung
Pemilihan gubernur (Pilgub) yang dilaksanakan secara langsung tampaknya akan diubah lagi. Kasarnya, rakyat tidak lagi bisa memilih orang nomor satu di tingkat provinsi itu secara langsung, melainkan melalui DPRD. Menariknya, untuk bupati dan wali kota, dipilih secara langsung.
Ya, Dirjen Otonomi Daerah (Otda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Djohermansyah Djohan menjelaskan, Pemilihan Kepala Daerah yang selama ini dipilih secara langsung terancam kembali ke DPRD. Wacana draft RUU Pilkada sudah disiapkan Kemendagri yang selanjutnya akan dibahas di DPR RI. “Dalam Draft RUU itu juga disiapkan terkait Pilkada tunggal dan wakilnya PNS,” katanya pada acara Coffe Morning di Kantor Gubsu Jalan Diponegoro Medan, Jumat (15/7) lalu.
Ia juga mengungkapkan, pemilihan gubernur yang tadinya dipilih langsung, diusulkan kembali dipilih DPRD. Sementara itu, bupati dan wali kota diusulkan untuk dipilih secara langsung. “Draf sudah jadi, diharapkan dikirim ke DPR. Yang paling serius adalah soal perubahan sistem pemilihan. Pilgub diusulkan tidak secara langsung, tapi dipilih DPRD. Sedangkan bupati/wali kota dipilih langsung,” tutur Djohan.
Menurutnya, sistem seperti itu diusulkan pemerintah karena selama ini titik berat otonomi daerah masih di level kabupaten atau kota. “Dengan demikian, pemimpin kabupaten atau kota, yakni wali kota/bupati, harus mendapat legitimilasi lebih dengan dipilih langsung oleh rakyat. Empiris pun, pengaruh otonomi tidak pernah di level provinsi. Titik beratnya di kabupaten/kota,” ujar Djohan lagi.
Untuk pemilihan wakil gubernur dalam draf RUU Pilkada tersebut, Djohan menerangkan, pemerintah mengusulkan agar wakil gubernur dipilih oleh gubernur yang terpilih, atau tak lagi sepaket dengan gubernur. “Hal ini dilakukan untuk menghindari konflik yang terjadi di beberapa daerah terkait ketidakharmonisan kepala daerah dengan wakilnya,” katanya.
Sudah banyak contoh, sambungnya, dengan belajar dari peristiwa tersebut, Kemendagri membuat wacana atau Draft RUU Pilkada 2014. “Kita harapkan draft ini secepatnya disiapkan agar 2014 bisa berlaku,” jelasnya.
Dalam hal ini Kemendagri juga akan mengusulkan penghapusan jabatan wakil kepala daerah bagi daerah yang luas wilayah serta berpenduduk kecil. Sebaliknya jika lebih luas dapat diusulkan lebih dari dua orang.
Djohan menjelaskan posisi wakil kepala daerah akan disesuaikan dengan luas wilayah serta jumlah penduduk suatu daerah. Hal ini bagian dari revisi UU No 32 Tahun 2004 yang akan diajukan ke DPR RI Agustus mendatang. “Tidak semua daerah punya wakil. Untuk daerah kecil wilayah dan penduduknya cukup satu yakni kepala daerah saja. Kalau sangat besar bisa lebih dari dua wakilnya,” katanya.
Kebijakan tersebut bagian dari wacana penghapusan pemilihan gubernur, bupati dan wali kota yang satu paket dengan wakilnya. Sebab dalam UUD 1945 hanya jabatan presiden dan wakilnya yang dipilih dalam satu paket. Berbeda dengan jabatan di tingkat daerah.
“Untuk posisi wakil akan diangkat dari PNS yang memenuhi kriteria dan persyaratan tertentu. Usulan dan rekomendasinya akan diajukan oleh kepala daerah yang terpilih ke Kemendagri untuk dilakukan penilaian serta penetapannya. Minimal seperti sudah eselon II dan punya pengalaman yang mencukupi,” terangnya.
Sebab, selama kepala daerah dipilih dalam satu paket, sejak Pilkada 2005 hanya sembilan persen yang kemudian bertahan untuk bersama-sama maju di periode kedua. Sedangkan sisanya 91 persen pecah kongsi atau bercerai memilih jalur bersaing dalam pilkada berikutnya.
Sementara itu, pengamat kebijakan publik dari Universitas Sumatera Utara, Dadang Darmawan, menilai jika pengangkatan wakil dari PNS yang diusulkan oleh kepala daerah tersebut untuk kepentingan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan di daerah maka cukup positif untuk diterapkan.
Hal itu sama dengan sistem pemerintahan daerah di era sebelumnya yang mengenal istilah pembantu gubernur. Jadi bisa dipilih lebih dari satu orang untuk mengkoordinir daerah-daerah yang luas jangkauannya. “Selama ini untuk kepentingan efektifitas pemerintahan ya baik. Selama bukan dalam kepentingan politik,” ujar dosen Administrasi Negara FISIP USU itu.
Namun ditegaskannya, jika usulan tersebut muncul atas dasar konflik antara kepala daerah dan wakilnya tentu sudah salah kaprah. Sebab konflik itu terjadi karena pasangan calon yang diusung bukan satu paket yang utuh. Tapi bagian dari paket kelompok kepentingan partai dan kelompok tertentu yang berbeda-beda sehingga memiliki kepentingan yang berbeda pula dalam pemerintahan.
Dadang juga mengingatkan jangan sampai sistem yang diusulkan tersebut semakin mendekatkan birokrasi ke politik praktis. Sebab selama kepemimpinan Mendagri Gamawan Fauzi birokrasi sudah terlalu dekat dengan kepentingan politik.
Hal itu terlihat dari beberapa penjabat kepala daerah yang harusnya bertugas menyukseskan pilkada justru ikut bertarung mencalonkan diri dengan mengundurkan diri sesaat menjelang pemilihan. (saz)